Bung Tomo dan Resolusi Jihad yang Membakar Arek Suroboyo

Bung Tomo dan Resolusi Jihad yang Membakar Arek Suroboyo

Al MuanawiyahSebelum kemerdekaan Indonesia benar-benar tegak, Surabaya menjadi saksi lahirnya semangat juang yang luar biasa. Di tengah gejolak pasca proklamasi, nama Bung Tomo muncul sebagai sosok muda yang membakar hati rakyat dengan suara lantang dan keyakinan kuat kepada Allah. Ia bukan hanya orator ulung, tetapi juga simbol keberanian yang berpijak pada keimanan.

Jejak Perjuangan Bung Tomo Sebelum Kemerdekaan

Pada masa pendudukan Jepang, Bung Tomo telah aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan dan kegiatan siaran radio. Melalui media itu, ia menumbuhkan kesadaran bangsa agar berani merdeka. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, semangatnya tidak surut. Bahkan, ia terus menyeru rakyat Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan dari ancaman pasukan Sekutu yang datang melucuti senjata rakyat.

Situasi semakin memanas hingga akhirnya suara Bung Tomo menggema lewat radio. Dengan penuh keyakinan, ia menyerukan takbir yang mengguncang dada setiap pendengar: “Allahu Akbar!” Seruan itu menjadi penanda bahwa perjuangan rakyat Surabaya bukan sekadar melawan penjajahan, tetapi juga bagian dari jihad mempertahankan kehormatan bangsa dan agama.

“Bung Tomo membakar semangat arek Suroboyo dengan takbir ‘Allahu Akbar’, lahir dari Resolusi Jihad yang menegaskan bahwa membela tanah air adalah kewajiban setiap Muslim.”

Baca juga: Sejarah Hari Santri Nasional dari Resolusi Jihad

Resolusi Jihad: Api yang Menyalakan Slogan Bung Tomo

Pekik “Allahu Akbar” yang diserukan Bung Tomo bukan tanpa dasar. Seruan itu berpijak pada Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Dalam keputusan bersejarah itu, para ulama menegaskan bahwa membela tanah air dari penjajah adalah kewajiban setiap Muslim yang mampu.

Kekuatan spiritual inilah yang kemudian menyalakan semangat arek Suroboyo. Banyak pejuang berasal dari kalangan santri, kiai, dan masyarakat Muslim yang telah mendengar fatwa jihad tersebut. Mereka berangkat ke medan perang dengan membawa keyakinan bahwa perjuangan mereka adalah ibadah. Dari sinilah, pertempuran besar 10 November 1945 pecah dan kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Foto pria mengenakan kopiah menunjuk jari ke atas dengan latar belakang bendera merah putih
Foto Bung Tomo (sumber: wikipedia)

Refleksi Semangat Dakwah di Era Sekarang

Kini, medan perjuangan tidak lagi berupa peperangan fisik, melainkan perjuangan moral dan spiritual. Slogan Bung Tomo tetap relevan dalam konteks dakwah masa kini. Dakwah menuntut keberanian menyuarakan kebenaran, keikhlasan dalam berjuang, serta kemampuan menjaga persatuan umat di tengah perbedaan.

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, kalimat “Allahu Akbar” dapat dimaknai sebagai seruan untuk kembali menegakkan nilai ketauhidan dalam kehidupan. Bukan lagi dengan senjata, tetapi dengan ilmu, akhlak, dan karya nyata.

Pada akhirnya, perjuangan ini bukan hanya catatan sejarah, melainkan inspirasi abadi. Ia menunjukkan bahwa kemerdekaan lahir dari iman, dan iman sejati melahirkan keberanian. Semangat itu masih relevan bagi generasi Muslim masa kini — untuk berjihad dalam arti luas: melawan kebodohan, menegakkan kebenaran, dan menghidupkan dakwah dengan penuh cinta.

Pertempuran Surabaya: Sejarah Penetapan Hari Pahlawan

Pertempuran Surabaya: Sejarah Penetapan Hari Pahlawan

Pertempuran Surabaya menjadi salah satu peristiwa paling heroik dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Setiap tanggal 10 November, rakyat Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebagai penghormatan atas keberanian dan pengorbanan rakyat Surabaya yang mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan pasukan Sekutu.

Latar Belakang Pertempuran Surabaya

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pasukan Sekutu tiba di Surabaya sekitar 25 Oktober 1945. Mereka datang untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan Eropa. Namun, kemarahan muncul karena pasukan Sekutu mempersenjatai orang-orang Belanda yang sebelumnya menjadi tawanan Jepang. Hal ini menimbulkan ketegangan serius dengan pemuda Surabaya.

Puncak ketegangan terjadi pada 30 Oktober 1945, saat Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby tewas di dekat Jembatan Merah dalam baku tembak. Kematian Mallaby, yang masih menjadi misteri terkait pelakunya, memicu ultimatum dari pihak Sekutu agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata. Namun rakyat menolak, menunjukkan tekad bulat mereka mempertahankan kemerdekaan.

foto jenderal mallaby pemimpin sekutu yang menjadi asal mula pertempuran Surabaya 10 November 1945
Foto Jenderal Mallaby (sumber: kompas.com)

Akhirnya, pada 10 November 1945, pertempuran besar meletus. Ribuan rakyat, termasuk pemuda, santri, dan buruh, bersatu mempertahankan kota. Mereka menggunakan segala cara, mulai dari senjata modern rampasan hingga bambu runcing. Meskipun kalah dari segi persenjataan, semangat “Merdeka atau Mati” menggema di setiap sudut kota.

Tokoh seperti Bung Tomo memainkan peran penting. Melalui pidato berapi-api di radio, ia memompa semangat rakyat agar tetap berani. Teriakan “Allahu Akbar!” menjadi simbol moral dan spiritual perjuangan, menunjukkan bahwa keberanian para pahlawan bukan hanya fisik, tetapi juga hati dan semangat juang.

Dampak dan Penetapan Hari Pahlawan

Pertempuran ini menelan ribuan korban, namun membuktikan tekad bangsa Indonesia yang tak tergoyahkan. Keberanian dan pengorbanan inilah yang dijadikan dasar pemerintah untuk menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan, sebagai penghormatan kepada para pahlawan yang telah mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan.

Makna Pertempuran Surabaya untuk Generasi Muda

Selain mengenang sejarah, pertempuran Surabaya mengajarkan nilai persatuan, keberanian, dan pengorbanan. Generasi muda dapat meneladani semangat para pahlawan dengan berjuang di bidang pendidikan, sosial, dan teknologi demi kemajuan bangsa. Nilai-nilai ini juga relevan bagi santri yang menekuni ilmu agama dan akhlak, menjadikan mereka pahlawan modern dalam kehidupan sehari-hari.

Sejalan dengan semangat pahlawan Surabaya, para santri di Pondok Pesantren Jombang Al Muanawiyah diajarkan nilai keberanian, disiplin, dan pengorbanan melalui berbagai kegiatan. Mulai dari hafalan Al-Qur’an, dzikir, hingga pengembangan bakat akademik dan sosial, setiap santri dibimbing untuk menjadi pahlawan modern dalam kehidupan sehari-hari. Bagi yang ingin melihat lebih jauh program pembinaan ini, kunjungi website resmi Al Muanawiyah untuk mengetahui bagaimana santri belajar meneladani semangat perjuangan bangsa.

Mengapa 10 November Diperingati Sebagai Hari Pahlawan?

Mengapa 10 November Diperingati Sebagai Hari Pahlawan?

Al MuanawiyahHari Pahlawan setiap 10 November menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk mengenang perjuangan para pejuang kemerdekaan. Tanggal ini tidak dipilih tanpa alasan. Dalam sejarah, peristiwa heroik yang terjadi di Surabaya tahun 1945 menjadi tonggak utama yang melatarbelakangi penetapan ini.

Asal-Usul Hari Pahlawan

Hari Pahlawan diperingati setiap tanggal 10 November sebagai bentuk penghormatan kepada para pejuang yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tanggal ini bukan sekadar simbol, tetapi juga pengingat atas perjuangan rakyat Surabaya dalam melawan pasukan Sekutu pada tahun 1945.

Pertempuran Surabaya menjadi salah satu pertempuran terbesar dan paling berdarah dalam sejarah perjuangan Indonesia. Ribuan pejuang dari berbagai daerah bersatu di bawah semangat kemerdekaan, tanpa memandang suku atau agama. Pertempuran ini dipicu oleh insiden penurunan bendera Belanda di Hotel Yamato yang kemudian digantikan dengan Sang Merah Putih — simbol tekad bangsa yang tak ingin kembali dijajah.

Akhirnya, perlawanan rakyat Surabaya yang dipimpin oleh tokoh seperti Bung Tomo menjadi titik balik bagi perjuangan nasional. Meskipun banyak korban berjatuhan, keberanian mereka menunjukkan bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil pengorbanan yang besar. Sejak saat itu, pemerintah menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan untuk mengenang semangat juang tersebut.

gambar beberapa orang Indonesia membawa senjata dalam pertempuran Surabaya
Foto pertempuran Surabaya 10 November 1945 (sumber: Antara)

Makna Hari Pahlawan Bagi Generasi Muda

Faktanya, Hari Pahlawan bukan hanya soal perang dan senjata, melainkan tentang keberanian menghadapi tantangan. Santri, pelajar, dan generasi muda masa kini dapat meneladani semangat juang itu dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dengan berjuang dalam bidang pendidikan, teknologi, dan dakwah untuk kemajuan bangsa.

Selain itu, semangat ini juga mengajarkan nilai keikhlasan dan pengorbanan. Dalam konteks modern, pahlawan bukan hanya mereka yang berjuang di medan perang, tetapi juga mereka yang bekerja dengan tulus untuk kepentingan umat dan negara.

Refleksi di Lingkungan Pesantren

Di berbagai pondok pesantren, momentum ini diperingati dengan kegiatan yang penuh makna—mulai dari apel kebangsaan hingga lomba-lomba bertema perjuangan. Hal ini menjadi sarana menanamkan cinta tanah air kepada para santri. Sejalan dengan semangat jihad fi sabilillah, para santri diharapkan menjadi penerus perjuangan para pahlawan, baik dalam bidang ilmu maupun akhlak.

Pada intinya, 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan karena menjadi simbol keberanian, persatuan, dan pengorbanan bangsa Indonesia. Semangat itu harus terus dijaga agar generasi penerus tidak melupakan jasa para pahlawan.