Arti Bandongan dalam Pembelajaran di Pondok Pesantren

Arti Bandongan dalam Pembelajaran di Pondok Pesantren

Arti bandongan merujuk pada metode belajar klasik yang telah menjadi ciri khas pesantren Nusantara selama ratusan tahun. Dalam metode ini, kiai atau ustadz membaca dan menjelaskan kitab kuning, sementara para santri menyimak, mencatat makna gandul, dan menandai bagian-bagian penting. Cara belajar ini bukan sekadar mendengarkan, tetapi melatih ketelitian, ketekunan, dan kemampuan memahami teks Arab gundul secara bertahap.

Tradisi bandongan sangat berbeda dengan kelas formal modern, karena proses pemahamannya berpusat pada keilmuan guru. Santri mengikuti jalannya penjelasan secara runtut, sehingga tidak hanya memahami makna, tetapi juga menangkap gaya penafsiran ulama terdahulu.

Baca juga: Arti Sorogan dalam Tradisi Pesantren dan Keunggulannya

Asal-Usul Bandongan dan Perannya di Pesantren

Metode bandongan sangat dipengaruhi oleh tradisi halaqah di dunia Islam, terutama di Timur Tengah. Ketika ulama Nusantara seperti Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Mahfudz at-Termasi belajar di Haramain, mereka membawa pulang model pembelajaran ini. Sejak itu, metode bandongan menjadi tulang punggung pendidikan pesantren salaf sampai sekarang.

Keberadaan bandongan tidak bisa dilepaskan dari kitab kuning, seperti Fathul Bari, Tafsir Jalalain, Arbain Nawawi, hingga Ihya Ulumuddin. Melalui bandongan, pesantren menjaga keterhubungan sanad ilmu dari generasi ke generasi, karena guru menyampaikan isi kitab dengan penjelasan yang ia dapatkan dari guru-gurunya sebelumnya.

Pelaksanaan Bandongan di Pesantren Sehari-hari

Bandongan biasanya dilakukan pada pagi atau malam hari ketika suasana pondok lebih tenang. Santri duduk berkelompok, masing-masing membawa kitab dan alat tulis. Ustadz membaca teks Arab, lalu menjelaskan maknanya dalam bahasa Indonesia atau Jawa, lengkap dengan faedah fiqih, hikmah akhlak, dan catatan bahasa.

santri pesantren sedang belajar kitab kuning metode bandongan
Praktik bandongan dalam pembelajaran kitab kuning di PPTQ Al Muanawiyah Jombang

Meski terlihat sederhana, proses bandongan menuntut fokus tinggi. Santri harus cepat menangkap penjelasan, memberi makna gandul di atas teks Arab, dan mencatat bagian yang perlu dihafalkan. Metode ini melatih kemampuan membaca kitab secara mandiri di waktu yang akan datang.

Baca juga: Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia dan Perkembangannya

Kelebihan Metode Bandongan bagi Santri

Bandongan memiliki banyak kelebihan yang membuatnya tetap bertahan hingga era modern:

  1. Pemahaman Kitab yang Bertahap
    Santri belajar mengikuti alur penjelasan guru yang sudah berpengalaman, sehingga mudah memahami kitab kuning.

  2. Belajar Melalui Sanad Keilmuan
    Setiap penjelasan yang diberikan guru membawa nilai tawadhu’ karena disampaikan dari jalur guru-guru sebelumnya.

  3. Membentuk Kesabaran dan Fokus
    Santri dilatih mendengar, menulis, dan memahami dalam waktu bersamaan, sehingga tumbuh karakter tekun dan disiplin.

  4. Meningkatkan Kemampuan Bahasa Arab
    Karena kitab tidak berharakat, santri dituntut teliti dalam memahami struktur bahasa.

  5. Membangun Kebiasaan Mencatat Ilmu
    Catatan bandongan sering menjadi modal santri dalam mengajar setelah lulus dari pondok.

Bandongan adalah metode yang terasa sederhana, tetapi justru itulah yang membuatnya efektif dan mengakar.

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Muanawiyah memadukan tradisi belajar kitab kuning melalui bandongan dan sorogan dengan pembinaan tahfidz, akhlak, serta penguatan literasi digital untuk santri putri. Jika Anda ingin putra-putri memiliki ilmu agama yang kuat sekaligus siap menghadapi era modern, maka Al-Muanawiyah menjadi pilihan yang tepat.

Yuk, bergabung bersama keluarga besar Al-Muanawiyah!
Mari mondok dengan lingkungan yang nyaman, ilmiah, dan penuh keberkahan.

Arti Sorogan dalam Tradisi Pesantren dan Keunggulannya

Arti Sorogan dalam Tradisi Pesantren dan Keunggulannya

Metode sorogan merupakan sistem belajar klasik yang masih bertahan di banyak pondok pesantren. Arti sorogan merujuk pada kegiatan belajar di mana seorang santri membawa kitabnya langsung kepada kiai atau ustadz. Cara ini, pada dasarnya, menuntut kesabaran, kedisiplinan, serta ketekunan. Biasanya, sorogan menjadi ruang pembelajaran yang sangat personal. Santri duduk dekat guru, lalu membaca teks Arab gundul secara perlahan, sementara kiai membetulkan bacaan serta maknanya.

Asal Usul Tradisi Sorogan

Metode ini, sebenarnya, berasal dari tradisi pendidikan Islam tradisional di Nusantara. Sorogan tumbuh kuat pada masa berkembangnya pesantren salaf di Jawa. Sistemnya, hingga kini, terjaga sebagai warisan ulama terdahulu. Sebagian sejarawan menyebut hubungan sorogan dengan model halaqah yang berkembang di Timur Tengah. Kendatipun begitu, sorogan memiliki ciri khas lokal. Pendekatan ini lebih personal dan berfokus pada koreksi langsung.

Pelaksanaan Tradisi Sorogan di Pesantren

Dalam praktiknya, sorogan berlangsung di ruang kecil, serambi masjid, atau bilik ngaji. Santri datang bergiliran. Mereka membuka kitab kuning, seperti Ta’lim al-Muta’allim, Safinatun Najah, atau Fathul Qarib. Guru, pada saat itu, mengecek bacaan kata demi kata. Kemudian, beliau memastikan pemahaman santri berjalan benar. Sistem seperti ini, biasanya, diterapkan di pesantren salaf. Meski begitu, beberapa pesantren modern masih mempertahankan sorogan sebagai metode pendalaman makna. Pelaksanaannya, sering kali, berlangsung menjelang subuh atau setelah isya.

sorogan kitab kuning di pondok putri Al Muanawiyah Jombang
Sorogan kitab kuning di PPTQ Al Muanawiyah

Kelebihan Metode Belajar Sorogan

Sorogan, secara umum, memiliki banyak kelebihan. Santri belajar dengan tempo pribadi. Kesalahan bisa diperbaiki secara langsung. Hasilnya, pemahaman menjadi lebih kuat. Selain itu, kedekatan dengan kiai membentuk adab. Pendeknya, sorogan mempertemukan ilmu dan akhlak.

Biasanya, metode ini juga menumbuhkan rasa malu yang positif. Santri berusaha membaca dengan benar agar tidak mengecewakan guru. Nilai seperti ini, sebenarnya, turut menumbuhkan karakter disiplin. Bahkan lebih dari itu, sorogan membuat santri terbiasa menerima kritik. Akibatnya, mental ilmiah tumbuh secara alami. Sorogan juga membangun kecakapan memahami teks Arab tanpa bantuan terjemahan instan.

Relevansi Sorogan bagi Remaja Muslim Masa Kini

Dalam dunia modern, metode sorogan tetap relevan. Banyak santri merasakan manfaatnya dalam memahami kitab kuning. Nyatanya, tradisi ini melatih fokus. Selain itu, sorogan menanamkan sikap hormat kepada ulama. Sikap seperti ini penting bagi remaja Muslim, terutama di tengah derasnya informasi digital. Cara belajar sorogan, pada akhirnya, membantu membangun pemikiran yang tertata.

Jika kamu ingin menemukan pesantren yang tetap menjaga tradisi sorogan sambil memadukan pembinaan akhlak dan tahfidzul Qur’an, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah Jombang siap menjadi pilihan terbaik. Pesantren ini, pada intinya, mengajarkan kitab kuning dengan metode yang ramah pemula. Selain itu, santri mendapat pembinaan karakter yang terarah. Maka dari itu, kamu bisa menghubungi pihak pesantren kapan saja untuk informasi pendaftaran. Pesantren ini membuka kesempatan bagi remaja putri yang ingin belajar agama dengan sistem terstruktur dan lingkungan yang aman.

KH Ardani Ahmad: Ulama Blitar Pengarang Risalatul Mahidh

KH Ardani Ahmad: Ulama Blitar Pengarang Risalatul Mahidh

Al MuanawiyahNama KH Ardani Ahmad dikenal sebagai salah satu ulama asal Blitar yang memberi kontribusi besar dalam kajian fikih wanita. Beliau merupakan pengarang kitab Risalatul Mahidh, sebuah karya ringkas namun sangat sistematis yang membahas hukum-hukum haid, nifas, dan istihadhah. Karya ini banyak dipelajari di pesantren, khususnya di kalangan santri putri, karena menjelaskan persoalan-persoalan fikih perempuan dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami.

Biografi Singkat KH Ardani Ahmad

KH Muhammad Ardani bin Ahmad adalah ulama asal Blitar yang lahir di Banyuwangi tahun 1956 dan merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Jeblog di Talun, Blitar. Beliau menempuh pendidikan pesantren di Al-Falah Ploso, Kediri, dan menulis kitab Risālah al-Maḥīḍ (Risalatul Mahidh) pada tahun 1992. Kitab ini membahas fikih haid, nifas, dan istihadhah secara sistematis menggunakan bahasa Arab Pegon dan Jawa Krama agar mudah dipahami santri putri.

Kitab risalatul mahidh fikih darah wanita kitab kuning pondok pesantren tahfidz putri Jombang
Kitab Risalatul Mahidh (foto: shopee.co.id)

Selain aktif menulis, beliau juga mengelola pesantren yang menerapkan kurikulum salaf dan sekolah formal (SMP/SMA) serta program tahfidz, menjadikan pondoknya tempat pembinaan karakter dan keilmuan untuk generasi muda. Beliau membina santri dengan pendekatan melalui pengajaran kitab kuning. Sebagian muridnya kemudian menjadi pengajar fikih perempuan di berbagai pesantren. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh beliau tidak hanya melalui tulisan, tetapi juga melalui kaderisasi ulama dan pendidik di tingkat lokal. Hingga kini, Blitar masih mengenang beliau sebagai sosok ulama yang tekun dan bersahaja.

KH Ardani Ahmad lahir dan tumbuh dalam lingkungan pesantren di Blitar. Sejak kecil, beliau telah akrab dengan tradisi keilmuan klasik. Riwayat pendidikannya menunjukkan bahwa beliau berguru kepada sejumlah kiai di Jawa Timur, terutama yang dikenal mendalami bidang fikih. Berkat ketekunan itu, beliau kemudian mengajar di pesantren dan aktif menulis karya-karya keislaman. Risalatul Mahidh menjadi salah satu kitab yang paling luas penyebarannya, dipelajari mulai dari pesantren kecil hingga lembaga pendidikan Islam modern.

Pokok Isi dan Keunggulan Risalatul Mahidh

Kitab Risalatul Mahidh berisi penjelasan terperinci mengenai tanda-tanda haid, batas waktunya, hukum ibadah bagi perempuan yang sedang haid, serta perbedaan haid dan istihadzah. Dalam tradisi pesantren, kitab ini sering dijadikan materi wajib dalam kelas fikih perempuan. Banyak kiai dan nyai menjadikannya rujukan karena merangkum pendapat fuqaha klasik dalam bentuk ringkas. Di beberapa daerah, kitab ini diajarkan dalam pengajian khusus ibu-ibu untuk meningkatkan pemahaman dasar tentang ibadah dan kesucian.

Teladan Keilmuan Bagi Santri Masa Kini

Warisan keilmuan KH Ardani Ahmad menjadi inspirasi bagi generasi muda, khususnya santri yang ingin memperdalam ilmu fikih. Ketekunan beliau dalam menulis dan mengajar menunjukkan bahwa ilmu dapat diwariskan melalui karya dan teladan. Dalam konteks pendidikan pesantren masa kini, semangat beliau mendorong para penuntut ilmu untuk terus belajar. Membaca, menelaah, dan menyampaikan ajaran dengan cara yang bijak adalah kemampuan dasar santri. Kitab Risalatul Mahidh digunakan sebagai fondasi pemahaman fikih perempuan dan menjadi bukti kontribusi ulama daerah dalam khazanah keilmuan Islam Indonesia.

Jika Anda ingin memperdalam kajian fikih perempuan atau mengenal lebih banyak karya ulama Nusantara, membaca kembali karya-karya seperti Risalatul Mahidh dapat menjadi langkah awal yang bermanfaat. Semangat keilmuan yang diwariskan beliau layak dijadikan teladan dalam perjalanan belajar para santri dan masyarakat luas.

Kitab Fathul Bari dan Keistimewaannya dalam Tradisi Pesantren

Kitab Fathul Bari dan Keistimewaannya dalam Tradisi Pesantren

Al Muanawiyah – Di banyak pondok pesantren di Indonesia, para santri mempelajari beragam kitab kuning yang menjadi rujukan ulama Ahlussunnah. Salah satu kitab paling masyhur adalah Fathul Bari, sebuah karya besar yang menjadi penjelasan (syarah) paling otoritatif atas Shahih al-Bukhari. Kehadiran kitab ini bukan hanya memperkaya khazanah keilmuan pesantren, tetapi juga membantu umat Islam memahami sunnah Nabi ﷺ secara lebih mendalam dan komprehensif.

Identitas dan Latar Belakang Kitab Fathul Bari

Kitab Fathul Bari memiliki judul lengkap “Fathul Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari”. Kitab ini disusun oleh ulama besar abad ke-9 H, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (773–852 H), seorang ahli hadits yang sangat dihormati dalam dunia Islam. Penyusunan kitab ini memakan waktu lebih dari 25 tahun, dan rampung sekitar tahun 842 H.

Kitab ini terdiri dari 13 jilid besar, berisi penjelasan terperinci terhadap seluruh hadits dalam Shahih Bukhari. Kitab ini juga membahas sanad, perbedaan versi riwayat, makna bahasa, fiqih, hingga penjelasan para ulama terdahulu. Karena kelengkapan dan ketelitian ilmunya, Fathul Bari dianggap sebagai syarah Shahih Bukhari terbaik sepanjang sejarah.

gambar semua jilid kitab fathul bari
Kitab Fathul Bari (sumber: www.alkhoirot.org)

Kandungan dalam Kitab Fathul Bari

Kitab ini mencakup beragam disiplin ilmu yang sangat luas. Para santri dan peneliti hadits mempelajari Kitab Fathul Bari karena menyajikan:

1. Penjelasan mendalam setiap hadits dalam Shahih Bukhari
Ibnu Hajar menguraikan makna, konteks, sebab munculnya hadits, dan pendapat para ulama klasik.

2. Analisis sanad dan jalur periwayatan
Kitab ini memberikan perbandingan antara berbagai versi sanad, serta validitas masing-masing.

3. Kajian fiqih lintas mazhab
Ibnu Hajar menyebutkan pendapat mazhab-mazhab besar, lalu menjelaskan argumentasi masing-masing berdasarkan hadits.

4. Ilmu bahasa dan syarah istilah
Banyak istilah dalam hadits dijelaskan secara bahasa dan makna, membuat pembaca memahami konteks secara utuh.

5. Pendekatan sejarah dan perkembangan hukum Islam
Kitab ini memadukan ilmu hadits, sirah, serta tradisi keilmuan ulama sejak generasi sahabat hingga masa Ibnu Hajar.

Karena kandungannya sangat luas, Fathul Bari menjadi salah satu rujukan penting dalam ilmu hadits, fiqih, pendidikan, dan kajian akademik di seluruh dunia.

Baca juga: 5 Hadits Menuntut Ilmu Shahih dan Maknanya

Penerapan Fathul Bari dalam Kehidupan Sehari-Hari

Walaupun tebal dan ilmiah, isi Fathul Bari dapat diterapkan dalam kehidupan modern. Kitab ini membantu umat Islam memahami:

1. Cara meneladani Nabi ﷺ secara lebih tepat
Syarah yang mendalam membuat seseorang memahami sunnah bukan hanya pada teks, tetapi juga pada konteks. Misalnya, adab pergaulan, akhlak, kesabaran, hingga semangat menuntut ilmu.

2. Sikap moderat dalam beragama
Ibnu Hajar selalu menyebut perbedaan pendapat ulama secara adil. Sikap ini mendorong umat untuk lebih bijaksana, toleran, dan tidak mudah mengklaim pendapat pribadi sebagai satu-satunya kebenaran.

3. Landasan kuat dalam mengambil keputusan fiqih
Pembahasan lintas mazhab membuat umat memahami bahwa hukum Islam itu luas dan penuh hikmah. Ini membantu seseorang memilih pendapat yang paling maslahat dan sesuai kebutuhan.

4. Etika sosial dan keutamaan akhlak
Banyak hadits tentang kasih sayang, persaudaraan, kerja keras, dan kejujuran dijelaskan secara praktis. Nilai-nilai ini sangat relevan bagi pelajar, pekerja, dan masyarakat umum.

5. Penguatan tradisi belajar di pesantren
Bagi para santri, Kitab ini menjadi sumber semangat karena menunjukkan betapa luas dan telitinya ilmu para ulama. Kitab ini mengajarkan disiplin, kesabaran, dan ketekunan dalam menuntut ilmu.

Kitab Fathul Bari bukan sekadar kitab syarah hadits, tetapi karya monumental yang terus hidup dalam tradisi pondok pesantren di Indonesia. Ia mengajarkan ilmu, adab, dan keluasan pandangan dalam memahami agama. Dengan mempelajari kitab ini, santri dan umat Islam dapat mengambil hikmah Nabi ﷺ untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari secara bijak dan penuh kearifan.

Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia dan Perkembangannya

Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia dan Perkembangannya

Al MuanawiyahPondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan tradisi keilmuan umat Muslim. Sejarah pondok pesantren di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-14, jauh sebelum berdirinya sekolah-sekolah formal. Lembaga ini menjadi wadah bagi para santri untuk menuntut ilmu agama sekaligus belajar hidup mandiri di bawah bimbingan seorang kiai.

Asal Usul dan Makna Pondok Pesantren

Secara etimologis, kata “pesantren” berasal dari kata santri yang diberi imbuhan “pe-” dan “-an”, sehingga berarti tempat tinggal atau pusat kegiatan para santri. Sejak masa awal Islam di Nusantara, sistem pendidikan ini sudah dikenal, terutama pada masa dakwah Sunan Ampel di Surabaya pada abad ke-14. Ia dianggap sebagai pelopor sistem asrama santri di lingkungan masjid, yang kemudian dikenal sebagai pondok pesantren.

Pesantren memiliki ciri khas yang membedakannya dari lembaga pendidikan lain. Ciri utamanya meliputi adanya kiai sebagai pusat pengajaran, santri yang tinggal di asrama, masjid sebagai tempat kegiatan utama, serta pengajaran kitab-kitab klasik atau kitab kuning. Tradisi ini berlanjut dari generasi ke generasi, menjadikan pesantren sebagai benteng ilmu agama dan moralitas masyarakat Indonesia.

Baca juga: Mengapa Tradisi Keilmuan Salaf Tetap Relevan di Era Digital

Pesantren Tertua dan Jejak Penyebaran Islam

Salah satu pesantren tertua di Indonesia adalah Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh Sayyid Sulaiman dan Kiai Aminullah pada sekitar tahun 1745, meski sebagian sumber menyebutkan tahun 1718. Sidogiri menjadi contoh kuat bahwa pesantren telah lama menjadi pusat pendidikan Islam dan dakwah di tanah air.

gambar beberapa laki-laki mengenakan kopiah dan bju putih sedang belajar bersama di madrasah miftahul ulum sidogiri
Pembelajaran madrasah di Pondok Pesantren Sidogiri (sumber: sidogiri.net)

Selain Sidogiri, pesantren-pesantren lain seperti Tebuireng (didirikan KH Hasyim Asy’ari pada 1899), Gontor (didirikan KH Ahmad Sahal pada 1926), dan Lirboyo (didirikan KH Abdul Karim pada 1910) juga berperan besar dalam melahirkan banyak tokoh ulama, pemimpin bangsa, dan pendidik Islam. Dari sinilah penyebaran Islam di Indonesia berlangsung secara damai melalui jalur pendidikan dan sosial.

Dinamika Pesantren di Masa Kolonial dan Modern

Pada masa penjajahan Belanda, pondok pesantren sering dianggap sebagai pusat perlawanan karena aktivitas sosial dan dakwahnya yang membangkitkan semangat kebangsaan. Meski diawasi ketat oleh pemerintah kolonial, banyak pesantren tetap bertahan berkat sistem wakaf tanah dan dukungan masyarakat setempat. Para santri saat itu tidak hanya belajar agama, tetapi juga dilatih untuk mandiri dan berjuang melawan ketidakadilan.

Setelah Indonesia merdeka, sistem pendidikan pesantren mengalami transformasi besar. Sebagian pesantren tetap mempertahankan model tradisional (salafiyah), sementara yang lain beradaptasi dengan memasukkan pelajaran umum dan kurikulum formal (khalafiyah). Langkah ini membuat pesantren tetap relevan dan berperan penting dalam pembangunan nasional hingga saat ini.

Peran dan Relevansi Pesantren di Era Modern

Kini, pondok pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar agama, tetapi juga pusat pengembangan karakter, kewirausahaan, dan literasi digital bagi generasi muda. Pemerintah pun secara resmi mengakui pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya posisi pesantren dalam sejarah pendidikan Indonesia dan kontribusinya terhadap pembangunan umat.

Sejarah pondok pesantren di Indonesia mencerminkan perjalanan panjang pendidikan Islam yang berakar kuat dalam budaya bangsa. Dari masa Sunan Ampel hingga era modern, pesantren tetap menjadi lembaga yang menjaga keseimbangan antara ilmu, iman, dan pengabdian sosial. Nilai-nilai yang diwariskan pesantren, seperti keikhlasan, kedisiplinan, dan cinta tanah air, menjadi fondasi moral yang relevan bagi generasi muda Indonesia masa kini.

Sejarah panjang pondok pesantren menunjukkan betapa pentingnya peran lembaga ini dalam menjaga ilmu dan moral bangsa. Hingga kini, pesantren terus beradaptasi dengan zaman tanpa meninggalkan akar tradisi Islam yang kuat.

Bagi kamu yang ingin menjadi bagian dari perjalanan tersebut, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah membuka kesempatan untuk mendidik anak menjadi penghafal Al-Qur’an yang berakhlak mulia. Kunjungi website resminya untuk informasi lebih lanjut.

Metode Belajar Pondok Pesantren yang Kini Masih Eksis

Metode Belajar Pondok Pesantren yang Kini Masih Eksis

Pondok pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Dalam perkembangannya, metode belajar pondok pesantren memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya dari sistem pendidikan formal. Metode ini tidak hanya menekankan aspek pengetahuan, tetapi juga pembentukan akhlak, kedisiplinan, dan kemandirian santri.

1. Sorogan: Belajar Langsung dengan Guru

Metode belajar pondok pesantren yang paling klasik adalah sorogan. Dalam sistem ini, seorang santri membaca kitab di hadapan ustadz atau kiai, kemudian guru memperbaiki bacaan dan menjelaskan makna kata per kata.
Biasanya, metode ini digunakan untuk mempelajari kitab kuning, seperti Tafsir Jalalain atau Fathul Qarib. Meskipun terkesan tradisional, sorogan membuat santri lebih aktif dan teliti dalam memahami isi kitab. Bahkan, cara ini dianggap efektif untuk melatih kesabaran dan ketekunan belajar.

2. Bandongan: Mendengarkan dan Mencatat Penjelasan Guru

Selain sorogan, ada juga bandongan, atau disebut juga wetonan di beberapa daerah. Dalam metode ini, kiai membaca kitab dan menjelaskan isinya di hadapan banyak santri, sedangkan para santri mendengarkan sambil mencatat makna di sela teks kitab.
Metode bandongan cocok digunakan untuk pengajian kitab besar seperti Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Umumnya, pengajian bandongan dilakukan secara rutin setiap hari atau pada bulan Ramadan.
Dengan cara ini, santri terbiasa menyimak dengan penuh perhatian dan menghafal istilah Arab klasik yang sulit dipahami tanpa bimbingan guru.

Baca juga: 3 Kebiasaan yang Dibenci Allah Menurut Kitab Nashaihul Ibad

3. Halaqah dan Musyawarah Kitab

Selanjutnya, ada halaqah, yakni sistem belajar berbentuk kelompok diskusi kecil. Dalam metode ini, santri saling bertukar pendapat untuk memahami isi kitab tertentu. Tak jarang, mereka mengadakan musyawarah kitab, yaitu forum untuk membahas perbedaan pendapat ulama dari teks yang sama.
Metode ini melatih santri berpikir kritis, mampu menyampaikan argumen, dan menghargai perbedaan pandangan. Halaqah juga menjadi jembatan antara cara belajar klasik dan kebutuhan berpikir analitis modern.

gambar santri sedang belajar bersama dalam halaqah
Contoh penerapan halaqah belajar di PPTQ Al Muanawiyah

4. Hafalan dan Muhafazhah

Metode belajar pondok pesantren juga tak lepas dari hafalan (muhafazhah). Santri biasanya diminta untuk menghafal matan kitab, ayat Al-Qur’an, atau bait nadham. Misalnya, hafalan Alfiyah Ibnu Malik dalam ilmu nahwu atau Taqrib dalam fikih.
Kegiatan ini tidak sekadar menguji daya ingat, melainkan juga menguatkan pemahaman mendalam terhadap ilmu yang dipelajari. Biasanya, hafalan dilanjutkan dengan ujian lisan di depan ustadz.

Baca juga: Hikmah Perintah Membaca dalam Surat Al Alaq secara Sosiologis

5. Metode Modern: Integrasi Teknologi dan Literasi

Dalam perkembangan zaman, beberapa pesantren kini mulai mengombinasikan metode tradisional dengan pendekatan modern. Contohnya, pembelajaran kitab menggunakan presentasi digital, forum diskusi daring, hingga program literasi pesantren yang mendorong santri menulis karya ilmiah.
Dengan demikian, metode belajar pondok pesantren tetap relevan dengan kebutuhan zaman tanpa kehilangan ruh keilmuan dan keikhlasan belajar yang menjadi cirinya sejak dahulu.

Pada dasarnya, setiap metode belajar pondok pesantren memiliki tujuan yang sama, yakni menanamkan ilmu sekaligus membentuk karakter santri yang berakhlak dan mandiri. Sorogan mengajarkan kesungguhan, bandongan menumbuhkan kesabaran, halaqah melatih berpikir kritis, sementara hafalan menumbuhkan ketekunan.
Dengan berbagai pendekatan ini, pondok pesantren terus menjadi benteng pendidikan Islam yang kuat, menyiapkan generasi berilmu, berakhlak, dan siap menghadapi perubahan zaman.

Bagi siapa pun yang ingin merasakan suasana belajar yang menggabungkan tradisi pesantren dan pendekatan modern, PPTQ Al Muanawiyah Jombang bisa menjadi pilihan tepat. Di pondok ini, santri tidak hanya memperdalam Al-Qur’an dan kitab kuning, tetapi juga belajar berpikir logis, kreatif, dan berdaya saing di era digital. Kunjungi website resmi untuk informasi lebih lanjut

Kitab Bulughul Maram dan Pentingnya dalam Kajian Islam

Kitab Bulughul Maram dan Pentingnya dalam Kajian Islam

Dalam khazanah keilmuan Islam, kitab Bulughul Maram menjadi salah satu rujukan utama bagi para penuntut ilmu, khususnya di pondok pesantren. Kitab ini memuat kumpulan hadis-hadis hukum yang menjadi dasar dalam memahami syariat Islam secara komprehensif.

Identitas Kitab

Kitab Bulughul Maram disusun oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang ulama besar yang hidup pada masa abad ke-9 Hijriah (773–852 H / 1372–1449 M). Ibnu Hajar dikenal sebagai pakar hadis dan penulis kitab monumental Fathul Bari, syarah dari Shahih Bukhari.

Kitab ini mulai dikenal luas di kalangan ulama sejak masa klasik hingga kini, karena sistematikanya yang jelas dan bahasanya yang ringkas. Di dalamnya, Ibnu Hajar menghimpun lebih dari 1.300 hadis, sebagian besar bersumber dari kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.

Kitab Bulughul Maram
Kitab Bulughul Maram (sumber: daimuda.org)

Isi Kitab Bulughul Maram

Isi dari kitab Bulughul Maram terbagi dalam beberapa bab besar yang mengikuti struktur fikih Islam. Di antaranya:

  1. Kitab Thaharah (Bersuci)
    Membahas hukum wudhu, tayamum, mandi, dan hal-hal yang membatalkannya.

  2. Kitab Shalat
    Menjelaskan syarat, rukun, dan tata cara pelaksanaan shalat, baik wajib maupun sunnah.

  3. Kitab Zakat, Puasa, dan Haji
    Menguraikan kewajiban ibadah sosial dan fisik yang menjadi pilar Islam.

  4. Kitab Nikah dan Jual Beli
    Mengulas aturan muamalah dan hukum keluarga dalam Islam.

  5. Kitab Hudud dan Jihad
    Menguraikan hukum pidana Islam dan etika perjuangan dalam menegakkan agama.

Setiap hadis dalam kitab ini disertai sumbernya, sehingga santri atau pembelajar dapat melacak keotentikan hadis dengan mudah.

Baca juga: Perbedaan Zakat Fitrah dan Zakat Mal yang Perlu Diketahui

Pentingnya Mempelajari Kitab

Penting untuk dipahami bahwa kitab ini tidak hanya berisi hukum, tetapi juga memberikan pemahaman mendalam tentang akhlak, ibadah, dan muamalah berdasarkan hadis Rasulullah ﷺ. Oleh sebab itu, kitab ini menjadi jembatan antara teori fikih dan praktik keseharian umat Muslim.

Selain itu, kitab Bulughul Maram juga sering dijadikan materi wajib di berbagai lembaga pendidikan Islam. Para santri diajak untuk memahami hadis secara kontekstual, agar dapat menerapkannya dalam kehidupan modern tanpa kehilangan nilai-nilai syar’i.

Baca juga: 5 Cara Sederhana Agar Shalat Khusyuk dan Tenang

Pembelajaran Kitab di Pondok Pesantren Jombang

Di berbagai pondok pesantren di Jombang, termasuk Pondok Tahfidz Jombang Al Muanawiyah, kitab ini digunakan sebagai salah satu rujukan penting dalam kajian fikih dan hadis. Santri belajar tidak hanya menghafal matan hadis, tetapi juga memahami makna dan penerapannya dalam kehidupan nyata.

Melalui pembelajaran kitab Bulughul Maram, para santri diarahkan untuk menjadi generasi yang berilmu, berakhlak, dan siap berdakwah di masyarakat. Sejalan dengan visi Al Muanawiyah yang menanamkan semangat tafakkuh fiddin, mempelajari kitab ini menjadi bagian dari upaya menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu dan sunnah Rasulullah ﷺ.

Adab Berbicara dari Kajian Kitab Washiyatul Musthafa

Adab Berbicara dari Kajian Kitab Washiyatul Musthafa

Adab berbicara adalah salah satu bagian penting dari ajaran Islam yang sering ditekankan dalam berbagai kitab, salah satunya Washiyatul Musthafa. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa lisan adalah amanah. Meski tidak bertulang, ia bisa mendatangkan manfaat besar atau justru menimbulkan bahaya yang lebih tajam daripada pedang. Karena itu, seorang Muslim wajib berhati-hati menjaga setiap kata yang keluar dari mulutnya.

 

Bahaya Lisan yang Tidak Dijaga

Salah satu bentuk kelalaian dalam berbicara adalah mudah mencela, menghina, atau ghibah. Dalam kitab Washiyatul Musthofa dijelaskan bahwa ghibah memiliki konsekuensi besar: pelakunya harus meminta maaf langsung kepada orang yang digibahi dengan menyebutkan kesalahannya. Jika tidak, maka ada kafarat atau hukuman yang menanti. Bahkan laknat seorang Muslim kepada sesama Muslim ibarat boomerang—ucapan itu akan kembali kepada dirinya sendiri.

Dua wanita berhijab berbincang sambil tersenyum, ilustrasi adab berbicara menurut Kitab Washiyatul Musthafa
Adab berbicara yang yang baik (foto: freepik)

Menjaga Adab Berbicara di Era Digital

Di zaman sekarang, menjaga adab berbicara menjadi semakin penting. Manusia bisa “bicara” tanpa membuka mulut, cukup dengan mengetik komentar atau membuat postingan di media sosial. Fenomena akun gosip atau budaya ghibah bareng netizen adalah contoh nyata betapa mudahnya orang melupakan adab bicara. Padahal, dosa ghibah tetaplah sama, baik dilakukan secara langsung maupun melalui jari-jari di dunia maya.

Baca juga: Bahaya Banyak Bicara Bagi Hati dan Kekhusyukan Ibadah

Jika seseorang berani menyebarkan keburukan orang lain, maka ia juga harus berani menanggung konsekuensinya. Efek dari lisan, baik lisan nyata maupun lisan digital, bisa memecah ukhuwah, menumbuhkan kebencian, bahkan menyeret pelakunya kepada murka Allah.

Menjaga adab berbicara bukan hanya tentang sopan santun, tetapi juga menyangkut keselamatan akhirat. Lisan yang tidak dapat dikendalikan diibaratkan seperti anjing buas, yang siap menerkam musuhnya dengan galak. Rasulullah ﷺ mengajarkan agar lisan kita selalu terjaga dari celaan, ghibah, maupun laknat. Di era digital, pesan ini semakin relevan: pikirkan baik-baik sebelum berucap maupun sebelum mengetik

 Untuk penjelasan lebih lengkap, mari simak kajian kitab Washiyatul Musthafa tentang adab berbicara di channel YouTube Al Muanawiyah. Semoga Allah menjaga lisan kita agar selalu terarah pada kebaikan.

Kurikulum Pondok Pesantren di Era Digital, Masihkah Relevan?

Kurikulum Pondok Pesantren di Era Digital, Masihkah Relevan?

Kurikulum pondok pesantren sejak dahulu identik dengan tradisi keilmuan Islam yang mendalam. Kajian kitab kuning, metode sorogan, serta bandongan menjadi ciri khas yang melahirkan generasi ulama dan penjaga tradisi keilmuan. Sistem ini terbukti mampu menjaga warisan intelektual Islam dan membentuk karakter santri yang kuat dalam pemahaman agama.

Mengenal kurikulum tempat anak kita bersekolah sangatlah penting. Karena dari sinilah kita bisa memahami arah pendidikan yang diberikan kepada para santri. Kurikulum tidak hanya menentukan metode belajar, tetapi juga membentuk pola pikir, adab, serta keterampilan yang akan dibawa santri dalam kehidupan nyata. Dengan memahami ini, orang tua maupun masyarakat dapat menilai kemampuan pondok pesantren dalam menjawab tantangan zaman sekaligus menjaga keluruhan tradisi Islam.

santri putri pondok pesantren tahfidz putri Jombang sedang tilawah bersama
Santri tilawah bersama sebagai bentuk penerapan kurikulum pondok pesantren Al Muanawiyah

Seiring berkembangnya zaman, silabus pondok pesantren menghadapi tuntutan modernisasi. Santri tidak hanya dituntut menguasai ilmu agama, tetapi juga harus mampu bersaing dalam bidang akademik dan sosial di era digital. Modernisasi ini tidak berarti meninggalkan tradisi, melainkan memperkaya dan menyesuaikannya dengan kebutuhan masa kini. Penggunaan teknologi, metode pembelajaran interaktif, serta tambahan kurikulum nasional menjadi langkah penting agar pesantren tetap relevan.

Dengan pendekatan tersebut, kurikulum pendidikan  santri mampu menjaga keseimbangan. Santri tetap mendapatkan kekuatan dari tradisi keilmuan salaf, namun juga memiliki keterampilan yang bermanfaat di kehidupan modern. Inilah yang kemudian melahirkan konsep integrasi: tradisi sebagai pondasi, modernisasi sebagai penguat, dan keduanya bersatu demi melahirkan generasi muslim yang berdaya saing.

Perpaduan Kurikulum Pondok Pesantren di Al Muanawiyah

Lalu bagaimana dengan Al Muanawiyah? Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah Jombang telah mengintegrasikan kurikulum tradisional dan modern secara harmonis. Tradisional di sini diwujudkan dalam pengajaran kitab kuning ala salafiyah. Sementara aspek modern hadir melalui program tahfidz dan pemanfaatan alat multimedia yang dioperasikan langsung oleh santri. Lebih jauh, PPTQ Al Muanawiyah Jombang memadukan kurikulum nasional, tahfidz, pesantren, dan IT. Sehingga santri bebas memilih fokus pengembangan sesuai minat serta potensi mereka.

Untuk memahami lebih dalam tentang konsep integrasi kurikulum pondok tradisional dan modern ini, Anda dapat menyimak Podcast Al Muanawiyah yang membahas tema “Kurikulum Pesantren antara Tradisi dan Modernisasi.” Podcast ini memberikan gambaran bagaimana pesantren hari ini mampu menjaga akar tradisinya sekaligus menjawab tantangan zaman modern.

Pentingnya Mempelajari Kitab Kuning di Pondok Pesantren

Pentingnya Mempelajari Kitab Kuning di Pondok Pesantren

Kitab kuning adalah warisan intelektual para ulama Islam yang telah dipelajari di pesantren sejak berabad-abad lalu. Disebut “kuning” karena pada masa lalu kertas yang digunakan berwarna kekuningan. Kitab-kitab ini berisi ilmu agama yang sangat luas, mulai dari tafsir, hadits, fikih, akhlak, hingga bahasa Arab.

 

Sejarah kitab kuning di Indonesia erat kaitannya dengan perkembangan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam tradisional. Para ulama Nusantara yang belajar di Makkah, Madinah, atau Timur Tengah membawa pulang kitab-kitab tersebut, lalu mengajarkannya kepada santri di tanah air. Hingga kini, kitab tersebut tetap menjadi kurikulum inti di banyak pesantren, karena di dalamnya tersimpan metode belajar yang mendalam dan komprehensif.

Baca juga: 4 Kitab Adab Penuntut Ilmu yang Bisa Dipelajari

Kelebihan mempelajari kitab tidak hanya terletak pada kedalaman ilmunya, tetapi juga melatih kemampuan berpikir kritis, membaca teks Arab tanpa harakat, dan memahami langsung pendapat para ulama klasik. Bagi santri, kitab ini adalah bekal berharga untuk menjadi ulama, pendidik, atau tokoh masyarakat yang berilmu dan berakhlak mulia.

Para santri terlihat bahagia saat mengikuti kegiatan mengaji kitab kuning bersama di pondok pesantren, sebagai sarana memperdalam ilmu sekaligus menanamkan adab
Pembelajaran kitab kuning di PPTQ Al Muanawiyah Jombang

 

Kitab Kuning di Pondok

Di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah Jombang, santri tidak hanya fokus menghafal Al-Qur’an, tetapi juga memperdalam ilmu agama melalui berbagai kitab kuning. Berikut beberapa di antaranya:

  • Kitab Amtsilati
    Panduan praktis belajar ilmu nahwu shorof dengan metode yang sistematis. Santri dilatih membaca kitab tanpa harakat dan memahami struktur bahasa Arab.

  • Kitab Mabadi’ Fiqih
    Membahas hukum-hukum dasar ibadah seperti wudhu, shalat, puasa, dan zakat. Cocok untuk memperkuat pemahaman fikih sejak dini.

  • Kitab Alala
    Berisi nasihat akhlak sederhana untuk membentuk karakter santri, seperti menghormati guru, orang tua, dan menjaga lisan.

  • Kitab Akhlaqul Banat
    Membahas pembinaan akhlak khusus bagi remaja putri, meliputi adab berpakaian, bergaul, dan menjaga kehormatan diri.

  • Kitab Risalatul Mahidh
    Mengupas tuntas hukum haid, nifas, dan istihadhah bagi muslimah agar ibadah tetap sah sesuai syariat.

Dengan mempelajari kitab-kitab ini, santri di Al Muanawiyah tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya menguasai hafalan Al-Qur’an, tetapi juga memahami syariat dan akhlak dengan baik.