Huru Hara Politik Indonesia: Siapa yang Sebenarnya Bersalah?

Huru Hara Politik Indonesia: Siapa yang Sebenarnya Bersalah?

Pertanyaan besar muncul pasca demonstrasi 28 Agustus 2025 yang berujung huru hara politik di berbagai daerah. Saya dan istri berdiskusi, “Siapa yang salah?” Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Apakah ulama? Umaro? Atau masyarakat sendiri? Jika ditelusuri lebih dalam, akar masalah tidak sesederhana menunjuk satu pihak.

Akar Masalah dari Pemilu hingga Kebijakan

Demonstrasi kemarin dipicu kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Namun bila ditarik ke belakang, budaya politik uang dalam pemilu menjadi salah satu cikal-bakalnya. Ungkapan populer seperti “kalau tidak ada amplop, tidak nyoblos” atau “serangan fajar jadi penentu pilihan” mencerminkan rapuhnya demokrasi kita.

Politisi pun sering mengeluhkan bahwa biaya menuju kursi legislatif sangat tinggi. Alhasil, sebagian terjebak pada praktik bagi-bagi uang demi dukungan. Ormas yang seharusnya netral juga sering kali ikut terpolarisasi, hingga marwahnya menurun di mata masyarakat.

huru hara politik Indonesia, demo 28 Agustus 2025, Affan Kurniawan, tunjangan DPR, tuntutan rakyat, demo Indonesia 2025
Potret huru hara politik Indonesia saat demonstrasi di depan gedung DPR Jakarta, 25 Agustus 2025 (foto: tempo.co)

Kesenjangan yang Melebar

Masalah lain terletak pada jurang sosial-ekonomi yang semakin terasa. Peneliti Ray Rangkuti pernah menyinggung perbedaan mencolok antara gaji DPR dengan rata-rata penghasilan rakyat. Bayangkan, rakyat hanya memperoleh Rp100 ribu per hari, sedangkan pejabat bisa mengantongi Rp3 juta per hari. Perbandingan inilah yang menimbulkan kecemburuan sosial sekaligus menumbuhkan ketidakpercayaan pada sistem politik.

Baca juga: Potensi Zakat Tunjangan DPR dan Peluang Kebermanfaatannya

Ulama, Umaro, dan Tanggung Jawab Bersama

Sayangnya, ulama belum sepenuhnya hadir memberi solusi. Banyak kebijakan yang meresahkan umat justru dibiarkan tanpa suara tegas. Akibatnya, petuah keagamaan terdengar kurang sejuk di mata masyarakat. Sementara umaro, atau pemerintah, terikat kepentingan partai dan kekuasaan politik, sehingga sulit berpihak total kepada rakyat.

Belum lagi lembaga yudikatif yang dinilai masih lemah dalam menegakkan hukum dengan adil. Semua ini berujung pada keresahan publik, yang kemudian meledak dalam bentuk demonstrasi, huru hara, bahkan shalat ghaib bersama. Saat demo terjadi yang dinilai menjadi pengayom ikut serta menambah masalah baru terjadinya salah satu Ojol (Ojek Online) terlindas meninggal, ini menjadi letupan menambah besarnya api kemarahan masyarakat. Entah apakah ini murni gerakan rakyat atau ada rekayasa elit politik, faktanya kondisi Indonesia memang tidak baik-baik saja.

Menatap Pemilu dengan Bijak

Masyarakat harus lebih bijak saat pemilu. Jangan tergiur uang Rp20 ribu atau Rp50 ribu yang habis dalam sehari, namun menjerat dalam lima tahun kebijakan yang menekan. Ulama pun jangan tergoda kekuasaan. Mereka harus menjadi penggerak moral, penyejuk, sekaligus pengingat bagi penguasa. Pemerintah juga harus membuka telinga, mendengarkan aspirasi rakyat, bukan justru menutup diri.

Sebagaimana di tulis Gus Nadhirsyah Hosein dan dikutip dari Imam al-Ghazali pernah mengingatkan:

‎وَبِالْجُمْلَةِ، إِنَّمَا فَسَدَتِ الرَّعِيَّةُ بِفَسَادِ الْمُلُوكِ، وَفَسَادُ الْمُلُوكِ بِفَسَادِ الْعُلَمَاءِ، فَلَوْلَا الْقُضَاةُ السُّوءُ وَالْعُلَمَاءُ السُّوءُ لَقَلَّ فَسَادُ الْمُلُوكِ خَوْفًا مِّنْ إِنْكَارِهِمْ

“Secara umum, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa berakar dari ulama yang rusak. Jika tidak ada hakim dan ulama yang buruk, niscaya kerusakan penguasa akan berkurang karena mereka takut pada kritik ulama.”

Baca juga: Ikhlas vs Pasrah: Polemik Kesejahteraan Guru di Indonesia

Doa untuk Negeri

Huru hara politik Indonesia tidak akan berhenti jika semua pihak saling lempar tanggung jawab. Ulama, umaro, dan rakyat harus introspeksi. Hanya dengan sinergi, kejujuran, dan niat baik, Indonesia bisa keluar dari lingkaran krisis.

اللهم اجعل هذا البلد اندنسيا آمناً مطمئناً وسائر بلاد المسلمين

Semoga Allah menjadikan negeri ini aman, tenteram, dan penuh keberkahan.

A. Muammar Sholahuddin, S.Pd., M.Pd.
Founder Al-Muanawiyah

Shalat Ghaib: Hukum, Keutamaan, dan Panduan Praktis

Shalat Ghaib: Hukum, Keutamaan, dan Panduan Praktis

Al-MuanawiyahBaru-baru ini, umat Islam di berbagai penjuru Indonesia dan mancanegara melaksanakan shalat ghaib untuk almarhum Affan Kurniawan, salah satu korban dalam aksi demonstrasi 28 Agustus 2025. Dari Jombang hingga Tarim, ribuan jamaah menunaikan shalat ini sebagai bentuk doa dan penghormatan terakhir. Fenomena tersebut kemudian memunculkan pertanyaan di kalangan masyarakat: sebenarnya apa itu shalat ghaib? Bagaimana hukum, keutamaan, dan tata cara pelaksanaannya menurut tuntunan Islam?

gambar shalat ghaib di Polres Jombang untuk Affan Kurniawan korban demo 28 Agustus 2025
Shalat ghaib untuk Alm. Affan Kurniawan di Polres Jombang (foto: detik.com)

Pengertian Salat Ghaib

Salat ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan ketika seorang muslim meninggal dunia tetapi jenazahnya tidak ada di tempat orang yang menyalatkannya. Dalil yang mendasarinya adalah kisah Rasulullah ﷺ yang melakukan shalat ghoib untuk Raja Najasyi, penguasa Habasyah yang wafat dalam keadaan beriman.

Dalil Shalat Ghaib

Diriwayatkan dalam hadis sahih:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: نَعَى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ النَّجَاشِيَّ صَاحِبَ الْحَبَشَةِ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَخَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا
(HR. Bukhari no. 1188, Muslim no. 951)

Artinya: “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ memberitahukan kepada kami tentang kematian Raja Najasyi pada hari wafatnya. Lalu beliau keluar ke tempat shalat, mengimami jamaah, dan bertakbir empat kali atas jenazah itu.”

Hadis ini menjadi dasar utama salat gaib dalam Islam.

Baca juga: Keutamaan Shalat Berjamaah daripada Shalat Sendirian

Hukum Shalat Ghaib

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum salat ghoib:

  1. Sunnah (dianjurkan)

    • Jumhur (mayoritas) ulama seperti Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat hukumnya sunnah, dengan dalil praktik Nabi ﷺ yang menyalatkan Raja Najasyi (HR. Bukhari & Muslim).

    • Mereka menilai, jika ada muslim yang wafat di tempat lain dan tidak ada yang menyalatkannya, maka dianjurkan umat Islam menyalatkannya secara ghaib.

  2. Tidak disyariatkan kecuali kasus khusus

    • Ulama dari Mazhab Malikiyah berpendapat tidak disyariatkan, kecuali dalam kasus tertentu seperti jenazah yang tidak ada orang menyalatkannya (contoh Raja Najasyi).

  3. Boleh tapi bukan kebiasaan umum

    • Sebagian ulama Hanafiyah memandang boleh, tetapi bukan untuk dijadikan amalan rutin setiap kali mendengar ada muslim wafat di tempat jauh.

Keutamaan Salat Ghaib

Beberapa keutamaan melaksanakan salat ghaib antara lain:

  • Menjalankan sunnah Rasulullah ﷺ.

  • Mendapat pahala besar sebagaimana pahala shalat jenazah.

  • Menguatkan ukhuwah islamiyah karena mendoakan saudara seiman meski tak pernah bertemu.

  • Bentuk kasih sayang sesama muslim, tanpa batas jarak dan waktu.

Niat Shalat Ghoib

Lafadz niat salat ghoib sama dengan niat shalat jenazah biasa, hanya ditambahkan kata ghaib. Berikut niatnya:

نَوَيْتُ أَنْ أُصَلِّيَ عَلَى هَذَا الْمَيِّتِ الْغَائِبِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ لِلَّهِ تَعَالَى

Artinya: “Aku niat shalat atas mayit ghaib ini empat kali takbir, fardhu kifayah karena Allah Ta’ala.”

Tata Cara Shalat Ghaib

Dilakukan dengan empat kali takbir, tanpa rukuk dan sujud. Urutannya:

  1. Takbir pertama: Membaca surat Al-Fatihah.

  2. Takbir kedua: Membaca shalawat atas Nabi ﷺ.

  3. Takbir ketiga: Mendoakan mayit, misalnya doa Allahummaghfirlahu warhamhu….

  4. Takbir keempat: Doa singkat lalu salam.

Shalat ini bisa dilakukan sendiri maupun berjamaah, kapan saja setelah mendengar kabar wafatnya seorang muslim.

Salat ghoib adalah wujud kasih sayang dan doa seorang muslim kepada saudaranya yang telah meninggal dunia meskipun terhalang jarak. Melaksanakannya tidak hanya mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ, tetapi juga menjadi sarana memperkuat rasa persaudaraan dan keadilan sosial antar umat Islam.

Potensi Zakat Tunjangan DPR dan Peluang Kebermanfaatannya

Potensi Zakat Tunjangan DPR dan Peluang Kebermanfaatannya

Isu tunjangan DPR kembali menjadi sorotan publik. Di tengah wacana efisiensi anggaran, masyarakat mempertanyakan gaya hidup mewah wakil rakyat yang disokong uang negara. Take home pay anggota DPR disebut-sebut bisa mencapai sekitar Rp50 juta per bulan. Pertanyaan pun muncul: apakah penghasilan sebesar itu wajib dizakati? Dan berapakah jumlah potensi zakat tunjangan DPR jika benar-benar ditunaikan sesuai syariat Islam?

Nisab dan Kewajiban Zakat Profesi

Dalam hukum zakat, setiap penghasilan yang telah mencapai nisab setara 85 gram emas wajib dizakati. Dengan harga emas sekitar Rp1,2 juta per gram (Agustus 2025), maka nisab berada di kisaran Rp102 juta per tahun, atau sekitar Rp8,5 juta per bulan. Artinya, gaji dan tunjangan anggota DPR jauh melampaui batas tersebut.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At-Taubah: 103).

Ayat ini menegaskan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban individual, tetapi juga bentuk penyucian harta dan sarana keadilan sosial.

Baca juga:  Zakat Mal: Pengertian, Syarat, dan Jenisnya

Hitungan Zakat dari Tunjangan DPR

Zakat profesi ditetapkan sebesar 2,5 persen dari penghasilan bersih. Dengan asumsi take home pay anggota DPR Rp50 juta per bulan, maka zakat yang seharusnya ditunaikan adalah Rp1,25 juta per bulan. Dalam setahun, jumlahnya mencapai Rp15 juta.

Jika seluruh 575 anggota DPR menunaikan zakat tunjangan, potensi zakat bisa menembus lebih dari Rp8 miliar setiap tahun. Angka ini tentu bukan jumlah kecil, dan bisa menjadi sumber kebermanfaatan luar biasa bila dikelola secara amanah.

foto rapat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di gedung DPR RI
Potensi zakat tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (foto: menpan.go.id)

Zakat Tunjangan DPR untuk Umat

Potensi zakat dari tunjangan DPR memang sangat besar jika benar-benar ditunaikan. Dengan jumlah miliaran rupiah per tahun, dana tersebut bisa menjadi sumber daya penting untuk  wakaf pendidikan, kesehatan, hingga pemberdayaan masyarakat kecil. Namun, hakikat zakat tidak berhenti pada angka semata. Zakat adalah instrumen keadilan sosial yang mampu menyeimbangkan kehidupan antara mereka yang berkelebihan dengan mereka yang kekurangan.

Karena itu, pembahasan terkait ini seharusnya tidak dipandang semata sebagai kritik, melainkan sebagai cermin bahwa siapa pun yang memiliki penghasilan layak—baik pejabat, guru, dokter, pegawai kantoran, hingga influencer—memiliki kewajiban moral dan spiritual untuk menunaikan zakat. Dengan begitu, zakat benar-benar kembali pada tujuan sucinya: menjaga keberkahan harta sekaligus menolong sesama.

Kesimpulan

Polemik mengenai tunjangan DPR sebenarnya bisa menjadi pintu untuk mengingatkan kita semua akan pentingnya zakat. Besarnya zakat dari gaji dan tunjangan DPR hanyalah contoh nyata bahwa zakat mampu menghadirkan manfaat luas bila dijalankan secara konsisten. Pada akhirnya, zakat bukan hanya kewajiban individu, melainkan wujud nyata kepedulian sosial dan solidaritas umat.

Baik seorang anggota DPR maupun masyarakat biasa, setiap muslim yang telah memenuhi nisab berkewajiban menunaikan zakat. Dengan begitu, zakat menjadi jembatan menuju keadilan sosial, mengalirkan keberkahan, serta memperkuat rasa persaudaraan di tengah kehidupan berbangsa.

almuanawiyah.com