Hikmah Kekalahan di Perang Uhud yang Mengajarkan Adab Bicara

Gunung Uhud di Madinah Arab Saudi, perang Uhud, perang Badar, perang Muslim melawan Quraisy
Gunung Uhud di Madinah, tempat terjadinya Perang Uhud (foto: wikipedia)

Di era digital yang serba cepat, kata-kata tidak lagi hanya terucap lewat lisan, melainkan juga lewat jari-jari di media sosial. Saat suasana bangsa memanas dengan demonstrasi menuntut revolusi pemerintahan, setiap kalimat yang disebarkan bisa memicu efek besar. Sering kali, bahaya banyak bicara tidak disadari, padahal perdebatan kecil atau komentar provokatif justru dapat memperkeruh keadaan. Fenomena ini serupa dengan hikmah kekalahan di Perang Uhud, ketika perbedaan pendapat di antara pasukan pemanah berakhir pada bencana besar bagi umat Islam.

Peristiwa Perang Uhud Berkaitan dengan Adab Bicara

Perang Uhud (3 H) kerap dikenang sebagai momen pahit yang mengajarkan kedisiplinan dan ketaatan. Di sana, kaum Muslimin yang sebelumnya merasakan euforia kemenangan di perang Badar, tiba-tiba harus menelan pelajaran mahal: menang tidak cukup dengan jumlah, strategi, atau semangat—melainkan dengan ketaatan teguh pada perintah Rasulullah ﷺ. Salah satu titik krusialnya berawal di bukit pemanah, ketika sebagian sahabat berdebat: tetap di pos sesuai instruksi, atau turun meraih ghanimah (rampasan) karena merasa pertempuran telah usai. Di sinilah kita melihat bahaya banyak bicara. Bukan karena bicara itu sendiri haram, melainkan ketika obrolan yang berlarut menggeser ketaatan menjadi keraguan, lalu berubah menjadi tindakan yang berakibat fatal.

Sejak awal, Rasulullah ﷺ menempatkan 50 pemanah di Jabal Rumāh (bukit pemanah) di bawah komando Abdullah bin Jubair r.a. Perintahnya jelas: jangan tinggalkan posisi apa pun yang terjadi; menang atau kalah. Ketika pasukan musyrik mulai buyar, sebagian pemanah melihat peluang ghanimah di medan. Percakapan pun muncul: “Bukankah perang telah selesai?” “Kita juga berhak atas rampasan.” Yang lain mengingatkan: “Rasul melarang kita turun.” Perdebatan itu memecah barisan—sebagian turun, sebagian tetap bertahan.

Pada level taktis, waktu adalah segalanya. Sebentar saja posisi kosong, pasukan berkuda Khalid bin al-Walid (saat itu masih di pihak Quraisy) memutar dari celah bukit dan menyerbu dari belakang. Kejutan itu mengubah situasi: kaum Muslimin kocar-kacir, banyak yang gugur, dan Rasulullah ﷺ sendiri terluka, dan Muslim mengalami kekalahan di Perang Uhud

Ayat yang Turun Pasca Kekalahan di Perang Uhud

Al-Qur’an menyinggung peristiwa ini secara langsung. Allah berfirman:

“Sungguh, Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai kamu lemah, berselisih dalam urusan (itu), dan mendurhakai perintah (Rasul) setelah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu cintai (ghanimah).” (QS. Āli ‘Imrān 3:152)

Ayat ini menyebut tiga faktor berurutan: lemah – berselisih – mendurhakai perintah. Di tengahnya ada “berselisih”—indikasi bahwa perdebatan (yang salah tempat) menjadi jembatan dari semangat ke kerapuhan, dari kerapuhan ke ketidaktaatan.

Hikmah Kekalahan di Perang Uhud

Apa pelajarannya? Bicara—dalam arti berunding, mempertimbangkan, berdebat—adalah bagian dari hidup. Namun, pada momen yang menuntut ketaatan tanpa tunda, banyak bicara bisa melemahkan keputusan. Karena itulah, para ulama sirah sering menekankan: ada saatnya syūrā (musyawarah), ada saatnya thā‘ah (taat). Uhud mengajarkan garis batas itu dengan sangat jelas.

Hikmah dari kekalahan di Perang Uhud dan kondisi bangsa saat ini mengingatkan kita bahwa bahaya banyak bicara tidak bisa dianggap sepele. Baik di dunia nyata maupun media sosial, seorang Muslim wajib menjaga adab berbicara. Rasulullah ﷺ telah menekankan pentingnya ucapan yang benar atau memilih diam. Kondisi ini sangat relevan di masa kini, terutama ketika masyarakat tengah menyuarakan aspirasi lewat demonstrasi atau media sosial. Terlalu banyak bicara, menyebar postingan provokatif, atau berdebat tanpa kendali justru bisa melemahkan perjuangan bersama. Di era digital, menjaga ucapan—baik lisan maupun tulisan—adalah bagian dari amanah moral agar aspirasi tidak berubah menjadi keributan yang merugikan umat.

almuanawiyah.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *