Kisah Ali bin Abi Thalib dalam Perjalanannya Bersama Al-Qur’an

Kisah Ali bin Abi Thalib dalam Perjalanannya Bersama Al-Qur’an

Al MuanawiyahAli bin Abi Thalib adalah sahabat sekaligus menantu Rasulullah SAW yang memiliki kedudukan istimewa dalam sejarah Islam. Sejak usia muda, ia telah tumbuh dalam bimbingan Nabi dan hidup sangat dekat dengan Al-Qur’an. Melalui kisah Ali bin Abi Thalib, kita bisa menemukan teladan bagaimana seorang Muslim seharusnya berinteraksi dengan kitab suci, bukan hanya sebagai bacaan, tetapi juga sebagai pedoman hidup.

Kedekatan Ali dengan Al-Qur’an Sejak Muda

Ali bin Abi Thalib adalah anak pertama yang masuk Islam di usia belia. Ia langsung menyaksikan turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Setiap ayat yang dibacakan Nabi Muhammad SAW dihafalnya dengan penuh perhatian. Bukan hanya itu, Ali juga kerap meminta penjelasan langsung dari Rasulullah tentang makna ayat yang baru turun. Oleh karena itu, sejak awal, ia bukan hanya penghafal Al-Qur’an, tetapi juga pengamal yang memahami tafsirnya.

Ali dijuluki sebagai “Babul Ilmi” atau Pintu Ilmu. Julukan ini lahir karena keluasan pemahamannya tentang Al-Qur’an. Dalam banyak kesempatan, ia menjelaskan tafsir dengan sangat mendalam, seakan cahaya petunjuk keluar dari lisannya. Menurut Ali, Al-Qur’an adalah cahaya yang tidak akan padam, tali Allah yang paling kokoh, dan penuntun yang tidak akan menyesatkan. Pesan ini masih relevan hingga kini, mengingat umat Islam memerlukan pedoman yang menuntun dalam menghadapi fitnah zaman.

Baca juga:  Cerita Inspirasi Shalat dari Ali bin Abi Thalib

Al-Qur’an dalam Kepemimpinan Ali

Ketika Ali menjadi khalifah, ia menghadapi masa penuh ujian. Fitnah politik, peperangan, dan perpecahan umat menjadi tantangan besar. Namun, Al-Qur’an tetap ia jadikan pedoman dalam mengambil keputusan. Salah satu peristiwa penting adalah Perang Shiffin, ketika musuh mengangkat mushaf di ujung tombak. Ali menunjukkan sikap bijak bahwa Al-Qur’an tidak boleh dijadikan alat politik, melainkan benar-benar harus dijadikan pedoman kebenaran.

ilustrasi Perang Shiffin awal mula terbentuknya sunni syiah masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Perang Shiffin yang terjadi di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (foto: wikipedia)

Hikmah Kisah Ali bi Abi Thalib Bersama Al-Qur’an

Dari kisah Ali bin Abi Thalib, kita dapat belajar bahwa mencintai Al-Qur’an tidak cukup hanya dengan membaca. Ali mengajarkan agar Al-Qur’an dipahami, diamalkan, dan dijadikan cahaya kehidupan. Ia wafat sebagai syahid, namun warisannya tentang kecintaan pada kitab suci akan terus hidup. Hingga kini, Ali tetap menjadi teladan generasi Muslim dalam menjaga ikatan kuat dengan Al-Qur’an. Baca juga cerita inspiratif Al-Qur’an sahabat lainnya seperti Zain bin Tsabit.

Kisah Penghafal Al-Qur’an Gaza yang Menginspirasi dari Rashad

Kisah Penghafal Al-Qur’an Gaza yang Menginspirasi dari Rashad

Di tengah gempuran konflik dan keterbatasan hidup, Gaza tidak pernah kehilangan cahaya Al-Qur’an. Justru dari tanah yang terluka itu, lahir banyak hafiz dan hafizah muda yang membuktikan bahwa firman Allah bisa menetap di dada siapa saja, tak terbatas oleh usia, tempat, atau keadaan. Salah satu kisah penghafal Al-Qur’an Gaza yang menginspirasi berasal dari Rashad Nimr Abu Ras, seorang anak yang berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an di usia 7 tahun.

Menghafal di Tengah Suara Ledakan

Kisah ini bukan sekadar kisah pencapaian biasa. Rashad hidup dalam lingkungan yang serba terbatas. Gaza, seperti yang dunia tahu, adalah wilayah yang setiap hari menghadapi blokade, kelangkaan listrik, dan ancaman serangan. Namun, Rashad tidak menyerah dengan keadaan. Sejak kecil, ia sudah dibiasakan menghadiri halaqah tahfidz di masjid lingkungan tempat tinggalnya. Setiap hari, ia menyetorkan hafalannya kepada para ustadz, meski kadang harus menunggu giliran tanpa fasilitas layak.

Ia tidak memiliki aplikasi canggih, tidak ada rekaman murotal profesional di rumahnya. Yang ia miliki hanyalah semangat dan kesungguhan yang dibimbing oleh cinta kepada Al-Qur’an. Dalam waktu singkat, ia mampu menyetorkan hafalan 30 juz dan lulus dalam ujian tasmi’ yang dihadiri oleh para penguji lokal.

“Rashad adalah bukti nyata bahwa siapa pun bisa menjadi penghafal jika sungguh-sungguh. Bahkan dari Gaza yang penuh luka, kami bisa melahirkan generasi Al-Qur’an,” ungkap gurunya dalam wawancara bersama IQNA (International Quran News Agency).

Rashad Nimr Abu Ras hafidz muda dari gaza Palestina, kisah motivasi penghafal Al-Qur'an di tengah perang dan konflik
Rashad Nimr Abu Ras, kisah penghafal Al-Qur’an Gaza (iqna.ir)

Gaza dan Semangat Generasi Qur’ani

Kisah penghafal Al-Qur’an Gaza seperti Rashad bukanlah satu-satunya. Ada banyak anak-anak lain yang mengikuti jejaknya. Di tengah keterbatasan, mereka mengisi hari-hari dengan murojaah, memperbaiki tajwid, dan saling menyimak satu sama lain.

Fenomena ini tidak lepas dari budaya masyarakat Gaza yang sangat menjunjung tinggi pendidikan Qur’ani. Banyak orangtua yang menjadikan tahfidz sebagai prioritas pendidikan anak. Bahkan beberapa lembaga tahfidz di Gaza memiliki program khusus bagi anak-anak korban perang untuk mendapatkan ketenangan melalui bacaan Al-Qur’an.

Baca juga: Sejarah Masjid Al Aqsa sebagai Kiblat Pertama Umat Islam

Bagi Rashad, menghafal bukan hanya untuk mendapatkan pengakuan, tetapi menjadi sumber kekuatan mental di tengah ujian hidup. Ia merasa lebih tenang saat membaca ayat-ayat Allah, terutama ketika harus menjalani hari-hari di bawah ancaman konflik berkepanjangan.

Pelajaran untuk Kita di Negeri Damai

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah penghafal Al-Qur’an Gaza ini? Salah satu hikmah terbesar adalah bahwa menghafal bukan soal waktu luang atau fasilitas, tetapi soal niat dan istiqamah. Rashad dan anak-anak Gaza lainnya menunjukkan bahwa keterbatasan justru bisa menjadi pendorong lahirnya keberkahan. Bukan hanya di Gaza, kisah ini seharusnya memotivasi kita semua—terutama di negeri yang lebih damai—untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan menanamkan Al-Qur’an dalam hati.

Baca juga: Motivasi Penghafal Al-Qur’an: Hafal 18 Juz di Usia 14 Tahun

Jika anak-anak di Gaza bisa menghafal di tengah sirine dan runtuhan bangunan, lalu apa alasan kita yang hidup di tempat aman untuk tidak meluangkan waktu membaca dan menghafal ayat-ayat suci?