Sejarah Dewi Sartika, Perintis Pendidikan Perempuan

Sejarah Dewi Sartika, Perintis Pendidikan Perempuan

Identitas dan Asal Usul Dewi Sartika

Sejarah Dewi Sartika dimulai sejak kelahirannya pada 4 Desember 1884 di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat. Beliau berasal dari keluarga priyayi Sunda. Sejak kecil, Dewi Sartika tumbuh dengan semangat belajar yang tinggi. Meskipun pada masa itu pendidikan perempuan masih sangat terbatas, ia telah menunjukkan kecerdasan dan kepedulian terhadap kaum wanita.

Ayahnya, Raden Somanagara, dikenal sebagai pejuang yang menolak penjajahan. Semangat perjuangan inilah yang turut mengalir dalam darah Dewi Sartika. Ibunya, Raden Ayu Rajapermas, menanamkan nilai moral dan keberanian dalam diri putrinya sejak dini.

gambar Raden Dewi Sartika pendiri Sekolah Kaoetamaan Istri tokoh pendidikan perempuan
Raden Dewi Sartika

Jejak Perjuangan Dakwah dan Pendidikan

Sejak kecil Dewi Sartika sudah memiliki keinginan kuat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1904, beliau mendirikan Sekolah Istri di Bandung. Sekolah ini mengajarkan membaca, menulis, berhitung, serta keterampilan rumah tangga.

Kehadiran sekolah tersebut menjadi terobosan besar karena pada masa itu perempuan masih dianggap cukup hanya mengurus rumah. Namun Dewi Sartika berkeyakinan, “Perempuan yang terdidik akan mampu melahirkan generasi yang cerdas.”

Sekolah Istri kemudian berkembang pesat dan pada tahun 1910 berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Istri. Tidak hanya di Bandung, sekolah ini juga menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat. Dari langkah sederhana ini, Dewi Sartika berhasil membuka jalan bagi lahirnya pendidikan perempuan yang lebih luas di Indonesia.

Semangatnya sejalan dengan dakwah Islam, yakni mengangkat derajat manusia melalui ilmu pengetahuan. Dengan pendidikan, perempuan dapat berperan aktif dalam masyarakat tanpa kehilangan jati dirinya sebagai istri dan ibu.

Baca juga:  Siti Walidah, Pendiri Aisyiyah yang Menginspirasi

Hikmah dari Perjuangan Sejarah Dewi Sartika

Kisah Dewi Sartika memberikan banyak pelajaran berharga bagi generasi saat ini:

  1. Pendidikan adalah hak setiap manusia. Dewi Sartika menegaskan bahwa perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang sama seperti laki-laki.

  2. Perjuangan membutuhkan keberanian. Di tengah masyarakat yang masih memandang rendah perempuan, beliau tetap teguh menyuarakan pentingnya ilmu.

  3. Ilmu sebagai jalan dakwah. Dengan pendidikan, seorang muslimah dapat mendidik keluarga menjadi generasi berakhlak mulia dan berwawasan luas.

  4. Warisan inspirasi. Dewi Sartika membuktikan bahwa satu langkah kecil dapat mengubah nasib banyak orang dan berpengaruh hingga lintas generasi.

Sejarah Dewi Sartika ini memberikan kita bukan hanya cerita pahlawan nasional, tetapi juga teladan yang menunjukkan bahwa perjuangan dakwah bisa diwujudkan lewat pendidikan. Beliau telah mewariskan semangat agar perempuan Indonesia berani belajar, berani mengajar, dan berani menginspirasi.

Perjuangan Dewi Sartika adalah pesan abadi: ilmu adalah cahaya, dan perempuan adalah pelita yang mampu menerangi generasi bangsa.

Siti Walidah, Pendiri Aisyiyah yang Menginspirasi

Siti Walidah, Pendiri Aisyiyah yang Menginspirasi

Al-Muanawiyah – Siti Walidah adalah sosok perempuan tangguh yang namanya tercatat sebagai pendiri Aisyiyah, organisasi perempuan Islam terbesar di Indonesia. Beliau lahir di Yogyakarta pada tahun 1872, di lingkungan keluarga ulama terpandang. Sejak kecil, Siti Walidah tumbuh dalam suasana religius yang membentuk akhlaknya, meski pada masa itu kesempatan belajar formal bagi perempuan sangat terbatas.

Pendiri Aisyiyah sekaligus Istri KH. Ahmad Dahlan

Siti Walidah menikah dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Sejak itu, beliau aktif mendampingi perjuangan suaminya dalam menyebarkan dakwah Islam. Tidak hanya mendukung di balik layar, Siti Walidah juga ikut mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu agama kepada kaum perempuan. Semangat beliau untuk mengangkat derajat kaum muslimah membuat dakwah Kiai Ahmad Dahlan semakin luas dan berpengaruh.

foto Siti Walidah pendiri Aisyiyah dan istri dari KH Ahmad Dahlan
Siti Walidah, pendiri Aisyiyah

Lahirnya Aisyiyah

Pada tahun 1917, Siti Walidah mendirikan Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. Dari pengajian Sopo Tresno yang dipimpin Siti Walidah sejak 1914, lahirlah gerakan perempuan yang lebih terorganisir. Pada tahun 1917, pengajian ini berkembang menjadi organisasi Aisyiyah. Kehadiran Aisyiyah menjadi tonggak penting karena membuka ruang bagi kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam pembangunan umat. Melalui Aisyiyah, banyak sekolah perempuan didirikan, pengajian diselenggarakan, hingga program keterampilan digalakkan agar perempuan lebih mandiri dan berdaya.

Langkah ini tergolong berani pada masanya, sebab mayoritas masyarakat masih memandang peran perempuan terbatas hanya di rumah tangga. Namun berkat visi Siti Walidah, Aisyiyah tumbuh pesat dan kini menjadi salah satu organisasi perempuan Islam terbesar di dunia.

Baca juga: Sejarah Dewi Sartika, Perintis Pendidikan Perempuan

Dukungan terhadap Perjuangan Umat dan Bangsa

Setelah Ahmad Dahlan wafat pada 1923, Siti Walidah tetap aktif dalam Muhammadiyah dan Aisyiyah. Ia memastikan perjuangan suaminya tidak berhenti, bahkan makin meluas. Beliau bahkan ikut memimpin sidang-sidang Muhammadiyah pada masanya, sesuatu yang jarang dilakukan perempuan kala itu. Selain mendidik perempuan, Siti Walidah juga mendorong peran aktif mereka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau mengajak kaum muslimah untuk ikut serta mendukung perjuangan para pejuang dengan doa, pendidikan, dan kontribusi sosial.

Atas jasa dan perjuangannya, Siti Walidah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1971. Hingga kini, nama beliau tetap dikenang sebagai sosok inspiratif yang mengajarkan pentingnya pendidikan, kemandirian, dan dakwah bagi perempuan muslim. Kisah pendiri Aisyiyah ini semoga dapat menginspirasi kita untuk terus bergerak memberikan kontribusi bagi masyarakat luas.

Mohammad Natsir, Teladan Pejabat Pemerintahan yang Sederhana

Mohammad Natsir, Teladan Pejabat Pemerintahan yang Sederhana

Al-MuanawiyahDi tengah maraknya sorotan publik terhadap gaya hidup mewah sebagian pejabat hari ini, sejarah Indonesia pernah mencatat seorang pemimpin pemerintahan yang justru hidup dengan penuh kesederhanaan. Saat banyak pejabat modern menikmati fasilitas negara dengan kemewahan, sosok Mohammad Natsir tampil berbeda. Ia memimpin dengan hati, menolak kenyamanan berlebih, dan menunjukkan bahwa amanah kekuasaan bukanlah jalan untuk menumpuk harta. Sikap inilah yang membuat jejak perjuangannya tetap relevan untuk direnungkan hingga kini.

Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993), lahir di Solok, Sumatera Barat. Beliau sosok ulama, politisi, dan pejuang bangsa yang sangat dihormati. Ia merupakan salah satu inisiator dan pemimpin Partai Masyumi, tokoh Islam terkenal yang sempat menjabat sebagai Perdana Menteri kelima Indonesia. Mosi politiknya monumental, dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, yang menyatukan Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gambar Mohammad Natsir, Perdana Menteri Masa Presiden Soekarno yang tergabung dalam PRRI, Masyumi, dan pencetus Mosi Integral 1950
Mohammad Natsir, teladan kesederhanaan pejabat pemerintahan (foto: antaranews.com)

Dalam kariernya, Natsir juga pernah menjadi Menteri Penerangan. Pada 3 April 1950, gagasannya, disampaikan dalam sidang parlemen dan mendapat dukungan dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Berkat gagasan itu, beliau diangkat menjadi perdana menteri hingga 26 April 1951. Beliau mengundurkan diri akibat perbedaan pandangan dengan Presiden Soekarno, khususnya soal hubungan antara Islam dan negara serta kritik terhadap sekularisasi ala Ataturk.

Baca juga: Sejarah Buya Hamka: Sastrawan dan Tokoh Dakwah Inspiratif

Konsistensi, PRRI, dan Penjara

Setelah era kekuasaannya, Natsir lebih vokal dalam menyuarakan peran penting Islam di kehidupan berbangsa. Ia terlibat dalam PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)—suatu gerakan yang mendorong otonomi lebih besar daerah. Tetapi inisiasi tersebut dianggap pemberontakan oleh pemerintah. Karena itu, pada masa Demokrasi Terpimpin, Natsir dipenjara di Malang dari 1962 hingga 1964, sebelum akhirnya dibebaskan pada awal Orde Baru (1966).

Kesederhanaan Hidup

Sosok Natsir juga diingat sebagai figur yang sangat sederhana. Ia menolak menerima fasilitas mewah: mobil baru dan dana taktis sebagai Perdana Menteri. Dana yang tersisa bahkan disalurkan ke koperasi karyawan, sementara mobil mewah ditolaknya digantikan dengan mobil tua De Soto yang dibeli sendiri untuk keperluan keluarga. Gaya hidup seperti ini mencerminkan prinsip hidupnya sebagai pemimpin — amanah dan tak berubah karena jabatan.

Selain itu, Mohammad Natsir juga dikenal luas karena kesederhanaannya saat menjabat sebagai pejabat tinggi negara. Beliau kerap mengenakan jas bertambal dan sederhana, hingga membuat stafnya mengumpulkan uang untuk membelikannya pakaian baru. Saat mengundurkan diri dari jabatan PM, ia mengembalikan mobil dinas dan pulang bersama sopir dengan berboncengan sepeda, bukan mobil mewah.

Baca juga: KH Ahmad Dahlan: Perintis Pendidikan Modern di Indonesia

Kedekatan dengan Douwes Dekker & Intelektual Muslim

Natsir dikenal memiliki keakraban dengan tokoh pergerakan nasional Ernest Douwes Dekker. Keduanya kerap berdiskusi sambil bermain musik klasik. Dari persahabatan inilah, Dekker tertarik masuk Masyumi—saling bertukar gagasan tentang demokrasi dan keadilan yang sehaluan.

Setelah masa penahanan, Natsir kembali berkiprah di organisasi Islam internasional seperti Liga Muslim Dunia dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Pada tahun 1980, ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang menandatangani Petisi 50, yang mengkritik penyalahgunaan Pancasila oleh rezim Orde Baru, sehingga dilarang bepergian ke luar negeri.

Warisan dan Penghormatan

Natsir menulis sekitar 45 buku dan ratusan artikel sepanjang hidupnya, membahas topik Islam, budaya, politik, dan relasi antaragama. Ia memperoleh banyak penghargaan internasional, termasuk Faisal Award (1980), beberapa gelar doktor honoris causa, dan akhirnya diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 10 November 2008.

Mohammad Natsir wafat pada 6 Februari 1993 di Jakarta, namun semangat perjuangannya tetap abadi—menjadi teladan bagi pemimpin yang menggabungkan kecerdasan politik, integritas, dan akhlak mulia.

Peristiwa Penting Rabiul Awal dalam Sejarah Islam

oeristiwa penting Rabiul awal, lahirnya Nabi Muhammad, hijrah Nabi Muhammad, wafat Rasulullah. Gambar simbolis cinta Rasulullah dengan gambar bertuliskan Muhammad dan Al-Qur'am
Peristiwa penting di bulan Rabiul Awal

Bulan Rabiul Awal memiliki posisi istimewa dalam kalender Hijriyah. Umat Islam di seluruh dunia mengenalnya sebagai bulan yang penuh keberkahan. Banyak peristiwa penting Rabiul Awal yang menjadi bagian sejarah besar perjalanan Islam. Memahami sejarah ini bukan hanya menambah wawasan, tetapi juga menguatkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ dan perjuangan para sahabatnya. Berikut tiga peristiwa penting yang terjadi ketika bulan Rabiul Awal.

1. Kelahiran Nabi Muhammad ﷺ

Peristiwa paling agung di bulan Rabiul Awal adalah kelahiran Nabi Muhammad ﷺ pada 12 Rabiul Awal tahun Gajah (570 M). Kelahiran beliau membawa cahaya bagi umat manusia, menjadi awal dari perjalanan risalah Islam yang menuntun umat menuju kebenaran. Hari ini banyak diperingati sebagai Maulid Nabi, momen untuk memperkuat syukur dan meneladani akhlak beliau.

2. Hijrah Nabi ke Madinah

Selain kelahiran, salah satu peristiwa penting yang terjadi adalah hijrah Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Madinah. Setelah perjalanan penuh tantangan, beliau tiba di Madinah pada bulan ini. Peristiwa ini menjadi titik balik sejarah Islam, karena dari Madinah Islam berkembang pesat dan membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan berlandaskan tauhid.

3. Wafatnya Rasulullah ﷺ

Rabiul Awal juga menjadi saksi kesedihan umat Islam. Pada 12 Rabiul Awal tahun 11 H, Nabi Muhammad ﷺ wafat setelah menyempurnakan risalah. Peristiwa ini meninggalkan duka mendalam bagi para sahabat, namun sekaligus menjadi pelajaran penting bahwa risalah Islam akan terus hidup meskipun beliau sudah tiada. Umat Islam dituntut untuk menjaga sunnah dan melanjutkan perjuangan beliau.

Pelajaran dari Rabiul Awal

Dari peristiwa penting Rabiul Awal, umat Islam dapat mengambil banyak hikmah. Kelahiran Nabi mengingatkan kita untuk memperkuat kecintaan kepada beliau. Hijrah memberi inspirasi tentang perjuangan dan pengorbanan. Sedangkan wafatnya Nabi mengajarkan kita untuk istiqamah menjaga agama Allah. Semua itu menjadi bekal untuk memperbaiki diri, keluarga, dan masyarakat.

Bulan Rabiul Awal bukan sekadar bulan dalam kalender Hijriyah, tetapi bulan yang sarat makna. Dari kelahiran, hijrah, hingga wafatnya Rasulullah ﷺ, semua mengandung pesan penting untuk kehidupan umat Islam. Dengan memahami peristiwa penting tersebut, kita semakin terdorong untuk meneladani akhlak Nabi dan berkontribusi membangun peradaban Islam yang mulia.

almuanawiyah.com

Sejarah Wakaf Pertama dalam Islam di Masjid Quba

Sejarah Wakaf Pertama dalam Islam di Masjid Quba

Wakaf adalah salah satu amal jariyah yang manfaatnya tidak terputus meskipun pewakaf telah meninggal dunia. Dalam sejarah wakaf, tercatat bahwa praktik pertama kali dilakukan pada masa Rasulullah ﷺ. Wakaf tersebut terwujud dalam pembangunan Masjid Quba, masjid pertama yang didirikan setelah hijrah ke Madinah.

Asal Mula Wakaf di Masjid Quba

Setibanya di Madinah pada tahun 622 M, Rasulullah ﷺ bersama kaum Muslimin segera membangun masjid sebagai pusat ibadah dan aktivitas sosial. Tanah yang dipakai untuk masjid tersebut berasal dari wakaf kaum Anshar, yang dengan ikhlas menyerahkan lahannya demi kepentingan umat. Rasulullah ﷺ turut serta membangun masjid dengan tangan beliau sendiri, dibantu para sahabat yang bahu membahu menata batu dan batang kurma sebagai dinding dan tiang.

Sebagai bangunan hasil wakaf, Masjid Quba difungsikan bukan hanya sebagai tempat shalat. Di sana berlangsung pula kegiatan pendidikan, musyawarah, dan persatuan umat. Wakaf pertama ini menjadi tonggak sejarah bahwa Islam tidak hanya mengajarkan ibadah ritual, tetapi juga kepedulian sosial dan kebersamaan.

sejarah wakaf pertama Islam di Masjid Quba Madinah, wakaf pendidikan membangun umat, hijrah Nabi Muhammad
Sejarah wakaf pertama di Masjid Quba

Pentingnya Meneladani Wakaf Pertama

Sejarah wakaf di Masjid Quba mengajarkan bahwa amal kebaikan yang ditujukan untuk kepentingan umum akan terus mengalir pahalanya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian mendatangi Masjid Quba lalu shalat dua rakaat, maka baginya seperti pahala umrah.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menunjukkan keutamaan masjid wakaf pertama dalam Islam.

Dari kisah ini, umat Islam dapat mengambil teladan bahwa wakaf adalah sarana untuk memperkuat kehidupan sosial dan ibadah. Hingga kini, tradisi wakaf terus berkembang menjadi pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pembangunan ekonomi umat. Semangat yang lahir dari Masjid Quba tetap relevan untuk kehidupan modern, karena manfaatnya melampaui batas waktu dan generasi.

Sejarah wakaf pertama di Masjid Quba menunjukkan bahwa wakaf adalah amal yang lahir dari keikhlasan dan semangat kebersamaan. Rasulullah ﷺ dan para sahabat telah memberi contoh bahwa wakaf mampu membangun peradaban Islam sejak awal. Dengan meneladani kisah ini, umat Islam di era sekarang dapat melanjutkan tradisi kebaikan melalui wakaf yang ditujukan untuk kemaslahatan bersama. Mari berkontribusi dalam membangun peradaban Qur’ani melalui wakaf Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah Jombang.

KH Ahmad Dahlan: Perintis Pendidikan Modern di Indonesia

KH Ahmad Dahlan: Perintis Pendidikan Modern di Indonesia

KH Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaharu Islam yang meninggalkan jejak penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Beliau lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868 dan dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam yang fokus pada dakwah dan pendidikan. Pemikirannya yang progresif membuat sistem pendidikan Islam menjadi lebih relevan dengan perkembangan zaman.

KH Ahmad Dahlan, yang memiliki nama kecil Muhammad Darwis, berasal dari keluarga ulama yang taat beragama. Ayahnya, KH Abu Bakar bin Kiai Sulaiman, adalah seorang khatib di Masjid Agung Yogyakarta. Sedangkan ibunya, Siti Aminah, berasal dari keluarga yang juga mendalami ilmu agama. Lingkungan keluarga yang terbuka terhadap diskusi keagamaan membentuk kecerdasan kritis beliau sejak muda. Pendidikan awal diperoleh dari ayahnya, kemudian dilanjutkan di berbagai pesantren di Jawa. Pada usia 15 tahun, beliau menunaikan ibadah haji dan menetap di Mekkah selama lima tahun untuk memperdalam ilmu agama. Di sana, KH Ahmad Dahlan berinteraksi dengan ulama dari berbagai negara dan mempelajari pemikiran pembaruan Islam yang berkembang di dunia Muslim. Pengalaman inilah yang menumbuhkan kemampuannya menimbang tradisi dengan nalar kritis, sehingga kelak mampu merumuskan gagasan pendidikan Islam yang relevan dengan tantangan zaman.

foto KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah
KH Ahmad Dahlan

Pada awal abad ke-20, KH Ahmad Dahlan melihat keterbatasan sistem pendidikan tradisional yang hanya mengajarkan ilmu agama tanpa keterampilan praktis. Beliau memandang penting menggabungkan ilmu agama dengan pengetahuan umum agar umat Islam mampu bersaing di era modern. Pandangan ini menginspirasi pendirian Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Yogyakarta.

Baca juga: Sejarah KH Hasyim Asy’ari dan Jejak Perjuangannya di Jombang

Lahirnya Organisasi Pendidikan Muhammadiyah

Muhammadiyah berdiri sebagai gerakan pembaruan yang memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum. KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan Al-Qur’an, hadits, bahasa Arab, serta ilmu pengetahuan modern seperti matematika, sejarah, dan ilmu alam. Langkah ini tergolong revolusioner pada masanya, karena mampu mematahkan pandangan bahwa pendidikan Islam harus terpisah dari ilmu duniawi. Istrinya, Siti Walidah, juga turut membersamai sepak terjang dakwah beliau dengan mendirikan organisasi perempuan Muhammadiyah bernama ‘Aisyiyah.

Selain itu, sistem pendidikan Muhammadiyah juga menekankan kedisiplinan, kebersihan, dan keteraturan administrasi sekolah. KH Ahmad Dahlan mengadopsi metode pengajaran yang lebih interaktif dibandingkan sistem pesantren tradisional pada masa itu. Hasilnya, lulusan sekolah Muhammadiyah tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengabdi kepada masyarakat.

Baca juga: Sejarah HOS Tjokroaminoto dan Perannya dalam Dakwah Islam

 

Warisan Pendidikan KH Ahmad Dahlan yang Terus Hidup

Kini, Muhammadiyah telah berkembang menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Ribuan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan panti asuhan menjadi bukti nyata keberlanjutan visi beliau. Prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang beliau pegang teguh menjadi landasan seluruh kegiatan organisasi ini.

Perjuangan beliau membuktikan bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan umat. Dengan memadukan nilai-nilai Islam dan ilmu pengetahuan, beliau berhasil membangun fondasi kuat bagi generasi penerus. Semangat pembaruan ini menjadi teladan agar pendidikan selalu relevan menghadapi tantangan zaman.

Sejarah Shalat: Perjalanan Agung yang Penuh Hikmah

Sejarah Shalat: Perjalanan Agung yang Penuh Hikmah

Sejarah shalat memiliki kedudukan istimewa dalam ajaran Islam. Ibadah ini tidak disampaikan melalui perantara malaikat seperti syariat lainnya. Perintah shalat diberikan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ saat peristiwa Isra’ Mi’raj. Perjalanan agung tersebut terjadi pada masa dakwah di Makkah, tepatnya setelah Nabi mengalami kesedihan mendalam akibat wafatnya Abu Thalib dan Khadijah.

 

Perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjid Al Aqsa

Isra’ dimulai ketika Nabi dibawa dari Masjidil Haram menuju Masjid Al Aqsa. Peristiwa ini diabadikan Allah dalam firman-Nya, QS. Al Isra’ ayat 1

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ۝١

Artinya: “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

sejarah shalat masjid al aqsa peristiwa isra' mi'raj, turunnya perintah shalat
Masjidil Aqsa, tempat bermulanya sejarah shalat

Perjalanan Mi’raj dari Masjid Al Aqsa ke Langit

Dari sana, beliau naik ke langit dalam peristiwa Mi’raj. Di setiap tingkatan langit, Nabi bertemu dengan para nabi terdahulu. Nabi Adam, Isa, Yahya, Yusuf, Idris, Harun, Musa, hingga Ibrahim menyambut beliau dengan penuh penghormatan. Pertemuan itu menjadi simbol bahwa risalah Nabi Muhammad ﷺ adalah kelanjutan dari risalah para nabi sebelumnya.

Baca juga: Manfaat Rukuk Shalat untuk Kesehatan dan Jiwa

Sesampainya di Sidratul Muntaha, Nabi menerima perintah awal untuk melaksanakan shalat lima puluh waktu sehari. Saat kembali, Nabi Musa menasihati agar meminta keringanan kepada Allah. Dengan penuh kasih, Allah mengurangi jumlahnya hingga menjadi lima waktu sehari. Meski jumlahnya berkurang, pahalanya tetap setara lima puluh waktu.

Shalat menjadi tiang agama dan sarana mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah ini mengajarkan kedisiplinan waktu, kekhusyukan hati, dan kebersihan jiwa. Perintahnya yang disampaikan langsung kepada Nabi menunjukkan betapa pentingnya kedudukan shalat dibanding ibadah lainnya.

Hingga kini, sejarah shalat menjadi pengingat bahwa ibadah ini adalah anugerah besar. Setiap rakaat yang kita lakukan bukan sekadar rutinitas, melainkan warisan dari peristiwa agung yang menghubungkan bumi dan langit. Menghayati sejarah shalat membantu kita menjalankannya dengan kondisi mental health yang baik dan penuh syukur. Dengan begitu, shalat benar-benar menjadi cahaya dalam kehidupan sehari-hari.

Sejarah HOS Tjokroaminoto dan Perannya dalam Dakwah Islam

Sejarah HOS Tjokroaminoto dan Perannya dalam Dakwah Islam

Sejarah HOS Tjokroaminoto mencatat peran penting seorang tokoh Muslim besar yang bukan hanya dikenal sebagai pemimpin Sarekat Islam, tetapi juga sebagai pendakwah dan pendidik yang membentuk arah perjuangan kemerdekaan Indonesia dari sisi keagamaan.

Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto lahir di Ponorogo pada tahun 1882. Ia dikenal sebagai “Raja Tanpa Mahkota” karena pengaruhnya yang begitu besar dalam membangkitkan kesadaran politik dan spiritual umat Islam Indonesia saat itu. Melalui Sarekat Islam, beliau menyebarkan dakwah Islam dengan cara yang sistematis, menyentuh akar persoalan umat, dan merangkul berbagai kalangan.

Foto HOS Djokroaminoto pahlawan nasional Indonesia
HOS Tjokroaminoto (foto: wikipedia.com)

Menjadikan Sarekat Islam Sebagai Sarana Dakwah dan Politik

Pada awalnya, Sarekat Islam adalah organisasi ekonomi yang membantu para pedagang Muslim bersaing dengan pengusaha Tionghoa. Namun, berikutnya, di tangan HOS Tjokroaminoto, organisasi ini berkembang menjadi gerakan dakwah dan politik yang menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial.

Ia menyampaikan bahwa Islam tidak hanya berbicara tentang ibadah ritual, tetapi juga tentang keadilan sosial, pendidikan, dan kemerdekaan. Contohnya, melalui tulisan-tulisannya di media seperti Oetoesan Hindia, beliau menyampaikan pentingnya umat Islam bangkit melalui ilmu, akhlak, dan solidaritas.

Baca juga: Sejarah Buya Hamka: Sastrawan dan Tokoh Dakwah Inspiratif

Mendidik Kader Pemimpin dari Berbagai Latar Belakang

Sejarah HOS Tjokroaminoto juga tidak bisa dilepaskan dari kontribusinya dalam mendidik para pemuda yang kelak menjadi tokoh penting Indonesia. Rumahnya di Surabaya menjadi tempat tinggal dan belajar bagi tokoh seperti Soekarno, Semaoen, Muso, dan Kartosuwiryo.

Mereka berasal dari latar ideologi berbeda, tetapi semua belajar nilai tanggung jawab dan cinta tanah air dari beliau. Tjokroaminoto mengajarkan bahwa pemimpin sejati adalah yang berakhlak, cerdas, dan membela umat.

Membangkitkan Kesadaran Umat dari Aspek Ekonomi dan Akhlak

Selanjutnya, beliau sangat menekankan bahwa kebangkitan umat Islam harus dimulai dari akhlak yang baik dan kemandirian ekonomi. Menurutnya, penjajahan bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Maka umat Islam harus dibangkitkan dengan ilmu, kerja keras, dan sikap tawakkal.

Tjokroaminoto menyerukan pentingnya tauhid sebagai pondasi perjuangan. Bukan semata melawan penjajah, tapi juga melawan kebodohan dan kesenjangan di tengah umat.

Menyatukan Nasionalisme dan Islam

Yang tak kalah penting, sejarah HOS Tjokroaminoto menunjukkan bahwa beliau mampu menjembatani nasionalisme dan Islam. Ia percaya bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman, dan bahwa perjuangan kemerdekaan bisa sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Pandangannya ini menjadi dasar perjuangan generasi berikutnya yang tidak membenturkan antara agama dan kebangsaan.

“Kalau kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.” — HOS Tjokroaminoto

Melalui pemikiran dan perjuangannya, HOS Tjokroaminoto telah mewariskan semangat juang yang relevan hingga kini—khususnya dalam membangun umat melalui dakwah dan pendidikan. Sosoknya menjadi inspirasi bagi generasi Muslim muda untuk terus belajar, berdakwah, dan berkontribusi untuk negeri dengan akhlak dan visi yang jelas.

Referensi: