Latar Belakang dan Pendidikan Awal KH Hasyim Asy’ari
Sejarah KH Hasyim Asy’ari dimulai pada 14 Februari 1871 di Desa Gedang, Jombang “Kota Santri”. Beliau lahir dari keluarga ulama, KH Asy’ari dan Nyai Halimah, yang sudah terbiasa dengan tradisi pesantren. Sejak kecil, beliau belajar di berbagai pesantren di Jawa Timur, termasuk Pesantren Wonokoyo, Pesantren Langitan, dan Pesantren Siwalan Panji.
Pada usia muda, KH Hasyim Asy’ari berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu. Selama tujuh tahun di tanah suci, beliau berguru kepada ulama terkemuka, salah satunya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Dari pengalaman itu, beliau memiliki dasar keilmuan yang kuat dalam bidang fikih, hadits, tafsir, dan tasawuf.
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1899, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng. Pesantren ini kemudian berkembang pesat, menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Jawa Timur. Selain mempelajari kitab kuning, para santri juga dilatih kemandirian, disiplin, dan kepedulian sosial.
Melalui Pesantren Tebuireng, jaringan dakwah Islam di Jawa Timur semakin luas. Banyak alumni yang kemudian mendirikan pesantren baru di daerahnya masing-masing. Dengan demikian, peran KH Hasyim Asy’ari tidak hanya mencetak ulama, tetapi juga membangun jaringan pendidikan yang berpengaruh hingga ke seluruh Nusantara.

Perjuangan Organisasi dan Kemerdekaan
Pada 1926, KH Hasyim Asy’ari memimpin berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini berfungsi sebagai wadah perjuangan ulama pesantren untuk menjaga ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sekaligus merespons perubahan zaman.
Dalam bidang keilmuan, beliau menekankan pentingnya keteladanan. Salah satu nasihatnya yang tercantum dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim adalah:
“Hendaknya seorang penuntut ilmu mensucikan hatinya dari akhlak tercela agar ia layak menerima ilmu.”
Tidak hanya di bidang pendidikan, pahlawan santri pendiri salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia ini juga ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan. Pada Oktober 1945, beliau mengeluarkan fatwa jihad yang melahirkan Resolusi Jihad. Fatwa ini mendorong kaum santri untuk ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang kemudian berpengaruh pada pertempuran 10 November di Surabaya.
Baca juga: Pentingnya Mempelajari Kitab Kuning di Pondok Pesantren
Karya-Karya Penting KH Hasyim Asy’ari
Selain melalui pesantren dan organisasi, beliau juga meninggalkan karya tulis yang hingga kini masih dipelajari di pesantren. Beberapa di antaranya adalah:
-
Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim (etika guru dan murid dalam mencari ilmu).
-
Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (prinsip akidah Ahlussunnah).
-
Mukaddimah al-Qanun al-Asasi (prinsip dasar organisasi NU).
-
al-Tanbihat al-Wajibat (nasihat kewajiban seorang muslim).
-
al-Dzakhirah al-Mursalah (tentang tauhid dan akidah Islam).
Karya-karya ini menunjukkan bahwa pemikiran beliau bukan hanya untuk zamannya, melainkan juga relevan bagi generasi setelahnya.
Warisan yang Tetap Hidup
KH Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947 di Jombang dan dimakamkan di Pesantren Tebuireng. Hingga kini, warisan beliau tetap hidup melalui pesantren, organisasi NU, karya tulis, serta jaringan ulama dan santri yang terus melanjutkan perjuangan beliau.
Sejarah KH Hasyim Asy’ari memperlihatkan bahwa peran seorang ulama tidak hanya terbatas pada pendidikan agama, tetapi juga meliputi dakwah, perjuangan politik, dan pembangunan masyarakat. Beliau menjadi teladan bagaimana ilmu, amal, dan perjuangan bisa menyatu demi kemaslahatan umat dan bangsa.