Marak di Kalangan Artis, Bagaimana Hukum Operasi Plastik?

Marak di Kalangan Artis, Bagaimana Hukum Operasi Plastik?

Al MuanawiyahBelakangan ini, fenomena operasi plastik semakin marak diperbincangkan, terutama di kalangan artis. Banyak figur publik yang secara terang-terangan mengakui telah melakukan operasi plastik demi alasan penampilan. Namun, sebagai seorang Muslim, tentu muncul pertanyaan: bagaimana hukum operasi plastik dalam Islam?

Pandangan Ulama tentang Operasi Plastik

Dalam forum bahtsul masail NU tahun 2006, para kiai membedakan antara operasi plastik yang dilakukan karena alasan kesehatan dan yang dilakukan murni untuk estetika. Jika operasi dilakukan untuk mengembalikan fungsi tubuh, menghilangkan cacat, atau memperbaiki kerusakan akibat kecelakaan, hukumnya boleh.

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan:
“Boleh memindah anggota badan dari satu tempat di tubuh seseorang ke tempat lain, selama manfaatnya lebih besar daripada mudaratnya. Disyaratkan pula operasi itu dilakukan untuk mengembalikan bentuk semula, memperbaiki cacat, atau menghilangkan gangguan fisik dan psikis.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, VIII: 5124).

Dengan kata lain, jika operasi plastik bertujuan menghilangkan rasa sakit, tekanan batin, atau memperbaiki cacat fisik, maka Islam memberikan keringanan.

gambar wajah wanita digambar ilustrasi hukum operasi plastik dalam Islam
Ilustrasi hukum operasi plastik (foto: freepik)

Larangan Operasi Plastik untuk Mengubah Ciptaan Allah

Namun berbeda halnya jika operasi plastik hanya bertujuan mengubah bentuk tubuh agar tampak lebih cantik atau tampan, padahal tidak ada cacat yang mengganggu. Imam Ath-Thabari dalam Fathul Bari menegaskan, mengubah ciptaan Allah untuk sekadar memperindah diri termasuk perbuatan yang terlarang. Misalnya, mencabut alis hingga mengubah bentuk wajah, atau memperbesar bagian tubuh agar sesuai standar kecantikan tertentu.

Baca juga: Potensi Zakat Tunjangan DPR dan Peluang Kebermanfaatannya

Fenomena Artis dan Relevansinya

Kini, tidak sedikit artis yang memilih jalan operasi plastik demi alasan penampilan. Mereka beranggapan bahwa popularitas menuntut kesempurnaan wajah dan tubuh. Namun dari kacamata Islam, tindakan seperti ini perlu dilihat secara hati-hati. Jika hanya didorong oleh tren, gengsi, atau ingin mengikuti standar kecantikan modern, maka hal itu bisa masuk dalam kategori tahrim (terlarang).

Meski demikian, jika operasi tersebut dilakukan karena faktor medis, seperti rekonstruksi akibat kecelakaan atau luka bakar, atau untuk membuka saluran pernafasan yang terhambat, maka hukumnya mubah bahkan bisa bernilai maslahat.

Hikmah yang Bisa Diambil

Fenomena ini memberikan pelajaran bahwa kecantikan sejati bukan sekadar soal fisik. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).

Artinya, penilaian utama dalam Islam bukanlah pada fisik, melainkan pada hati dan amal. Maka, daripada berfokus pada penampilan luar semata, lebih baik memperindah akhlak dan memperbanyak amal kebaikan.

Kesimpulan

Berdasarkan pandangan para ulama dan hasil bahtsul masail NU, hukum operasi plastik terbagi dua:

  1. Boleh, jika untuk mengembalikan fungsi tubuh, menghilangkan cacat, atau mengatasi gangguan psikis dan fisik.

  2. Haram, jika hanya untuk mengubah ciptaan Allah demi memperindah diri tanpa kebutuhan medis.

Fenomena artis yang ramai melakukan operasi plastik hendaknya menjadi refleksi, bahwa Islam mengajarkan keseimbangan antara menjaga penampilan dan tetap mensyukuri ciptaan Allah.

Referensi: NU Online

Potensi Zakat Tunjangan DPR dan Peluang Kebermanfaatannya

Potensi Zakat Tunjangan DPR dan Peluang Kebermanfaatannya

Isu tunjangan DPR kembali menjadi sorotan publik. Di tengah wacana efisiensi anggaran, masyarakat mempertanyakan gaya hidup mewah wakil rakyat yang disokong uang negara. Take home pay anggota DPR disebut-sebut bisa mencapai sekitar Rp50 juta per bulan. Pertanyaan pun muncul: apakah penghasilan sebesar itu wajib dizakati? Dan berapakah jumlah potensi zakat tunjangan DPR jika benar-benar ditunaikan sesuai syariat Islam?

Nisab dan Kewajiban Zakat Profesi

Dalam hukum zakat, setiap penghasilan yang telah mencapai nisab setara 85 gram emas wajib dizakati. Dengan harga emas sekitar Rp1,2 juta per gram (Agustus 2025), maka nisab berada di kisaran Rp102 juta per tahun, atau sekitar Rp8,5 juta per bulan. Artinya, gaji dan tunjangan anggota DPR jauh melampaui batas tersebut.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At-Taubah: 103).

Ayat ini menegaskan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban individual, tetapi juga bentuk penyucian harta dan sarana keadilan sosial.

Baca juga:  Zakat Mal: Pengertian, Syarat, dan Jenisnya

Hitungan Zakat dari Tunjangan DPR

Zakat profesi ditetapkan sebesar 2,5 persen dari penghasilan bersih. Dengan asumsi take home pay anggota DPR Rp50 juta per bulan, maka zakat yang seharusnya ditunaikan adalah Rp1,25 juta per bulan. Dalam setahun, jumlahnya mencapai Rp15 juta.

Jika seluruh 575 anggota DPR menunaikan zakat tunjangan, potensi zakat bisa menembus lebih dari Rp8 miliar setiap tahun. Angka ini tentu bukan jumlah kecil, dan bisa menjadi sumber kebermanfaatan luar biasa bila dikelola secara amanah.

foto rapat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di gedung DPR RI
Potensi zakat tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (foto: menpan.go.id)

Zakat Tunjangan DPR untuk Umat

Potensi zakat dari tunjangan DPR memang sangat besar jika benar-benar ditunaikan. Dengan jumlah miliaran rupiah per tahun, dana tersebut bisa menjadi sumber daya penting untuk  wakaf pendidikan, kesehatan, hingga pemberdayaan masyarakat kecil. Namun, hakikat zakat tidak berhenti pada angka semata. Zakat adalah instrumen keadilan sosial yang mampu menyeimbangkan kehidupan antara mereka yang berkelebihan dengan mereka yang kekurangan.

Karena itu, pembahasan terkait ini seharusnya tidak dipandang semata sebagai kritik, melainkan sebagai cermin bahwa siapa pun yang memiliki penghasilan layak—baik pejabat, guru, dokter, pegawai kantoran, hingga influencer—memiliki kewajiban moral dan spiritual untuk menunaikan zakat. Dengan begitu, zakat benar-benar kembali pada tujuan sucinya: menjaga keberkahan harta sekaligus menolong sesama.

Kesimpulan

Polemik mengenai tunjangan DPR sebenarnya bisa menjadi pintu untuk mengingatkan kita semua akan pentingnya zakat. Besarnya zakat dari gaji dan tunjangan DPR hanyalah contoh nyata bahwa zakat mampu menghadirkan manfaat luas bila dijalankan secara konsisten. Pada akhirnya, zakat bukan hanya kewajiban individu, melainkan wujud nyata kepedulian sosial dan solidaritas umat.

Baik seorang anggota DPR maupun masyarakat biasa, setiap muslim yang telah memenuhi nisab berkewajiban menunaikan zakat. Dengan begitu, zakat menjadi jembatan menuju keadilan sosial, mengalirkan keberkahan, serta memperkuat rasa persaudaraan di tengah kehidupan berbangsa.

almuanawiyah.com