Sejarah hadrah berakar pada lingkungan tasawuf abad ke-9 hingga 12 M, ketika majelis dzikir mulai tumbuh secara terstruktur di wilayah Timur Tengah. Istilah hadrah berasal dari kata ḥaḍrah (حضرة) yang berarti “kehadiran”—merujuk pada kehadiran hati di hadapan Allah ketika berdzikir.
Bentuk awal hadrah muncul dalam tarekat Qadiriyah, Shadhiliyah, Naqsyabandiyah, dan Ba’Alawiyah. Di antara pusat-pusat yang pertama kali mempraktikkan dzikir berjamaah dengan ritme rebana adalah:
-
Iraq (Baghdad): Pengaruh besar berasal dari majelis dzikir yang diasuh murid-murid Syaikh Abdul Qodir Jaelani (w. 1166 M), pendiri Tarekat Qadiriyah. Dzikir berjamaah mereka menjadi inspirasi bagi banyak tariqah setelahnya.
-
Yaman (Hadhramaut): Ulama Ba’Alawiyin mengembangkan bentuk dzikir dan shalawat dengan iringan rebana sederhana, yang kemudian menjadi cikal-bakal hadrah yang dikenal di Nusantara.
-
Mesir dan Syam: Pada abad ke-12–13 M, tradisi maulid dan qasidah tumbuh di kalangan sufi. Qasidah karya Imam al-Bushiri (al-Burdah) juga menguatkan tradisi seni dzikir musikal.
Pada masa ini, hadrah belum menjadi “penampilan seni”, tetapi ritual dzikir kolektif untuk memperkuat spiritualitas.

Proses Persebaran Hadrah ke Berbagai Kawasan Dunia Islam
Setelah mapan di Timur Tengah, hadrah menyebar pada abad ke-13–16 M melalui jalur dakwah dan perdagangan. Beberapa jalur pentingnya:
1. Jalur Yaman – Afrika Timur (abad 14–15 M)
Ulama Hadhramaut bermigrasi ke Somalia, Kenya, Zanzibar, dan Tanzania. Mereka membawa tradisi dzikir dan qasidah yang kemudian melahirkan bentuk hadrah Afrika Timur seperti dzikir Lamu atau hadra sufi Swahili.
2. Jalur Yaman – India – Asia Tenggara (abad 15–16 M)
Inilah jalur yang paling berpengaruh bagi Indonesia. Para dai Arab—khususnya marga Ba’Alawi—berlayar ke Gujarat, Malabar (India), kemudian menetap di Nusantara. Mereka memperkenalkan:
-
shalawat berirama,
-
dzikir berjamaah,
-
penggunaan rebana,
-
pembacaan maulid (Barzanji dan Simthud Durar).
Dari sinilah bentuk hadrah lokal mulai tercipta.
3. Jalur Seniman Muslim Turki (abad 16–17 M)
Bersamaan dengan ekspansi Ottoman, seni kawih, nasyid, dan ritme drum sufi Turki mempengaruhi beberapa daerah Syam dan Afrika Utara.
Persebaran ini menunjukkan bahwa hadrah bukan seni lokal, tetapi warisan lintas peradaban Islam.
Sejarah Hadrah Masuk ke Nusantara
Hadrah diperkirakan tiba di Nusantara pada awal abad ke-16, dibawa oleh ulama Arab-Yaman dan pedagang Gujarat Muslim. Ada tiga tokoh penting dalam penyebarannya:
1. Para Wali Songo (abad ke-15–16)
Meski tidak mengembangkan hadrah secara formal seperti sekarang, Wali Songo—khususnya Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang—mendorong seni dakwah berbasis musik, rebana, tembang, dan syair. Ini menciptakan kultur yang mudah menerima tradisi hadrah.
2. Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (w. 1913 M)
Penulis Simthud Durar, maulid yang kemudian menjadi bacaan inti dalam hadrah di Jawa dan Madura. Karya ini sangat populer dalam tradisi hadrah pesantren.
3. Ulama Ba’Alawi yang berdakwah di Nusantara (abad 17–20)
Termasuk Habib Umar bin Segaf, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, dan keturunan mereka yang membuka ribuan majelis di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Hadrah modern yang dikenal di pesantren Jawa (hadrah bass, hadrah terbang, hadrah al-Banjari) banyak berkembang pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Perkembangan Hadrah di Pesantren Indonesia
Di pesantren, hadrah berkembang menjadi:
-
Hadrah al-Banjari
Menggunakan terbang besar, ritme cepat, synergy vocal yang padat. Populer di Kalimantan Selatan lalu menyebar ke Jawa. -
Hadrah Rebana Tradisional
Berisi syair Barzanji, Simthud Durar, dan shalawat. -
Hadrah Modern / Habsyi style
Menggabungkan bass, tam-tam, dan format vokal berlapis.
Selain menjadi media dakwah, hadrah juga membentuk:
-
kedisiplinan,
-
kekompakan,
-
kepekaan ritmis,
-
dan cinta Rasulullah ﷺ.
Tidak heran, hampir semua pesantren besar memiliki grup hadrah resmi.
Melihat perjalanan panjang sejarah hadrah, kita dapat menyimpulkan bahwa:
-
Hadrah berasal dari tradisi dzikir sufi abad ke-9–12 M di Baghdad, Yaman, dan Mesir.
-
Menyebar melalui jalur dakwah dan perdagangan hingga Afrika Timur, India, dan Asia Tenggara.
-
Masuk ke Indonesia pada abad ke-16 melalui ulama Yaman dan Gujarat.
-
Diperkuat oleh karya-karya ulama seperti Habib Ali al-Habsyi dan para dai Ba’Alawi.
-
Berkembang pesat dalam budaya pesantren hingga menjadi seni dakwah Nusantara yang dicintai berbagai generasi.
Hadrah bukan sekadar musik religi—ia adalah warisan peradaban Islam yang menyatukan spirit dzikir, cinta Rasul, dan budaya lokal.







