Al-Muanawiyah – Di tengah maraknya sorotan publik terhadap gaya hidup mewah sebagian pejabat hari ini, sejarah Indonesia pernah mencatat seorang pemimpin pemerintahan yang justru hidup dengan penuh kesederhanaan. Saat banyak pejabat modern menikmati fasilitas negara dengan kemewahan, sosok Mohammad Natsir tampil berbeda. Ia memimpin dengan hati, menolak kenyamanan berlebih, dan menunjukkan bahwa amanah kekuasaan bukanlah jalan untuk menumpuk harta. Sikap inilah yang membuat jejak perjuangannya tetap relevan untuk direnungkan hingga kini.
Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993), lahir di Solok, Sumatera Barat. Beliau sosok ulama, politisi, dan pejuang bangsa yang sangat dihormati. Ia merupakan salah satu inisiator dan pemimpin Partai Masyumi, tokoh Islam terkenal yang sempat menjabat sebagai Perdana Menteri kelima Indonesia. Mosi politiknya monumental, dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, yang menyatukan Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kariernya, Natsir juga pernah menjadi Menteri Penerangan. Pada 3 April 1950, gagasannya, disampaikan dalam sidang parlemen dan mendapat dukungan dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Berkat gagasan itu, beliau diangkat menjadi perdana menteri hingga 26 April 1951. Beliau mengundurkan diri akibat perbedaan pandangan dengan Presiden Soekarno, khususnya soal hubungan antara Islam dan negara serta kritik terhadap sekularisasi ala Ataturk.
Baca juga: Sejarah Buya Hamka: Sastrawan dan Tokoh Dakwah Inspiratif
Konsistensi, PRRI, dan Penjara
Setelah era kekuasaannya, Natsir lebih vokal dalam menyuarakan peran penting Islam di kehidupan berbangsa. Ia terlibat dalam PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)—suatu gerakan yang mendorong otonomi lebih besar daerah. Tetapi inisiasi tersebut dianggap pemberontakan oleh pemerintah. Karena itu, pada masa Demokrasi Terpimpin, Natsir dipenjara di Malang dari 1962 hingga 1964, sebelum akhirnya dibebaskan pada awal Orde Baru (1966).
Kesederhanaan Hidup
Sosok Natsir juga diingat sebagai figur yang sangat sederhana. Ia menolak menerima fasilitas mewah: mobil baru dan dana taktis sebagai Perdana Menteri. Dana yang tersisa bahkan disalurkan ke koperasi karyawan, sementara mobil mewah ditolaknya digantikan dengan mobil tua De Soto yang dibeli sendiri untuk keperluan keluarga. Gaya hidup seperti ini mencerminkan prinsip hidupnya sebagai pemimpin — amanah dan tak berubah karena jabatan.
Selain itu, Mohammad Natsir juga dikenal luas karena kesederhanaannya saat menjabat sebagai pejabat tinggi negara. Beliau kerap mengenakan jas bertambal dan sederhana, hingga membuat stafnya mengumpulkan uang untuk membelikannya pakaian baru. Saat mengundurkan diri dari jabatan PM, ia mengembalikan mobil dinas dan pulang bersama sopir dengan berboncengan sepeda, bukan mobil mewah.
Baca juga: KH Ahmad Dahlan: Perintis Pendidikan Modern di Indonesia
Kedekatan dengan Douwes Dekker & Intelektual Muslim
Natsir dikenal memiliki keakraban dengan tokoh pergerakan nasional Ernest Douwes Dekker. Keduanya kerap berdiskusi sambil bermain musik klasik. Dari persahabatan inilah, Dekker tertarik masuk Masyumi—saling bertukar gagasan tentang demokrasi dan keadilan yang sehaluan.
Setelah masa penahanan, Natsir kembali berkiprah di organisasi Islam internasional seperti Liga Muslim Dunia dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Pada tahun 1980, ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang menandatangani Petisi 50, yang mengkritik penyalahgunaan Pancasila oleh rezim Orde Baru, sehingga dilarang bepergian ke luar negeri.
Warisan dan Penghormatan
Natsir menulis sekitar 45 buku dan ratusan artikel sepanjang hidupnya, membahas topik Islam, budaya, politik, dan relasi antaragama. Ia memperoleh banyak penghargaan internasional, termasuk Faisal Award (1980), beberapa gelar doktor honoris causa, dan akhirnya diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 10 November 2008.
Mohammad Natsir wafat pada 6 Februari 1993 di Jakarta, namun semangat perjuangannya tetap abadi—menjadi teladan bagi pemimpin yang menggabungkan kecerdasan politik, integritas, dan akhlak mulia.