Cerita Teladan Sedekah dari Ummu Umarah

Cerita Teladan Sedekah dari Ummu Umarah

Dalam sejarah Islam, banyak sekali kisah para sahabat yang bisa menjadi inspirasi. Salah satunya adalah cerita teladan sedekah dari seorang wanita mulia bernama Ummu Umarah, atau dikenal juga dengan Nusaibah binti Ka’ab. Beliau adalah sosok sahabiyah yang tidak hanya dikenal karena keberaniannya di medan perang, tetapi juga karena keikhlasannya dalam beribadah, beramal, dan bersedekah.

Siapa Ummu Umarah?

Nusaibah binti Ka’ab (Arab: نسيبة بنت كعب), yang lebih dikenal dengan nama Ummu Umarah, merupakan salah satu perempuan awal yang masuk Islam dan tercatat memiliki peran besar dalam perjuangan Islam. Ia turut serta dalam berbagai pertempuran, salah satunya Perang Uhud, di mana beliau dengan penuh keberanian melindungi Rasulullah SAW hingga mengalami 12 luka. Selain itu, Ummu Umarah juga hadir dalam sejumlah peristiwa penting seperti Baiat Aqabah kedua, Perjanjian Hudaibiyah, Perang Hunain, serta Perang Yamamah (wikipedia).  Namun, selain keberaniannya, ada sisi lembut yang patut diteladani, yaitu kedermawanannya dalam bersedekah.

cerita teladan sedekah ummu umarah nusaibah binti ka'ab. Muslimah yang mengenakan hijab tertutup dan pakaian perang, ilustrasi Ummum Umarah dalam Perang Uhud
Ilustrasi Ummu Umarah cerita teladan sedekah dalam Perang Uhud (foto: republika.co.id)

Teladan Sedekah Ummu Umarah

Dalam sebuah riwayat, Ummu Umarah pernah memberikan sebagian besar harta miliknya untuk perjuangan Islam. Beliau tidak pernah ragu untuk menginfakkan apa yang dimiliki, meskipun dirinya sendiri tidak bergelimang harta. Hal ini menunjukkan bahwa sedekah bukan hanya milik orang kaya, tetapi juga bisa dilakukan oleh siapa saja yang hatinya ikhlas.

Cerita teladan sedekah dari Ummu Umarah mengajarkan bahwa berbagi itu tidak menunggu kaya. Dengan niat tulus, sedikit yang diberikan akan bernilai besar di sisi Allah SWT. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pernah menyanjung keikhlasan para sahabat perempuan yang ikut mendukung dakwah dengan sedekah mereka.

Hikmah dan Pelajaran

Ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari kisah ini:

  1. Sedekah sebagai bukti cinta kepada Allah dan Rasul. Ummu Umarah rela berkorban harta bahkan nyawa demi mempertahankan agama Islam.

  2. Sedekah tidak mengurangi harta. Justru, keberkahan datang dari harta yang dikeluarkan di jalan Allah.

  3. Ikhlas lebih utama daripada jumlah. Sedikit sedekah dengan hati yang ikhlas akan lebih bernilai dibandingkan sedekah besar tanpa keikhlasan.

  4. Wanita juga berperan dalam perjuangan Islam. Kisah Ummu Umarah menunjukkan bahwa kontribusi perempuan tidak hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam dakwah dan amal sosial.

Melalui cerita teladan sedekah dari Ummu Umarah, kita belajar bahwa sedekah adalah jalan menuju keberkahan hidup. Sedekah harta yang kita keluarkan di jalan Allah tidak akan sia-sia, bahkan menjadi tabungan abadi di akhirat. Sudah seharusnya kita meneladani semangat beliau untuk senantiasa berbagi, meskipun dalam keadaan terbatas.

Mari kita mulai dari hal kecil, bersedekah sesuai kemampuan, dan istiqamah dalam berbagi. Dengan begitu, kita tidak hanya membantu sesama, tetapi juga menapaki jalan menuju ridha Allah SWT. Salurkan sedekah terbaik Anda agar dapat mengalirkan manfaat yang lebih luas untuk para penghafal Al-Qur’an di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah Jombang.

Adab Berbicara dari Kajian Kitab Washiyatul Musthafa

Adab Berbicara dari Kajian Kitab Washiyatul Musthafa

Adab berbicara adalah salah satu bagian penting dari ajaran Islam yang sering ditekankan dalam berbagai kitab, salah satunya Washiyatul Musthafa. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa lisan adalah amanah. Meski tidak bertulang, ia bisa mendatangkan manfaat besar atau justru menimbulkan bahaya yang lebih tajam daripada pedang. Karena itu, seorang Muslim wajib berhati-hati menjaga setiap kata yang keluar dari mulutnya.

 

Bahaya Lisan yang Tidak Dijaga

Salah satu bentuk kelalaian dalam berbicara adalah mudah mencela, menghina, atau ghibah. Dalam kitab Washiyatul Musthofa dijelaskan bahwa ghibah memiliki konsekuensi besar: pelakunya harus meminta maaf langsung kepada orang yang digibahi dengan menyebutkan kesalahannya. Jika tidak, maka ada kafarat atau hukuman yang menanti. Bahkan laknat seorang Muslim kepada sesama Muslim ibarat boomerang—ucapan itu akan kembali kepada dirinya sendiri.

Dua wanita berhijab berbincang sambil tersenyum, ilustrasi adab berbicara menurut Kitab Washiyatul Musthafa
Adab berbicara yang yang baik (foto: freepik)

Menjaga Adab Berbicara di Era Digital

Di zaman sekarang, menjaga adab berbicara menjadi semakin penting. Manusia bisa “bicara” tanpa membuka mulut, cukup dengan mengetik komentar atau membuat postingan di media sosial. Fenomena akun gosip atau budaya ghibah bareng netizen adalah contoh nyata betapa mudahnya orang melupakan adab bicara. Padahal, dosa ghibah tetaplah sama, baik dilakukan secara langsung maupun melalui jari-jari di dunia maya.

Baca juga: Bahaya Banyak Bicara Bagi Hati dan Kekhusyukan Ibadah

Jika seseorang berani menyebarkan keburukan orang lain, maka ia juga harus berani menanggung konsekuensinya. Efek dari lisan, baik lisan nyata maupun lisan digital, bisa memecah ukhuwah, menumbuhkan kebencian, bahkan menyeret pelakunya kepada murka Allah.

Menjaga adab berbicara bukan hanya tentang sopan santun, tetapi juga menyangkut keselamatan akhirat. Lisan yang tidak dapat dikendalikan diibaratkan seperti anjing buas, yang siap menerkam musuhnya dengan galak. Rasulullah ﷺ mengajarkan agar lisan kita selalu terjaga dari celaan, ghibah, maupun laknat. Di era digital, pesan ini semakin relevan: pikirkan baik-baik sebelum berucap maupun sebelum mengetik

 Untuk penjelasan lebih lengkap, mari simak kajian kitab Washiyatul Musthafa tentang adab berbicara di channel YouTube Al Muanawiyah. Semoga Allah menjaga lisan kita agar selalu terarah pada kebaikan.

Ringkasan Fiqh Haid: Urgensi, Batasan Waktu, dan Tanda Suci

Ringkasan Fiqh Haid: Urgensi, Batasan Waktu, dan Tanda Suci

Pembahasan fiqh haid menjadi penting karena menyangkut sah atau tidaknya ibadah perempuan muslimah. Topik ini berkaitan langsung dengan batasan waktu haid, tanda suci, dan perbedaan haid dengan istihādhah. Pengetahuan ini membantu setiap muslimah melaksanakan ibadah sehari-hari dengan lebih tenang dan sesuai syariat. Pemahaman yang baik juga membantu menghindari waswas, mengatur jadwal ibadah seperti umrah, haji, maupun i’tikaf, serta menjaga keteraturan spiritual seorang muslimah.

Sayangnya, masih banyak muslimah yang menyepelekan batasan waktu haid. Sebagian hanya mengira-ngira tanpa mencatat, bahkan ada yang langsung berhenti beribadah begitu melihat bercak sedikit. Akibatnya, ibadah wajib seperti shalat dan puasa sering terlewat padahal sebenarnya sudah masuk masa suci. Kesalahan ini tidak hanya mengurangi amalan, tetapi juga menimbulkan keraguan dalam melaksanakan kewajiban harian.

gambar kalender haid ilustrasi ringkasan fiqh haid
Pentingnya menandai waktu haid dalam pembahasan fiqh haid

Ringkasan Fiqh Haid

Batasan Waktu Haid Menurut Mazhab Syafi’i

Dalam fiqh Syafi’i, batas minimal haid adalah 1 hari 1 malam. Batas maksimalnya mencapai 15 hari 15 malam, sedangkan kebiasaan rata-rata berkisar 6–7 hari. Masa suci di antara dua siklus minimal 15 hari. Apabila darah keluar melebihi 15 hari, statusnya berubah menjadi istihadzoh. Kondisi ini bukan haid, sehingga perempuan tetap wajib shalat dan puasa. Perbedaan haid dan istihadzoh harus ditandai karena berkaitan dengan pembahasan penting berikutnya.

Tanda Suci dan Kembali Beribadah

Perempuan dianggap suci jika terlihat kekeringan sempurna atau muncul cairan putih (quṣṣah bāiḍā’). Begitu tanda tersebut tampak, ia harus segera mandi wajib. Sesudahnya, ibadah seperti shalat, puasa, atau membaca Al-Qur’an dapat kembali dilakukan. Hal ini menegaskan pentingnya ketelitian dalam mengamati tanda suci dari haid.

Agar lebih mudah, muslimah dianjurkan mencatat siklus bulanannya. Tuliskan tanggal mulai dan berhenti haid, kemudian simpan durasinya. Catatan ini memudahkan menentukan kewajiban qadha puasa Ramadan, serta mencegah kebingungan jika pola haid tidak teratur. Kebiasaan sederhana tersebut juga bermanfaat untuk konsultasi ke tenaga kesehatan.

Belajar Fiqh Haid Bentuk Kehati-hatian Muslimah

Sebagai penutup, penting bagi setiap muslimah untuk berhati-hati dalam memperhatikan jadwal haid dan masa suci. Kehati-hatian ini menjadi kunci agar tidak ada ibadah wajib yang terlewat, khususnya shalat dan puasa. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Apabila seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.” (HR. Ahmad).

Hadis ini menegaskan bahwa jalan menuju surga bagi wanita sangatlah dekat. Salah satu bentuk ikhtiar menuju kemuliaan itu adalah dengan teliti memahami dan mengamalkan fiqh haid, sehingga ibadah dapat dijalankan dengan sempurna tanpa keraguan. Baca juga  kitab Risalatul Mahidh untuk penjelasan lebih lengkap.