Adab Berteman dalam Kitab Washiyatul Musthofa

Adab Berteman dalam Kitab Washiyatul Musthofa

Berteman adalah fitrah manusia. Tidak ada seorang pun yang bisa hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Dalam Islam, pertemanan bukan hanya perkara duniawi, tetapi juga bernilai ibadah jika dijalani dengan niat yang baik. Oleh karena itu, penting bagi seorang Muslim untuk memahami adab berteman agar persahabatan membawa manfaat, bukan mudarat.

 

Pentingnya Memilih Teman yang Baik

Dalam kitab Washiyatul Musthofa dijelaskan bahwa teman yang baik ibarat cermin. Ia akan menegur dengan cara yang benar ketika kita salah, sekaligus mendukung dalam kebaikan. Sebaliknya, teman yang buruk bisa menjadi pintu kehancuran. Misalnya, teman yang gegabah dalam berbicara atau menghina pilihan orang lain, seperti dalam urusan pemilu. Hal kecil ini bisa merusak hubungan, bahkan menimbulkan permusuhan.

Teman buruk juga digambarkan sebagai orang yang suka membuka rahasia. Contoh nyata adalah membongkar aib temannya, seperti hutang atau masalah pribadi. Padahal, Islam menekankan agar kita menutupi aib saudara Muslim, bukan menyebarkannya. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim).

Ilustrasi dua wanita muslimah tersenyum, salah satunya membantu membenahi hijab temannya sebagai simbol menutupi aib sahabat dalam adab berteman menurut Islam

Menutupi aib teman dengan membenarkna hijabnya adalah salah satu adab berteman (foto: freepik)

Hikmah dari Persahabatan

Ada pepatah bijak yang menyebutkan: “Seribu teman baik lebih baik daripada satu musuh.” Pepatah ini sejalan dengan kenyataan bahwa ketika kita memiliki banyak teman yang tulus, hidup terasa ringan. Namun, jika kita memiliki satu musuh saja, hati bisa terus diliputi kegelisahan. Musuh muncul bukan selalu karena kebencian, tetapi bisa jadi karena salah paham atau kurangnya pengetahuan tentang diri kita.

Dengan menjaga adab berteman, kita bisa meminimalisir munculnya permusuhan. Sikap saling menghargai, menghindari bahaya banyak bicara yang tidak perlu, dan menutupi kekurangan sahabat akan mempererat ukhuwah.

Baca juga: Bukan Obat, Ini Terapi Mental Health Paling Ampuh Menurut Riset

Adab Berteman Menurut Islam

Beberapa adab yang perlu dijaga antara lain:

  • Menjaga rahasia teman.

  • Saling menasihati dalam kebaikan.

  • Tidak menghina atau merendahkan pilihan orang lain.

  • Mendukung sahabat di kala senang maupun susah.

  • Menjaga lisan agar tidak menyakiti hati.

Dengan menerapkan adab ini, persahabatan menjadi sarana menuju ridha Allah. Demikian ulasan tentang adab berteman yang bisa kita ambil dari ajaran Islam dan nasihat ulama. Mari kita pilih sahabat yang bisa membawa kita semakin dekat kepada Allah SWT.

Untuk penjelasan lebih lengkap, silakan saksikan tayangan utuhnya di kanal YouTube resmi PPTQ Al Muanawiyah.

Adab Berbicara dari Kajian Kitab Washiyatul Musthafa

Adab Berbicara dari Kajian Kitab Washiyatul Musthafa

Adab berbicara adalah salah satu bagian penting dari ajaran Islam yang sering ditekankan dalam berbagai kitab, salah satunya Washiyatul Musthafa. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa lisan adalah amanah. Meski tidak bertulang, ia bisa mendatangkan manfaat besar atau justru menimbulkan bahaya yang lebih tajam daripada pedang. Karena itu, seorang Muslim wajib berhati-hati menjaga setiap kata yang keluar dari mulutnya.

 

Bahaya Lisan yang Tidak Dijaga

Salah satu bentuk kelalaian dalam berbicara adalah mudah mencela, menghina, atau ghibah. Dalam kitab Washiyatul Musthofa dijelaskan bahwa ghibah memiliki konsekuensi besar: pelakunya harus meminta maaf langsung kepada orang yang digibahi dengan menyebutkan kesalahannya. Jika tidak, maka ada kafarat atau hukuman yang menanti. Bahkan laknat seorang Muslim kepada sesama Muslim ibarat boomerang—ucapan itu akan kembali kepada dirinya sendiri.

Dua wanita berhijab berbincang sambil tersenyum, ilustrasi adab berbicara menurut Kitab Washiyatul Musthafa
Adab berbicara yang yang baik (foto: freepik)

Menjaga Adab Berbicara di Era Digital

Di zaman sekarang, menjaga adab berbicara menjadi semakin penting. Manusia bisa “bicara” tanpa membuka mulut, cukup dengan mengetik komentar atau membuat postingan di media sosial. Fenomena akun gosip atau budaya ghibah bareng netizen adalah contoh nyata betapa mudahnya orang melupakan adab bicara. Padahal, dosa ghibah tetaplah sama, baik dilakukan secara langsung maupun melalui jari-jari di dunia maya.

Baca juga: Bahaya Banyak Bicara Bagi Hati dan Kekhusyukan Ibadah

Jika seseorang berani menyebarkan keburukan orang lain, maka ia juga harus berani menanggung konsekuensinya. Efek dari lisan, baik lisan nyata maupun lisan digital, bisa memecah ukhuwah, menumbuhkan kebencian, bahkan menyeret pelakunya kepada murka Allah.

Menjaga adab berbicara bukan hanya tentang sopan santun, tetapi juga menyangkut keselamatan akhirat. Lisan yang tidak dapat dikendalikan diibaratkan seperti anjing buas, yang siap menerkam musuhnya dengan galak. Rasulullah ﷺ mengajarkan agar lisan kita selalu terjaga dari celaan, ghibah, maupun laknat. Di era digital, pesan ini semakin relevan: pikirkan baik-baik sebelum berucap maupun sebelum mengetik

 Untuk penjelasan lebih lengkap, mari simak kajian kitab Washiyatul Musthafa tentang adab berbicara di channel YouTube Al Muanawiyah. Semoga Allah menjaga lisan kita agar selalu terarah pada kebaikan.

Bahaya Banyak Bicara Bagi Hati dan Kekhusyukan Ibadah

Bahaya Banyak Bicara Bagi Hati dan Kekhusyukan Ibadah

Di era digital seperti sekarang, manusia tidak hanya berbicara melalui lisan, tetapi juga lewat tulisan. Dengan sekali ketikan di media sosial, pesan bisa tersebar ke seluruh dunia. Namun, kemudahan ini membawa risiko besar. Banyak orang lupa menjaga ucapannya, baik secara lisan maupun perilaku online. Padahal, bahaya banyak bicara tidak hanya muncul dari mulut, tetapi juga dari jari-jari yang menuliskan kata-kata tanpa pikir panjang. Dalam kitab Nashaihul Ibad dijelaskan bahwa salah satu sebab hati menjadi keras adalah banyak bicara yang sia-sia. Artinya, menjaga adab dalam berbicara bukan hanya perkara etika sosial, tetapi juga bagian dari proses penyucian jiwa. Jika ucapan tidak dikendalikan, maka akan menimbulkan kesalahpahaman, memicu permusuhan, dan merusak ketenangan hati.

Dalil tentang Lisan dalam Islam

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menegaskan pentingnya menjaga lisan. Semakin banyak bicara tanpa adab berbicara yang baik, semakin besar pula kemungkinan seseorang tergelincir. Baik pada dosa, baik berupa ghibah, namimah, maupun ucapan sia-sia.

Dua pria berambut pirang sedang beradu mulut, ilustrasi bahaya banyak bicara bagi hati dan kekhusyukan ibadah.
Menghindari adu mulut yang tidak perlu agar terhindar dari bahaya banyak bicara (foto: freepik)

Mengapa Banyak Bicara Bisa Mengeraskan Hati?

Ada beberapa sebab yang membuat bahaya banyak bicara begitu serius:

  1. Mengurangi kekhusyukan dan dzikir
    Terlalu banyak bicara biasanya membuat seseorang lalai dari mengingat Allah. Lidah yang seharusnya digunakan untuk dzikir, membaca Al-Qur’an, atau berkata baik, justru habis untuk percakapan yang sia-sia. Kelalaian ini menumpulkan hati dan menghalangi cahaya iman masuk.

  2. Meningkatkan peluang dosa lisan
    Semakin banyak kata keluar, semakin besar kemungkinan jatuh pada ghibah, namimah, dusta, menyakiti orang lain, atau ucapan yang tidak bermanfaat. Dosa lisan inilah yang menutupi hati dengan noda. Nabi ﷺ bersabda:
    “Apakah manusia itu akan disungkurkan ke dalam neraka pada hari kiamat di atas wajah mereka, melainkan karena hasil dari lisan mereka?” (HR. Tirmidzi).

Baca juga: Hikmah Surat At Tin: Semangat Beramal Shalih di Usia Muda

  1. Mengurangi rasa takut kepada Allah
    Orang yang suka banyak bicara sering kali menganggap ringan ucapannya. Padahal setiap kalimat dicatat malaikat. Rasa takut ini berkurang, sehingga hati menjadi keras dan tidak lagi sensitif terhadap kebenaran.

  2. Menumbuhkan sifat sombong atau riya’
    Kadang banyak bicara tidak lagi untuk kebaikan, melainkan untuk pamer ilmu, menunjukkan kepandaian, atau memenangkan perdebatan. Hal ini membuat hati kotor dan jauh dari keikhlasan.

  3. Menghalangi tadabbur dan tafakkur
    Orang yang terlalu sibuk bicara jarang memberi ruang untuk mendengarkan, merenung, atau memikirkan ayat-ayat Allah di alam semesta. Padahal tadabbur inilah yang melembutkan hati.

Karena itu, ulama tasawuf sering mengajarkan bahwa diam lebih aman daripada bicara yang sia-sia. Ada kaidah yang masyhur:

“Keselamatan manusia ada pada menjaga lisannya.”

Merenungi bahaya banyak bicara seharusnya menjadi motivasi bagi setiap Muslim agar lebih berhati-hati dalam ucapan. Jika tidak mampu berkata baik, lebih utama untuk diam. Dengan menjaga lisan, hati akan terjaga dari kekerasan, hidup terasa lebih tenang, dan keberkahan Allah akan lebih mudah diraih.

Perbedaan Haid dan Istihadzah: Durasi dan Kewajiban Ibadah

Perbedaan Haid dan Istihadzah: Durasi dan Kewajiban Ibadah

Bulan demi bulan, kaum muslimah mengalami kondisi khusus yang berkaitan dengan darah kewanitaan. Islam sebagai agama sempurna memberikan panduan jelas agar ibadah tidak salah dilakukan. Salah satu rujukan penting dalam memahami masalah fiqh haid adalah Risalatul Mahidh, sebuah kitab kuning yang dipelajari di banyak pesantren, termasuk PPTQ Al Muanawiyah Jombang. Kitab tersebut menjelaskan dengan rinci perbedaan haid dan istihadzah. Artikel ini akan membahas poin perhitungan waktu dan hukum kewajiban ibadah  dalam kondisi haid dan istihadzah. Pemahaman ini sangat penting, agar seorang muslimah dapat menunaikan kewajiban sehari-hari dengan tenang dan sesuai syariat.

Durasi Hari dalam Haid dan Istihadzah

Menurut Risalatul Mahidh, haid memiliki ketentuan hari tertentu. Minimalnya satu hari satu malam, sedangkan maksimalnya lima belas hari. Jika darah keluar melebihi batas itu, maka dihukumi sebagai istihadzah. Adapun masa suci di antara dua haid paling sedikit lima belas hari. Aturan hitungan hari ini menjadi dasar utama bagi muslimah untuk membedakan jenis darah yang keluar.

gambar kalender perhitungan haid
Perbedaan haid dan istihadzah dari durasi dan kewajiban ibadah

Studi Kasus: Perhitungan Haid dan Istihadzah

Seorang muslimah bernama Fatimah mengalami keluarnya darah selama 10 hari, kemudian berhenti 5 hari, lalu keluar lagi selama 8 hari. Bagaimana cara menghitungnya?

  1. Hari 1–10: Darah keluar terus-menerus selama 10 hari. Karena masih di bawah batas maksimal 15 hari, maka semuanya dihukumi haid.

  2. Hari 11–15: Tidak ada darah yang keluar. Masa ini disebut suci, tetapi belum mencapai minimal 15 hari untuk bisa dihitung sebagai pemisah antara dua haid.

  3. Hari 16–23: Darah keluar lagi selama 8 hari. Karena jarak sucinya hanya 5 hari (kurang dari 15 hari), maka darah yang keluar pada hari ke-16 sampai ke-23 dihukumi istihadzah, bukan haid.

  4. Hari 23-28: Darah masih keluar. Maka hari 23-25 dihukumi istihadzah, karena masih dalam masa minimal suci antara 2 haid, yaitu 15 hari. Sedangkan hari 26-28 dihukumi haid, karena sudah melewati masa suci setelah haid pertama selama 15 hari.

Hukum terhadap Ibadah Wajib

Ketentuan hukum ibadah ketika haid dan istihadzah berbeda. Seorang wanita yang sedang haid tidak boleh melaksanakan shalat, puasa, thawaf, atau berhubungan suami-istri hingga suci. Sebaliknya, wanita yang mengalami istihadzah tetap diwajibkan shalat dan puasa. Hanya saja ia perlu menjaga kebersihan diri, misalnya dengan berwudhu untuk setiap waktu shalat.

Di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah Jombang, pembahasan tentang haid dan istihadzah diajarkan langsung dari kitab Risalatul Mahidh dan Uyunul Masail. Santri putri dibimbing untuk memahami detail hukum, bukan sekadar teori, tetapi juga cara mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bekal ilmu ini, mereka diharapkan mampu menjadi rujukan di masyarakat dalam masalah fiqih kewanitaan. Untuk mengetahui materi apa saja yang diajarkan kepada santri di sini, hubungi kami di website resmi Al Muanawiyah.

Kitab Risalatul Mahidh dan Pentingnya untuk Mempelajarinya

Kitab Risalatul Mahidh dan Pentingnya untuk Mempelajarinya

Kitab Risalatul Mahidh adalah salah satu karya penting dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam bidang fiqih wanita. Disusun oleh Syaikh Muhammad bin Isma‘il al-Kahlani ash-Shan‘ani, seorang ulama besar asal Yaman pada abad ke-12 Hijriyah, kitab ini menjadi rujukan penting di pondok pesantren putri. Beliau dikenal sebagai tokoh yang memiliki keluasan ilmu, mendalam dalam memahami dalil. Selanjutnya beliau juga mampu menyajikan pembahasan fiqih secara runtut dan mudah dipahami.

Nama Risalatul Mahidh sendiri diambil dari kata “al-mahidh” yang berarti haid. Sesuai judulnya, kitab ini membahas secara rinci hukum-hukum yang berkaitan dengan darah haid, nifas, dan istihadhah. Penjelasannya disertai dalil dari Al-Qur’an, hadits Nabi, serta pandangan para ulama dari berbagai mazhab, sehingga kitab ini menjadi rujukan penting yang diakui keotentikannya.

Kitab risalatul mahidh yang berisi fiqh wanita
Kitab risalatul mahidh (foto: shopee.co.id)

Isi Kitab Risalatul Mahidh

Secara garis besar, isi kitab meliputi: definisi haid dan tanda-tandanya, masa minimal dan maksimal haid, perbedaan haid, istihadzoh, dan nifas, serta pengaruhnya terhadap ibadah seperti shalat, puasa, dan thawaf. Kitab ini juga membahas panduan kebersihan, adab, dan etika yang dianjurkan bagi wanita Muslimah dalam kondisi tersebut. Sehingga tidak hanya fokus pada hukum tetapi juga aspek moral dan kesehatan.

Pentingnya mempelajari kitab ini tidak bisa diabaikan, terutama bagi para santri putri dan pendidik. Pengetahuan yang benar tentang hukum haid akan mencegah kesalahan dalam beribadah dan memberi bekal untuk mengajarkan materi ini kepada masyarakat. Karena darah yang keluar dari farji’ wanita sangat berkaitan dengan status dan batasan ibadah. Memahami pembahasan fiqih wanita sejak dini akan membantu membentuk generasi Muslimah yang taat, bersih, dan terjaga kehormatannya.

Di Pondok Pesantren Al Muanawiyah, Risalatul Mahidh menjadi salah satu kitab pokok dalam kurikulum madrasah diniyah. Pengajarannya dilakukan secara sistematis dengan bimbingan ustadzah yang berpengalaman. Sehingga santri tidak hanya memahami teori, tetapi juga praktiknya dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih banyak tentang pembelajaran kitab ini, silakan kunjungi website resmi Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah, untuk informasi lengkap program pendidikan dan pendaftaran.

3 Kebiasaan yang Dibenci Allah Menurut Kitab Nashaihul Ibad

3 Kebiasaan yang Dibenci Allah Menurut Kitab Nashaihul Ibad

Al-Muanawiyah – Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali terjebak dalam kebiasaan yang tampak ringan namun memiliki dampak besar terhadap hubungan dengan Allah. Kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syekh Nawawi al-Bantani memberikan nasihat berharga mengenai 3 kebiasaan yang dibenci Allah. Nasihat ini bukan hanya sekadar peringatan, tetapi juga panduan agar seorang muslim bisa menjaga diri dari sifat-sifat tercela yang dapat merusak amal ibadah dan hubungan sosial. Dengan memahami pesan ini, kita bisa lebih berhati-hati dalam melangkah dan berusaha menjadi hamba yang diridhai-Nya.

3 tiga kebiasaan yang dibenci Allah: banyak bicara, banyak makan, banyak tidur
3 kebiasaan yang dibenci Allah

 

1. Tidak Banyak Bicara

Menjaga lisan adalah langkah awal dalam menyucikan hati. Terlalu banyak bicara—terutama hal yang sia-sia—dapat menimbulkan banyak masalah, termasuk jatuh ke dalam dosa seperti ghibah, fitnah, atau bohong. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Diam bukan berarti pasif, tetapi selektif dalam berbicara. Kata-kata yang keluar dari lisan hendaknya dipilih yang membawa manfaat. Semakin sedikit bicara yang tidak perlu, semakin jernih hati dalam menerima nasihat dan petunjuk dari Allah.

2. Tidak Banyak Tidur

Tidur secukupnya penting untuk kesehatan, tetapi tidur berlebihan bisa menyebabkan kemalasan dan melemahkan semangat beramal shalih. Orang yang sibuk menyucikan jiwanya akan memanfaatkan waktu malam untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui qiyamullail, membaca Al-Qur’an, atau berzikir.

Sebaliknya, orang yang banyak tidur biasanya melewatkan waktu berharga untuk introspeksi atau ibadah. Tidur yang berlebihan juga dapat mematikan hati, membuat pikiran tumpul, dan menjauhkan dari perenungan terhadap kebesaran Allah.

Baca juga: Bahaya Banyak Tidur Bagi Hati Menurut Islam

3. Tidak Banyak Makan

Makan berlebihan bisa menumpulkan hati dan memperkuat hawa nafsu. Rasulullah ﷺ mengajarkan agar seorang Muslim makan secukupnya: sepertiga makanan, sepertiga minuman, dan sepertiga udara. Kebiasaan makan secukupnya juga melatih kesabaran, kepedulian, dan empati kepada orang yang kekurangan.

Dalam konteks tazkiyatun nafs, mengurangi makan bukan semata-mata demi kesehatan jasmani, tapi lebih dari itu—untuk menundukkan keinginan duniawi dan memperkuat jiwa agar lebih fokus pada Allah. Nafsu yang lapar akan lebih mudah dilatih dan diarahkan.

Menjauhi 3 kebiasaan yang dibenci Allah sebagaimana dijelaskan dalam Nashaihul ‘Ibad merupakan bentuk nyata keseriusan seorang muslim dalam memperbaiki diri. Allah membenci sifat-sifat buruk bukan tanpa alasan, melainkan karena kebiasaan itu bisa menjerumuskan manusia pada kelalaian, perpecahan, dan kerugian di dunia maupun akhirat. Dengan memperbaiki akhlak dan meninggalkan kebiasaan yang dibenci Allah, kita berharap mendapat rahmat-Nya, hidup lebih berkah, dan selamat di yaumil hisab kelak.

Akhlak Terhadap Guru dalam Kitab Ta’lim Muta’allim

Akhlak Terhadap Guru dalam Kitab Ta’lim Muta’allim

Dalam Islam, akhlak terhadap guru bukan hanya soal sopan santun, tetapi juga bagian penting dari keberhasilan menuntut ilmu. Adab kepada guru yang baik diyakini menjadi pintu datangnya ilmu yang bermanfaat dan keberkahan dalam proses belajar. Tak heran, para ulama terdahulu menaruh perhatian besar terhadap adab ini, bahkan sebelum membahas isi pelajaran.

Adab-Adab Penting dalam Menjaga Akhlak Terhadap Guru

Pertama, seorang murid dianjurkan tidak duduk di tempat guru atau berjalan di depannya tanpa izin. Meskipun terlihat sepele, namun ini adalah bentuk penghormatan lahiriah yang mencerminkan kedalaman akhlak batin. Duduk di tempat guru atau menyalipnya tanpa sopan santun bisa mencerminkan kurangnya rasa hormat.

Selanjutnya, tidak menyela atau mendebat guru saat sedang mengajar adalah prinsip penting lainnya. Interupsi atau menyanggah guru dengan cara yang tidak sopan dapat menghalangi keberkahan ilmu. Bahkan, banyak kisah ulama besar yang menahan pertanyaan demi menjaga adab saat gurunya sedang berbicara.

akhlak adab terhadap guru ustadz yang mengajar ilmu kepada murid
akhlak terhadap guru dalam kitab ta’lim muta’allim

Tak kalah penting, murid sebaiknya datang ke majelis ilmu sebelum guru hadir. Dengan datang lebih awal, murid menunjukkan kesungguhan dan kesiapan dalam menuntut ilmu. Ini juga melatih kedisiplinan dan menumbuhkan rasa hormat terhadap waktu guru.

Selain itu, Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim menasihati agar tidak belajar dari banyak guru sekaligus di awal perjalanan belajar. Hal ini bertujuan agar fondasi ilmu tidak tercampur dan murid tidak bingung dengan banyak perbedaan pendapat.

Terakhir, tawadhu’ dan menyadari kedudukan guru adalah puncak dari akhlak yang baik. Guru adalah pewaris ilmu para nabi. Oleh karena itu, seorang murid harus bersikap rendah hati dan memuliakan mereka dalam tutur kata maupun perilaku.

Adab sebagai Jalan Menuju Ilmu yang Bermanfaat

Menjaga akhlak terhadap guru bukan hanya tradisi, melainkan juga warisan para ulama yang terbukti mendatangkan keberhasilan. Jika ingin ilmu yang kita pelajari membawa perubahan dan keberkahan, maka akhlak kepada guru harus menjadi prioritas utama. Karena sesungguhnya, keberhasilan dalam belajar bukan hanya soal kecerdasan, tetapi juga keikhlasan dan adab yang tinggi.

Dengan mempraktikkan adab-adab ini, semoga kita menjadi murid yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia dan diberi kemudahan dalam memahami ilmu.

Adab Kepada Guru Menurut Kitab Ta’limul Muta’allim

Adab Kepada Guru Menurut Kitab Ta’limul Muta’allim

Dalam menuntut ilmu, keberkahan bukan hanya datang dari kepandaian dan kerja keras, tetapi juga dari bagaimana seseorang menjaga adab kepada guru. Hal ini ditekankan secara mendalam dalam kitab klasik Ta’limul Muta’allim, karya Imam Az-Zarnuji, yang telah menjadi rujukan banyak pesantren dalam membentuk karakter santri. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa adab adalah pintu masuk utama untuk mendapatkan manfaat dari ilmu.

 

1. Memuliakan Guru dengan Sepenuh Hati

Dimulai dengan memuliakan dan menghormatinya, baik secara lahir maupun batin. Tidak membantah ucapannya, tidak menatapnya dengan pandangan meremehkan, dan tidak memotong pembicaraannya adalah bagian dari bentuk penghormatan ini. Imam Az-Zarnuji berkata,

“Barang siapa yang tidak memuliakan gurunya, maka ia tidak akan mendapatkan manfaat dari ilmunya.”

Baca juga: 6 Adab Menuntut Ilmu Menurut Kitab Ta’lim Muta’allim

2. Sabar atas Teguran dan Didikan Guru

Seorang murid harus sabar jika guru memberi nasihat dengan keras. Hal itu bukan karena benci, tetapi bentuk kasih sayang seorang pendidik yang ingin muridnya tumbuh lebih baik. Dalam kesabaran itulah, ilmu akan menancap dalam dan menjadi bekal seumur hidup.

adab kepada guru yang dianjurkan kitab talim mutaallim, gambar ustadz menyimak hafalan al quran santri laki laki
Adab kepada guru menurut Kitab Ta’lim Muta’allim

 

3. Tidak Menyebut Nama Guru Secara Langsung

Dalam tradisi ulama, menyebut nama guru secara langsung dianggap kurang sopan. Oleh karena itu, gunakan panggilan yang menunjukkan penghormatan seperti “ustadz”, “guru kami”, atau “syaikh”. Ini menunjukkan ketawadhuan dan penghargaan terhadap peran guru.

4. Mendoakan Guru

 Termasuk mendoakan kebaikan untuknya, baik di hadapan maupun di belakangnya. Doa untuk guru yang tulus adalah bentuk cinta dan terima kasih atas ilmu yang telah ia wariskan.

Menjaga adab kepada guru bukan hanya soal sopan santun, tapi juga kunci terbukanya ilmu yang bermanfaat. Dalam dunia pendidikan Islam, guru bukan sekadar pengajar, tapi pewaris ilmu para nabi. Maka, siapa yang menjaga adab kepada guru, insyaAllah akan dimuliakan oleh ilmu dan kehidupan.

6 Adab Menuntut Ilmu Menurut Kitab Ta’lim Muta’allim

6 Adab Menuntut Ilmu Menurut Kitab Ta’lim Muta’allim

Dalam Islam, adab menuntut ilmu merupakan syarat utama agar ilmu menjadi berkah. Tanpa adab, ilmu bisa menjadi sia-sia. Oleh karena itu, santri dan pelajar muslim perlu mempelajari tata krama saat belajar, bukan hanya materi pelajaran. Salah satu kitab rujukan utama yang membahas hal ini adalah Ta’limul Muta’allim, karya Imam Az-Zarnuji. Kitab ini sudah menjadi pedoman di berbagai pesantren dan madrasah Islam.

Imam Az-Zarnuji menjelaskan bahwa keberhasilan dalam menuntut ilmu bergantung pada enam hal penting. Inilah kiat sukses belajar dalam Islam yang patut dipegang oleh setiap penuntut ilmu.

1. Dzaka’ (Kecerdasan)

Cerdas bukan berarti harus jenius. Yang dimaksud adalah kecerdikan memahami pelajaran dan cepat menangkap penjelasan guru. Pelajar yang beretika saat belajar juga akan lebih mudah menerima ilmu.

2. Hirsh (Semangat dan Niat Kuat)

Tanpa semangat, belajar hanya akan terasa berat. Santri yang punya tekad kuat akan tetap belajar meski dalam keadaan lelah. Ini adalah sikap mental yang mendukung adab saat belajar.

3. Ijtihad (Kesungguhan dan Usaha Serius)

Belajar butuh perjuangan. Keseriusan akan membentuk konsistensi. Santri yang sungguh-sungguh tidak menunda hafalan dan tidak lalai dalam murojaah. Etika belajar dalam Islam mengajarkan disiplin dan kerja keras. Begitu juga dengan menghafal Al-Qur’an. Kita juga hendaknya menerapkan tips menghafal Al-Qur’an yang baik agar hafalan tidak cepat hilang.

Para siswa putri sedang melaksanakan ANBK di SMPQ Al Muanawiyah Jombang, menggambarkan semangat dan adab menuntut ilmu dalam lingkungan pendidikan Islam.
Adab menuntut ilmu yang diterapkan siswa SMPQ Al Muanawiyah Jombang

4. Bulghah (Bekal yang Cukup)

Bekal yang cukup membuat santri bisa belajar dengan tenang. Makanan, alat tulis, dan tempat tinggal yang layak adalah bagian dari penunjang keberhasilan. Orang tua juga berperan dalam memberikan dukungan.

Baca juga: 5 Alasan Kenapa Kita Harus Menghafal Al-Qur’an

5. Irsyad Ustadz (Bimbingan Guru)

Seorang murid tidak akan berhasil tanpa guru. Dalam Islam, adab kepada guru adalah bagian dari adab menuntut ilmu. Menjaga perkataan, mendengarkan dengan saksama, dan meminta nasihat adalah kunci keberkahan ilmu. Begitu pula para pengajar di sekolah tempat anak menuntut ilmu, harus dipastikan profesional dan berkompeten.

6. Thuluz Zaman (Waktu yang Panjang)

Belajar bukan proses instan. Hafalan dan pemahaman butuh waktu. Santri perlu sabar dan tekun. Seorang pelajar yang memiliki etika belajar yang baik akan menghargai proses ini.

Kitab Ta’lim Muta’allim mengajarkan bahwa adab menuntut ilmu dalam Islam lebih utama dari sekadar ilmu itu sendiri. Dengan cerdas, semangat, sungguh-sungguh, cukup bekal, bimbingan guru, dan waktu yang konsisten, pelajar muslim bisa meraih keberhasilan. Santri yang berakhlak mulia akan mendapat ilmu yang bermanfaat, serta mengangkat derajat dirinya dan keluarganya.