Keteladanan Cinta Mu’adz bin Jabal Kepada Al-Qur’an

Keteladanan Cinta Mu’adz bin Jabal Kepada Al-Qur’an

Mu’adz bin Jabal adalah salah satu sahabat Rasulullah ﷺ yang terkenal dengan kecerdasan, kefaqihan, dan ketakwaannya. Beliau masuk Islam di usia muda, namun semangatnya dalam menuntut ilmu dan menghafal Al-Qur’an membuat namanya dikenal luas di kalangan sahabat. Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa beliau adalah sahabat yang paling mengetahui perkara halal dan haram di antara umatnya (HR. Tirmidzi).

 

Mu’adz dikenal sebagai sahabat Nabi yang sangat fasih dalam membaca serta kuat dalam menghafal Al-Qur’an. Ia bahkan termasuk di antara empat sahabat yang secara khusus diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ untuk mendalami Al-Qur’an. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi bersabda,

“Ambillah bacaan Al-Qur’an dari empat orang: dari Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabal, dan Ubay bin Ka’ab.”

Bagaimana Cara Mu’adz bin Jabal Menghafal Al-Qur’an?

Sejak awal, Mu’adz memiliki kecintaan mendalam terhadap Al-Qur’an. Setiap kali Rasulullah ﷺ menerima wahyu, beliau termasuk yang segera mempelajari, menghafal, dan mengamalkannya. Proses hafalan yang dilakukan bukan sekadar mengingat ayat demi ayat, tetapi juga memahami makna dan tujuan setiap ayat. Hafalannya kokoh karena dibangun dengan pemahaman dan pengamalan.

Mu'adz bin Jabal sahabat rasulullah yang pandai cerdas dan semangat dakwah. Ilustrasi prang arab menunggangi unta di padang pasir
Ilustrasi kisah Mu’adz bin Jabal yang menginspirasi (gambar tidak ditujukan untuk memvisualisasikan wujud sebenarnya)

Metode yang digunakan Mu’adz sangat efektif. Ia mengulang bacaan ayat dengan penuh perhatian, mendengarkan langsung dari Rasulullah ﷺ, lalu mengajarkannya kepada sahabat lain. Mengajarkan ayat ini membuat hafalannya semakin kuat, sekaligus menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an di hati umat. Karena ketekunannya, Rasulullah ﷺ mengutus Mu’adz sebagai guru Al-Qur’an dan fikih di Yaman.

Baca juga: Zaid bin Tsabit dan Keteladanannya Bersama Al-Qur’an

Mu’adz bin Jabal juga dikenal sebagai Imam al-Fuqaha’a karena kemampuannya dalam ijtihad. Ketika ditanya Rasulullah ﷺ bagaimana ia memutuskan perkara, Mu’adz menjawab, “Dengan Kitabullah. Jika tidak ada, maka Sunnah Rasul, dan jika tidak ada juga, aku berijtihad dengan akalku.” Rasulullah ﷺ memujinya atas kebijaksanaan ini.

Dari kisah Mu’adz, kita belajar bahwa hafalan Al-Qur’an yang kokoh lahir dari cinta, pemahaman, dan pengamalan. Bagi penghafal masa kini, teladan beliau menunjukkan bahwa menghafal bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga kesungguhan menjaga ayat-ayat Allah dalam hati. Maka patutlah kita selalu ingat untuk membaca doa sebelum belajar, agar Allah limpahkan kemudahan dalam menghafal Al-Qur’an. Semoga kita dapat meneladani Mu’adz bin Jabal dalam mencintai dan menjaga kemurnian Al-Qur’an.

Referensi:

Kisah Penghafal Al-Qur’an Gaza yang Menginspirasi dari Rashad

Kisah Penghafal Al-Qur’an Gaza yang Menginspirasi dari Rashad

Di tengah gempuran konflik dan keterbatasan hidup, Gaza tidak pernah kehilangan cahaya Al-Qur’an. Justru dari tanah yang terluka itu, lahir banyak hafiz dan hafizah muda yang membuktikan bahwa firman Allah bisa menetap di dada siapa saja, tak terbatas oleh usia, tempat, atau keadaan. Salah satu kisah penghafal Al-Qur’an Gaza yang menginspirasi berasal dari Rashad Nimr Abu Ras, seorang anak yang berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an di usia 7 tahun.

Menghafal di Tengah Suara Ledakan

Kisah ini bukan sekadar kisah pencapaian biasa. Rashad hidup dalam lingkungan yang serba terbatas. Gaza, seperti yang dunia tahu, adalah wilayah yang setiap hari menghadapi blokade, kelangkaan listrik, dan ancaman serangan. Namun, Rashad tidak menyerah dengan keadaan. Sejak kecil, ia sudah dibiasakan menghadiri halaqah tahfidz di masjid lingkungan tempat tinggalnya. Setiap hari, ia menyetorkan hafalannya kepada para ustadz, meski kadang harus menunggu giliran tanpa fasilitas layak.

Ia tidak memiliki aplikasi canggih, tidak ada rekaman murotal profesional di rumahnya. Yang ia miliki hanyalah semangat dan kesungguhan yang dibimbing oleh cinta kepada Al-Qur’an. Dalam waktu singkat, ia mampu menyetorkan hafalan 30 juz dan lulus dalam ujian tasmi’ yang dihadiri oleh para penguji lokal.

“Rashad adalah bukti nyata bahwa siapa pun bisa menjadi penghafal jika sungguh-sungguh. Bahkan dari Gaza yang penuh luka, kami bisa melahirkan generasi Al-Qur’an,” ungkap gurunya dalam wawancara bersama IQNA (International Quran News Agency).

Rashad Nimr Abu Ras hafidz muda dari gaza Palestina, kisah motivasi penghafal Al-Qur'an di tengah perang dan konflik
Rashad Nimr Abu Ras, kisah penghafal Al-Qur’an Gaza (iqna.ir)

Gaza dan Semangat Generasi Qur’ani

Kisah penghafal Al-Qur’an Gaza seperti Rashad bukanlah satu-satunya. Ada banyak anak-anak lain yang mengikuti jejaknya. Di tengah keterbatasan, mereka mengisi hari-hari dengan murojaah, memperbaiki tajwid, dan saling menyimak satu sama lain.

Fenomena ini tidak lepas dari budaya masyarakat Gaza yang sangat menjunjung tinggi pendidikan Qur’ani. Banyak orangtua yang menjadikan tahfidz sebagai prioritas pendidikan anak. Bahkan beberapa lembaga tahfidz di Gaza memiliki program khusus bagi anak-anak korban perang untuk mendapatkan ketenangan melalui bacaan Al-Qur’an.

Baca juga: Sejarah Masjid Al Aqsa sebagai Kiblat Pertama Umat Islam

Bagi Rashad, menghafal bukan hanya untuk mendapatkan pengakuan, tetapi menjadi sumber kekuatan mental di tengah ujian hidup. Ia merasa lebih tenang saat membaca ayat-ayat Allah, terutama ketika harus menjalani hari-hari di bawah ancaman konflik berkepanjangan.

Pelajaran untuk Kita di Negeri Damai

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah penghafal Al-Qur’an Gaza ini? Salah satu hikmah terbesar adalah bahwa menghafal bukan soal waktu luang atau fasilitas, tetapi soal niat dan istiqamah. Rashad dan anak-anak Gaza lainnya menunjukkan bahwa keterbatasan justru bisa menjadi pendorong lahirnya keberkahan. Bukan hanya di Gaza, kisah ini seharusnya memotivasi kita semua—terutama di negeri yang lebih damai—untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan menanamkan Al-Qur’an dalam hati.

Baca juga: Motivasi Penghafal Al-Qur’an: Hafal 18 Juz di Usia 14 Tahun

Jika anak-anak di Gaza bisa menghafal di tengah sirine dan runtuhan bangunan, lalu apa alasan kita yang hidup di tempat aman untuk tidak meluangkan waktu membaca dan menghafal ayat-ayat suci?

Ubay bin Ka’ab, Penghafal Al Qur’an yang Namanya Disebut Allah

Ubay bin Ka’ab, Penghafal Al Qur’an yang Namanya Disebut Allah

Di antara deretan sahabat Nabi Muhammad ﷺ, Ubay bin Ka’ab adalah salah satu yang paling masyhur karena kedalaman ilmunya tentang Al-Qur’an. Namanya begitu harum di langit dan bumi, bahkan disebut langsung oleh Allah dalam sebuah peristiwa yang terekam dalam hadis sahih.

Rasulullah ﷺ bersabda kepada Ubay bin Ka’ab:
“Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan Al-Qur’an kepadamu.”
Ubay bertanya, “Apakah Allah menyebut namaku padamu?”
Rasulullah menjawab, “Ya.” Maka Ubay pun menangis.
(HR. Bukhari no. 3809 dan Muslim no. 799)

Siapa Ubay bin Ka’ab?

Ubay bin Ka’ab adalah seorang sahabat Anshar dari kabilah Khazraj yang berasal dari Madinah. Ia termasuk kelompok pertama yang memeluk Islam dan ikut dalam Bai’at Aqabah bersama Nabi. Ubay dikenal cerdas, bersahaja, dan sangat mencintai Al-Qur’an. Sebelum wafatnya Rasulullah ﷺ, beliau menjadi salah satu penulis wahyu dan penghafal utama Al-Qur’an.

Sosok Rujukan dalam Membaca Al-Qur’an

Beliau dikenal sebagai salah satu sahabat Nabi yang paling mahir dalam membaca dan menghafal Al-Qur’an. Ia termasuk di antara empat sahabat yang secara khusus diperintahkan Nabi ﷺ untuk belajar Al-Qur’an. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda,

“Ambillah bacaan Al-Qur’an dari empat orang: dari Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabal, dan Ubay bin Ka’ab.”

Ubay mulai menghafal Al-Qur’an langsung dari lisan Rasulullah ﷺ, yang membacakannya setiap kali wahyu turun. Karena kedekatannya dengan Nabi dan kecerdasannya dalam memahami bacaan, Ubay sering dijadikan tempat rujukan oleh sahabat lain ketika ada perbedaan qira’at atau tafsir ayat. Bahkan, dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah ﷺ memerintahkan Ubay untuk menjadi pencatat wahyu dan sekaligus menguji hafalan para sahabat lainnya.

Baca juga: Hikmah Surat At Tin: Semangat Beramal Shalih di Usia Muda

Kemampuannya yang kuat dalam menghafal dan pemahaman yang mendalam membuat beliau menjadi tokoh sentral dalam pengajaran Al-Qur’an di masa Nabi ﷺ dan sesudahnya. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Nabi pernah bersabda kepada Ubay,

“Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan Al-Qur’an kepadamu.” Ubay pun terharu dan bertanya, “Apakah Allah menyebut namaku?” Nabi menjawab, “Ya.” (HR. Tirmidzi, no. 3795)

Peran Besarnya dalam Kodifikasi Mushaf

Setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Utsman bin Affan, beliau turut membantu proses pengumpulan dan pembukuan Al-Qur’an menjadi satu mushaf. Beliau bekerja bersama Zaid bin Tsabit dan para sahabat ahli Qur’an lainnya dalam menyusun mushaf yang kemudian dikenal sebagai Mushaf Utsmani.

Ilustrasi seorang pria berjubah sedang membuka mushaf Al-Qur’an, menggambarkan sosok Ubay bin Ka’ab, sahabat Nabi yang dikenal sebagai penghafal Al-Qur’an dan namanya disebut oleh Allah.
Ilustrasi penghafal Al Qur’an (gambar tidak ditujukan untuk memvisualisasikan sosok Ubay bin Ka’ab)

 

Pelajaran dari Sosok Ubay bin Ka’ab

Kisah hidup beliau mengajarkan kita bahwa:

  1. Kedekatan dengan Al-Qur’an dapat mengangkat derajat seseorang di sisi Allah.

  2. Menghafal dan memahami Al-Qur’an adalah amal istimewa yang diwariskan langsung dari Rasulullah ﷺ kepada umatnya.

  3. Adab, ilmu, dan keistiqamahan adalah kunci keberkahan dalam menuntut ilmu agama

Sebagai seorang muslim yang ingin dekat dengan Al-Qur’an, kita bisa meneladani semangat dan kesungguhan Ubay bin Ka’ab. Semoga semangat beliau menginspirasi kita semua untuk terus membaca, memahami, dan mengamalkan firman Allah.

Referensi:

  • Shahih Bukhari no. 3808, 3809

  • Shahih Muslim no. 799

  • Siyar A’lam An-Nubala – Imam Adz-Dzahabi

  • Al-Isti’ab fi Ma’rifat Al-Ashab – Ibnu Abdil Barr

  • Tahdzib al-Kamal – Al-Mizzi