KH Mas Mansur Ulama Cerdas Pemersatu Umat

KH Mas Mansur Ulama Cerdas Pemersatu Umat

KH Mas Mansur adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah pergerakan Islam dan kebangsaan Indonesia. Ia lahir di Surabaya pada 25 Juni 1896 dari pasangan KH Mas Ahmad Marzuqi dan Nyai Raudhah Sagipoddin. Beliau dibesarkan di keluarga religius yang dikenal di lingkungan Masjid Ampel. Sejak kecil, ia menimba ilmu di berbagai pesantren, termasuk Pesantren Sidoresmo dan Pesantren Demangan Bangkalan, Madura, tempat ia memperdalam Al-Qur’an dan kitab Alfiyah Ibnu Malik.

Pada usia remaja, KH Mas Mansur berangkat ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama. Kemudian melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Di sana, ia berinteraksi dengan pemikiran pembaruan Islam yang sedang berkembang di dunia Arab pada awal abad ke-20. Sekitar tahun 1915, ia kembali ke Indonesia membawa semangat tajdid, yaitu pembaruan dalam memahami Islam secara rasional tanpa meninggalkan tradisi pesantren. Pemikiran tersebut kelak mewarnai seluruh kiprah dakwah dan sosialnya di tanah air.

Kiprahnya Mendirikan Muhammadiyah

Tahun 1921 menjadi tonggak penting ketika KH Mas Mansur mendirikan cabang Muhammadiyah di Surabaya. Langkah ini menandai komitmennya untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan pembaruan pendidikan dan sosial. Ia kemudian dipercaya menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1937–1942, di mana ia memperkenalkan konsep “10 Falsafah Hidup Muhammadiyah” yang berisi panduan moral, spiritual, dan sosial bagi umat Islam. Melanjutkan jejak perjuangan perintisnya, KH. Ahmad Dahlan.

gambar beberap apria mengenakan peci dan baju formal sebagai pimpinan Muhammadiyah tahun 1937-1943
Pimpinan pusat Muhammadiyah periode 1937-1942 yang diketuai oleh KH Mas Mansur (sumber: Muhammadiyah)

Selain berdakwah lewat mimbar dan pengajaran, beliau aktif di dunia pers. Ia mendirikan dan menulis di berbagai media seperti Soeara Santri, Djinem, dan Siaran, yang berfungsi sebagai saluran penyebaran gagasan Islam modern dan ajakan untuk meninggalkan kejumudan berpikir. Melalui tulisan-tulisannya, ia menekankan pentingnya menyeimbangkan iman dengan ilmu serta menghidupkan semangat sosial dalam setiap amal ibadah.

KH Mas Mansur, Ulama Sekaligus Pejuang Kemerdekaan

Dalam perjuangan kebangsaan, KH Mas Mansur juga dikenal sebagai tokoh nasionalis-religius yang ikut merintis organisasi. Salah satunya Majelis Islam A‘la Indonesia (MIAI), wadah persatuan berbagai ormas Islam untuk melawan penjajahan. Ia bersahabat dekat dengan KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah, pendiri Nahdlatul Ulama. Beliau menunjukkan bahwa perbedaan organisasi tidak menghalangi semangat ukhuwah. Semasa pendudukan Jepang, beliau bersama Soekarno, Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara menjadi anggota Empat Serangkai yang berperan dalam menyuarakan kepentingan bangsa di masa transisi penjajahan.

Beliau wafat pada 25 April 1946 di Surabaya setelah ditahan oleh pihak NICA. Atas jasa-jasanya, pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 162 Tahun 1964.

Bagi generasi muda dan para santri masa kini, perjuangan beliau menjadi teladan nyata tentang bagaimana ilmu dan iman dapat berjalan beriringan. Dalam konteks zaman modern, pemikiran dan perjuangannya sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda. Bersatu, berjuang, dan membangun bangsa tanpa kehilangan jati diri. Melalui kiprahnya, KH Mas Mansur membuktikan bahwa dakwah tidak hanya disampaikan lewat kata, tetapi juga lewat karya, keteladanan, dan komitmen terhadap kemajuan umat.

Siti Walidah, Pendiri Aisyiyah yang Menginspirasi

Siti Walidah, Pendiri Aisyiyah yang Menginspirasi

Al-Muanawiyah – Siti Walidah adalah sosok perempuan tangguh yang namanya tercatat sebagai pendiri Aisyiyah, organisasi perempuan Islam terbesar di Indonesia. Beliau lahir di Yogyakarta pada tahun 1872, di lingkungan keluarga ulama terpandang. Sejak kecil, Siti Walidah tumbuh dalam suasana religius yang membentuk akhlaknya, meski pada masa itu kesempatan belajar formal bagi perempuan sangat terbatas.

Pendiri Aisyiyah sekaligus Istri KH. Ahmad Dahlan

Siti Walidah menikah dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Sejak itu, beliau aktif mendampingi perjuangan suaminya dalam menyebarkan dakwah Islam. Tidak hanya mendukung di balik layar, Siti Walidah juga ikut mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu agama kepada kaum perempuan. Semangat beliau untuk mengangkat derajat kaum muslimah membuat dakwah Kiai Ahmad Dahlan semakin luas dan berpengaruh.

foto Siti Walidah pendiri Aisyiyah dan istri dari KH Ahmad Dahlan
Siti Walidah, pendiri Aisyiyah

Lahirnya Aisyiyah

Pada tahun 1917, Siti Walidah mendirikan Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. Dari pengajian Sopo Tresno yang dipimpin Siti Walidah sejak 1914, lahirlah gerakan perempuan yang lebih terorganisir. Pada tahun 1917, pengajian ini berkembang menjadi organisasi Aisyiyah. Kehadiran Aisyiyah menjadi tonggak penting karena membuka ruang bagi kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam pembangunan umat. Melalui Aisyiyah, banyak sekolah perempuan didirikan, pengajian diselenggarakan, hingga program keterampilan digalakkan agar perempuan lebih mandiri dan berdaya.

Langkah ini tergolong berani pada masanya, sebab mayoritas masyarakat masih memandang peran perempuan terbatas hanya di rumah tangga. Namun berkat visi Siti Walidah, Aisyiyah tumbuh pesat dan kini menjadi salah satu organisasi perempuan Islam terbesar di dunia.

Baca juga: Sejarah Dewi Sartika, Perintis Pendidikan Perempuan

Dukungan terhadap Perjuangan Umat dan Bangsa

Setelah Ahmad Dahlan wafat pada 1923, Siti Walidah tetap aktif dalam Muhammadiyah dan Aisyiyah. Ia memastikan perjuangan suaminya tidak berhenti, bahkan makin meluas. Beliau bahkan ikut memimpin sidang-sidang Muhammadiyah pada masanya, sesuatu yang jarang dilakukan perempuan kala itu. Selain mendidik perempuan, Siti Walidah juga mendorong peran aktif mereka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau mengajak kaum muslimah untuk ikut serta mendukung perjuangan para pejuang dengan doa, pendidikan, dan kontribusi sosial.

Atas jasa dan perjuangannya, Siti Walidah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1971. Hingga kini, nama beliau tetap dikenang sebagai sosok inspiratif yang mengajarkan pentingnya pendidikan, kemandirian, dan dakwah bagi perempuan muslim. Kisah pendiri Aisyiyah ini semoga dapat menginspirasi kita untuk terus bergerak memberikan kontribusi bagi masyarakat luas.

KH Ahmad Dahlan: Perintis Pendidikan Modern di Indonesia

KH Ahmad Dahlan: Perintis Pendidikan Modern di Indonesia

KH Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaharu Islam yang meninggalkan jejak penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Beliau lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868 dan dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam yang fokus pada dakwah dan pendidikan. Pemikirannya yang progresif membuat sistem pendidikan Islam menjadi lebih relevan dengan perkembangan zaman.

KH Ahmad Dahlan, yang memiliki nama kecil Muhammad Darwis, berasal dari keluarga ulama yang taat beragama. Ayahnya, KH Abu Bakar bin Kiai Sulaiman, adalah seorang khatib di Masjid Agung Yogyakarta. Sedangkan ibunya, Siti Aminah, berasal dari keluarga yang juga mendalami ilmu agama. Lingkungan keluarga yang terbuka terhadap diskusi keagamaan membentuk kecerdasan kritis beliau sejak muda. Pendidikan awal diperoleh dari ayahnya, kemudian dilanjutkan di berbagai pesantren di Jawa. Pada usia 15 tahun, beliau menunaikan ibadah haji dan menetap di Mekkah selama lima tahun untuk memperdalam ilmu agama. Di sana, KH Ahmad Dahlan berinteraksi dengan ulama dari berbagai negara dan mempelajari pemikiran pembaruan Islam yang berkembang di dunia Muslim. Pengalaman inilah yang menumbuhkan kemampuannya menimbang tradisi dengan nalar kritis, sehingga kelak mampu merumuskan gagasan pendidikan Islam yang relevan dengan tantangan zaman.

foto KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah
KH Ahmad Dahlan

Pada awal abad ke-20, KH Ahmad Dahlan melihat keterbatasan sistem pendidikan tradisional yang hanya mengajarkan ilmu agama tanpa keterampilan praktis. Beliau memandang penting menggabungkan ilmu agama dengan pengetahuan umum agar umat Islam mampu bersaing di era modern. Pandangan ini menginspirasi pendirian Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Yogyakarta.

Baca juga: Sejarah KH Hasyim Asy’ari dan Jejak Perjuangannya di Jombang

Lahirnya Organisasi Pendidikan Muhammadiyah

Muhammadiyah berdiri sebagai gerakan pembaruan yang memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum. KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan Al-Qur’an, hadits, bahasa Arab, serta ilmu pengetahuan modern seperti matematika, sejarah, dan ilmu alam. Langkah ini tergolong revolusioner pada masanya, karena mampu mematahkan pandangan bahwa pendidikan Islam harus terpisah dari ilmu duniawi. Istrinya, Siti Walidah, juga turut membersamai sepak terjang dakwah beliau dengan mendirikan organisasi perempuan Muhammadiyah bernama ‘Aisyiyah.

Selain itu, sistem pendidikan Muhammadiyah juga menekankan kedisiplinan, kebersihan, dan keteraturan administrasi sekolah. KH Ahmad Dahlan mengadopsi metode pengajaran yang lebih interaktif dibandingkan sistem pesantren tradisional pada masa itu. Hasilnya, lulusan sekolah Muhammadiyah tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengabdi kepada masyarakat.

Baca juga: Sejarah HOS Tjokroaminoto dan Perannya dalam Dakwah Islam

 

Warisan Pendidikan KH Ahmad Dahlan yang Terus Hidup

Kini, Muhammadiyah telah berkembang menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Ribuan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan panti asuhan menjadi bukti nyata keberlanjutan visi beliau. Prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang beliau pegang teguh menjadi landasan seluruh kegiatan organisasi ini.

Perjuangan beliau membuktikan bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan umat. Dengan memadukan nilai-nilai Islam dan ilmu pengetahuan, beliau berhasil membangun fondasi kuat bagi generasi penerus. Semangat pembaruan ini menjadi teladan agar pendidikan selalu relevan menghadapi tantangan zaman.