Sedekah Abu Bakar dan Umar di Perang Tabuk

Sedekah Abu Bakar dan Umar di Perang Tabuk

Dalam sejarah Islam, banyak kisah inspiratif tentang keikhlasan sahabat Nabi ﷺ dalam berinfak di jalan Allah. Salah satunya adalah peristiwa yang terjadi menjelang Perang Tabuk, ketika Rasulullah ﷺ menyeru kaum muslimin untuk bersedekah demi mendukung perjuangan. Pada saat itulah tercatat kisah mulia tentang sedekah Abu Bakar dan Umar.

sedekah harta rampasan perang, harta karun. kisah sedekah Umar bin Khattab dan Abu Bakar di Perang Tabuk
Ilustrasi sedekah harta perang Sayyidina Umar dan Abu Bakar (gambar hanya ilustrasi. foto: freepik)

 

Kisah Sedekah Abu Bakar dan Umar

Ketika Rasulullah ﷺ mengajak para sahabat untuk memberikan harta mereka, Umar bin Khattab r.a. datang dengan membawa setengah dari hartanya. Rasulullah ﷺ kemudian bertanya, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Umar?” Umar menjawab, “Aku tinggalkan sebanyak yang kubawa.”

Tak lama kemudian, Abu Bakar r.a. pun datang dengan membawa seluruh hartanya. Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar?” Ia menjawab, “Aku tinggalkan Allah dan Rasul-Nya.”

Kedua sahabat mulia ini memperlihatkan bagaimana kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya mampu mendorong mereka untuk bersedekah dengan penuh keikhlasan.

Pondok Quran Almuanawiyah Jombang

Sedekah Melipatgandakan Kebaikan

Allah berfirman:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 261).

Allah ﷻ dalam surah Al-Baqarah ayat 261 menjelaskan bahwa sedekah ibarat menanam sebutir biji yang tumbuh menjadi tujuh bulir, dan setiap bulir berisi seratus biji. Artinya, satu amal kebaikan bisa dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih sesuai kehendak Allah.

Ayat ini memberi isyarat bahwa harta yang kita keluarkan tidak akan hilang, melainkan justru berkembang menjadi pahala yang berlipat ganda. Sama seperti benih yang ditanam di tanah subur, ia akan tumbuh dan memberi hasil yang berlimpah. Maka, sedekah tidak mengurangi harta, tetapi menambah keberkahan hidup di dunia dan akhirat.

Baca juga: Cerita Teladan Sedekah dari Ummu Umarah

Kisah sedekah Abu Bakar dan Umar dalam Perang Tabuk menjadi teladan bagi umat Islam untuk senantiasa berinfak di jalan Allah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Semangat mereka adalah cermin bahwa harta yang kita miliki sesungguhnya hanyalah titipan, dan pengorbanan di jalan Allah akan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda.

Mari kita lanjutkan semangat kedermawanan para sahabat dengan mendukung pendidikan Islam. Melalui program Wakaf Pendidikan Al Muanawiyah, setiap rupiah yang kita sisihkan akan menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir. Bergabunglah bersama para pewakaf, insyaAllah menjadi bekal terbaik menuju akhirat.

Pengertian dan Syarat Nazar dalam Islam

nazar nadzar janji melakukan suatu ibadah dalam Islam karena ingin mendapatkan sesuatu
Pengertian dan syarat nazar dalam Islam (foto: freepik)

Nazar adalah salah satu bentuk ibadah yang memiliki kedudukan khusus dalam ajaran Islam. Banyak umat Muslim yang bertanya-tanya tentang pengertian dan syarat nazar, terutama karena praktik ini sering dilakukan sebagai bentuk janji kepada Allah SWT. Artikel ini akan membahas definisi, hukum, serta syarat-syarat nazar berdasarkan keterangan para ulama.

Pengertian Nazar dalam Islam

Secara bahasa, nazar berarti janji, baik janji melakukan kebaikan maupun keburukan. Namun menurut istilah syariat, nazar adalah komitmen seorang Muslim untuk melakukan ibadah tertentu sebagai bentuk pendekatan diri (qurbah) kepada Allah SWT.

Dalam kitab al-Yaqut an-Nafis, Sayyid Ahmad bin ‘Umar As-Syatiri menjelaskan bahwa nazar hanya sah bila terkait dengan ibadah sunnah atau fardhu kifayah. Sedangkan nazar yang berkaitan dengan hal wajib seperti shalat lima waktu, atau hal makruh, haram, maupun mubah, tidak sah dilakukan.

Para ulama juga membedakan bentuk nazar. Ada nazar tabarrur, yaitu janji ibadah murni karena Allah, dan ada nazar mu’allaq, yaitu janji ibadah yang digantungkan pada tercapainya suatu harapan, misalnya sembuh dari sakit atau sukses dalam ujian.

Syarat Nazar yang Sah

Dalam pembahasan fikih, ada beberapa syarat yang menjadikan nazar sah menurut syariat Islam:

  1. Pelaku nazar adalah Muslim, mukallaf, dan rasyid (berakal dan mampu bertanggung jawab).

  2. Isi nazar berupa ibadah sunnah atau fardhu kifayah, bukan ibadah wajib fardhu ‘ain, bukan maksiat, dan bukan hal mubah.

  3. Nazar harus diucapkan dengan lafadz yang jelas, bukan sekadar niat dalam hati. Sebagaimana ditegaskan dalam al-Muhadzab karya Abu Ishaq as-Syairazi: “Nazar tidak sah kecuali dengan ucapan.”

  4. Lafadz nazar harus mengandung kepastian, bukan keraguan. Misalnya, “Saya bernazar akan berpuasa Senin depan,” bukan “Mungkin saya akan puasa.”

  5. Kewajiban mengikuti sesuai isi nazar. Jika yang dinazarkan umum, cukup dilaksanakan dalam bentuk minimal yang sudah memenuhi makna ibadah. Namun bila yang dinazarkan khusus, maka wajib dipenuhi sesuai detail yang diucapkan.

Dampak Nazar dalam Ibadah

Salah satu ketentuan penting dari nazar adalah berubahnya hukum ibadah. Sesuatu yang asalnya sunnah akan menjadi wajib bagi orang yang bernazar. Misalnya, bersedekah kepada fakir miskin pada dasarnya sunnah, tetapi jika dinazarkan maka menjadi kewajiban pribadi.

Sebaliknya, jika seseorang tidak mampu menunaikan nazarnya, maka ia wajib membayar kafarat, sebagaimana dalam hukum sumpah. Kafarat tersebut bisa berupa memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian, atau berpuasa tiga hari bila tidak mampu.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dan syarat nazar adalah janji seorang hamba untuk menunaikan ibadah sunnah atau fardhu kifayah yang sah menurut syariat, dengan syarat pelaku berakal, Muslim, serta melafadzkan nazar dengan jelas. Nazar tidak boleh berkaitan dengan maksiat, hal mubah, atau ibadah wajib.

Dengan memahami ketentuan ini, umat Muslim diharapkan lebih berhati-hati dalam mengucapkan nazar. Sebab, apa yang awalnya sunnah bisa berubah menjadi kewajiban yang harus ditunaikan di hadapan Allah SWT.

Referensi

almuanawiyah.com

Sa’ad bin Ubadah yang Terkenal Karena Kedermawanannya

jamuan makan tamu, buka bersama, iftar together, makan bersama keluarga
Ilustrasi kedermawanan Sa’ad bi Ubadah saat menjamu tamu (foto: freepik)

Sa’ad bin Ubadah atau Abu Tsabit adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang dikenal luas karena kedermawanannya. Beliau berasal dari kaum Anshar, tepatnya dari Bani Khazraj, dan menjadi pemimpin yang disegani di Madinah. Nama lengkapnya adalah Sa’ad bin Ubadah bin Dulaim bin Haritsah Al-Khazraji. Sejak masuk Islam, Sa’ad selalu menggunakan harta, tenaga, dan ilmunya untuk mendukung perjuangan Rasulullah ﷺ.

Sa’ad bin Ubadah dan Kedermawanannya

Setiap hari, Sa’ad membawa semangkuk besar tsarid (roti yang diremukkan lalu dicampur dengan kuah daging) kepada Rasulullah ﷺ. Hidangan itu kemudian dibagikan bersama Nabi kepada para istri beliau. Kebiasaan ini menunjukkan betapa besar kepedulian Sa’ad kepada Rasulullah dan keluarganya.

Kedermawanannya begitu terkenal hingga rumah Sa’ad selalu menjadi tempat persinggahan kaum Muhajirin. Jika rumah seorang Anshar biasanya hanya menampung beberapa tamu, maka rumah Sa’ad bisa menampung hingga 80 orang Muhajirin sekaligus, dan semuanya mendapatkan jamuan terbaik. Hal ini membuktikan bahwa Sa’ad tidak sekadar membantu dengan harta, tetapi juga dengan hati yang ikhlas.

Rasulullah ﷺ bahkan mendoakan khusus untuk keluarga Sa’ad dengan doa:

اللَّهُمَّ اجعَلْ صلَواتِكَ ورَحمتَكَ على آلِ سعد بنِ عُبادَةَ
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan rahmat-Mu kepada keluarga Sa’ad bin Ubadah.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Baca juga cerita teladan kedermawanan putri Sayyidina Abu Bakar di sini

Kepribadian

Selain dermawan, Sa’ad juga dikenal sebagai pribadi yang ghayyur (pencemburu dalam kebaikan). Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ سَعْدًا غَيُورٌ ، وَأَنَا غَيُورٌ ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي
“Sa’ad itu pencemburu, aku lebih pencemburu darinya, dan Allah lebih pencemburu dariku.” (HR Muslim).

Ia juga seorang yang cerdas, pandai menulis, mahir berenang, dan jago memanah. Karena keunggulannya ini, ia diberi gelar al-kamil (yang sempurna). Dalam peperangan, Rasulullah ﷺ selalu memberi baiat bahwa Sa’ad akan berjuang sampai titik darah penghabisan.

Warisan Teladan

Kedermawanannya bukan hanya tentang berbagi makanan, tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya mendukung perjuangan Islam dengan segala yang dimiliki. Beliau memberikan teladan bahwa harta menjadi mulia ketika digunakan untuk menolong agama Allah dan menyejahterakan sesama.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa kedermawanan adalah amalan yang abadi, tidak hanya menolong sesama di dunia tetapi juga menjadi tabungan di akhirat. Semangat beliau dalam memberi dan mendukung perjuangan Rasulullah ﷺ bisa kita teladani dengan cara berbagi sesuai kemampuan kita.

Salah satu bentuk nyata adalah mendukung wakaf pendidikan di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah Jombang. Dengan berpartisipasi, kita ikut mencetak generasi Qur’ani yang cerdas, berakhlak, dan siap menjadi pejuang Islam di masa depan. Mari meneladani kedermawanan Sa’ad bin Ubadah dengan menyalurkan harta di jalan Allah.

Referensi Amalan Saad bin Ubadah yang Memicu Doa Rasulullah SAW | Republika Online

Cerita Teladan Sedekah dari Ummu Umarah

Cerita Teladan Sedekah dari Ummu Umarah

Dalam sejarah Islam, banyak sekali kisah para sahabat yang bisa menjadi inspirasi. Salah satunya adalah cerita teladan sedekah dari seorang wanita mulia bernama Ummu Umarah, atau dikenal juga dengan Nusaibah binti Ka’ab. Beliau adalah sosok sahabiyah yang tidak hanya dikenal karena keberaniannya di medan perang, tetapi juga karena keikhlasannya dalam beribadah, beramal, dan bersedekah.

Siapa Ummu Umarah?

Nusaibah binti Ka’ab (Arab: نسيبة بنت كعب), yang lebih dikenal dengan nama Ummu Umarah, merupakan salah satu perempuan awal yang masuk Islam dan tercatat memiliki peran besar dalam perjuangan Islam. Ia turut serta dalam berbagai pertempuran, salah satunya Perang Uhud, di mana beliau dengan penuh keberanian melindungi Rasulullah SAW hingga mengalami 12 luka. Selain itu, Ummu Umarah juga hadir dalam sejumlah peristiwa penting seperti Baiat Aqabah kedua, Perjanjian Hudaibiyah, Perang Hunain, serta Perang Yamamah (wikipedia).  Namun, selain keberaniannya, ada sisi lembut yang patut diteladani, yaitu kedermawanannya dalam bersedekah.

cerita teladan sedekah ummu umarah nusaibah binti ka'ab. Muslimah yang mengenakan hijab tertutup dan pakaian perang, ilustrasi Ummum Umarah dalam Perang Uhud
Ilustrasi Ummu Umarah cerita teladan sedekah dalam Perang Uhud (foto: republika.co.id)

Teladan Sedekah Ummu Umarah

Dalam sebuah riwayat, Ummu Umarah pernah memberikan sebagian besar harta miliknya untuk perjuangan Islam. Beliau tidak pernah ragu untuk menginfakkan apa yang dimiliki, meskipun dirinya sendiri tidak bergelimang harta. Hal ini menunjukkan bahwa sedekah bukan hanya milik orang kaya, tetapi juga bisa dilakukan oleh siapa saja yang hatinya ikhlas.

Cerita teladan sedekah dari Ummu Umarah mengajarkan bahwa berbagi itu tidak menunggu kaya. Dengan niat tulus, sedikit yang diberikan akan bernilai besar di sisi Allah SWT. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pernah menyanjung keikhlasan para sahabat perempuan yang ikut mendukung dakwah dengan sedekah mereka.

Hikmah dan Pelajaran

Ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari kisah ini:

  1. Sedekah sebagai bukti cinta kepada Allah dan Rasul. Ummu Umarah rela berkorban harta bahkan nyawa demi mempertahankan agama Islam.

  2. Sedekah tidak mengurangi harta. Justru, keberkahan datang dari harta yang dikeluarkan di jalan Allah.

  3. Ikhlas lebih utama daripada jumlah. Sedikit sedekah dengan hati yang ikhlas akan lebih bernilai dibandingkan sedekah besar tanpa keikhlasan.

  4. Wanita juga berperan dalam perjuangan Islam. Kisah Ummu Umarah menunjukkan bahwa kontribusi perempuan tidak hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam dakwah dan amal sosial.

Melalui cerita teladan sedekah dari Ummu Umarah, kita belajar bahwa sedekah adalah jalan menuju keberkahan hidup. Sedekah harta yang kita keluarkan di jalan Allah tidak akan sia-sia, bahkan menjadi tabungan abadi di akhirat. Sudah seharusnya kita meneladani semangat beliau untuk senantiasa berbagi, meskipun dalam keadaan terbatas.

Mari kita mulai dari hal kecil, bersedekah sesuai kemampuan, dan istiqamah dalam berbagi. Dengan begitu, kita tidak hanya membantu sesama, tetapi juga menapaki jalan menuju ridha Allah SWT. Salurkan sedekah terbaik Anda agar dapat mengalirkan manfaat yang lebih luas untuk para penghafal Al-Qur’an di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah Jombang.

Zakat Fitrah: Penjelasan, Dalil, dan Syarat-Syaratnya

Zakat Fitrah: Penjelasan, Dalil, dan Syarat-Syaratnya

Penjelasan Zakat Fitrah

Zakat fitrah yang wajib dikeluarkan oleh setiap Muslim menjelang Idul Fitri. Zakat ini menjadi bentuk penyucian diri setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan. Selain itu, juga berfungsi sebagai sarana kepedulian sosial agar semua orang, terutama fakir miskin, bisa ikut merasakan kebahagiaan di hari raya.

Besarannya yang wajib dikeluarkan adalah satu sha’ makanan pokok, yang jika dikonversi setara dengan sekitar 2,5–3 kilogram beras di Indonesia. Saat ini, sebagian masyarakat juga menunaikannya dalam bentuk uang dengan nilai yang setara dengan harga beras di daerah masing-masing.

gambar tangan memegang kantung kecil berisi beras menggambarkan zakat fitrah
Ilustrasi zakat fitrah

Dalil

Kewajibannya memiliki dasar yang kuat dari hadis Rasulullah ﷺ. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

“Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas setiap Muslim, baik budak maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk shalat Id.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa ini bersifat wajib bagi semua Muslim, tanpa terkecuali, dan waktu terbaik menunaikannya adalah sebelum shalat Idul Fitri.

Baca juga: Perbedaan Zakat Fitrah dan Zakat Mal yang Perlu Diketahui

Syarat-Syarat

Agar sah dan diterima, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam menunaikannya:

  1. Beragama Islam
    Hanya diwajibkan kepada orang Islam. Non-Muslim tidak memiliki kewajiban zakat.

  2. Masih Hidup pada Malam Idulfitri
    Orang yang hidup pada malam terakhir Ramadan hingga terbenam matahari wajib menunaikan.

  3. Mampu Secara Ekonomi
    Seseorang yang memiliki kelebihan harta untuk kebutuhan sehari-hari pada malam dan hari raya Idulfitri wajib menunaikan zakat.

  4. Dikeluarkan Tepat Waktu
    Waktu pelaksanaannya adalah mulai sejak awal Ramadan, namun paling utama dilakukan pada malam hingga sebelum shalat Idulfitri. Jika ditunaikan setelah shalat Id, maka hukumnya hanya sebagai sedekah biasa.

  5. Bentuk Zakat
    Ditunaikan dengan makanan pokok seperti beras, gandum, atau kurma. Dalam praktik modern, boleh diganti dengan uang seharga makanan pokok tersebut sesuai keputusan ulama dan kebutuhan umat.

Niat Zakat Fitrah

1. Niat untuk Diri Sendiri

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَن نَفْسِيْ فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu an ukhrija zakātal-fithri ‘an nafsī fardhan lillāhi ta‘ālā
Artinya: “Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku sendiri, fardhu karena Allah Ta’ala.”

2. Niat untuk Orang Lain (anak/istri/keluarga yang menjadi tanggungan)

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ (فلان/فلانة) فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu an ukhrija zakātal-fithri ‘an (fulān/fulānah) fardhan lillāhi ta‘ālā
Artinya: “Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk (sebut nama), fardhu karena Allah Ta’ala.”

Jika diniatkan untuk keluarga secara umum (anak/istri), maka cukup diucapkan dalam hati “untuk keluarga saya” tanpa harus menyebut satu per satu.

Zakat fitrah memiliki hikmah besar, baik dari sisi ibadah maupun sosial. Dengan menunaikan zakat ini, seorang Muslim menyucikan dirinya dari kekurangan selama berpuasa, sekaligus berbagi kebahagiaan kepada sesama. Maka, mari kita tunaikan sesuai dengan syarat dan waktu yang telah ditetapkan, agar ibadah Ramadan kita semakin sempurna dan penuh berkah.

Perbedaan Zakat Fitrah dan Zakat Mal yang Perlu Diketahui

Perbedaan Zakat Fitrah dan Zakat Mal yang Perlu Diketahui

Al-MuanawiyahZakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim. Kewajiban ini bukan hanya bentuk ibadah kepada Allah, tetapi juga instrumen sosial yang menjaga keseimbangan ekonomi di masyarakat. Dalam praktiknya, zakat terbagi menjadi beberapa jenis, dan yang paling dikenal adalah zakat fitrah dan zakat mal. Banyak umat Islam yang masih bingung membedakan keduanya. Lalu, apa perbedaannya?

Pengertian Zakat Fitrah

Zakat fitrah adalah zakat yang wajib ditunaikan setiap Muslim di bulan Ramadan sebelum salat Idul Fitri. Tujuan utamanya adalah menyucikan jiwa umat Islam setelah berpuasa sebulan penuh dan membantu kaum fakir miskin agar mereka dapat merasakan kebahagiaan di hari raya. Zakat ini dibayarkan dengan makanan pokok daerah masing-masing, seperti beras, gandum, atau kurma. Besarannya setara dengan satu sha’ atau kurang lebih 2,5–3 kg per orang.

gambar tangan sedang memegang koin di sebelah mangkuk berisi beras dan gandum mengilustrasikan perbedaan zakat fitrah dan zakat mal
Perbedaan zakat fitrah dan zakat mal

Pengertian Zakat Mal

Berbeda dengan zakat fitrah, zakat mal adalah zakat yang dikenakan pada harta benda seorang Muslim yang telah mencapai nisab (batas minimal) dan haul (dimiliki selama satu tahun penuh). Jenis harta yang wajib dizakati sangat beragam, mulai dari emas, perak, uang, hasil pertanian, hingga aset perdagangan. Besaran umumnya adalah 2,5% dari total harta yang sudah memenuhi syarat. Zakat mal memiliki tujuan membersihkan harta dan menumbuhkan keberkahan dalam kepemilikan.

Baca juga: Pentingnya Mempelajari Kitab Kuning di Pondok Pesantren

Perbedaan Zakat Fitrah dan Zakat Mal

Berikut beberapa poin utama yang membedakan:

  1. Waktu Pembayaran

    • Zakat fitrah dibayar khusus di bulan Ramadan dan sebelum salat Idul Fitri.

    • Zakat mal dibayar kapan saja, selama harta telah mencapai nisab dan haul.

  2. Objek Zakat

    • Zakat fitrah dikeluarkan dari makanan pokok.

    • Zakat mal dikeluarkan dari harta kekayaan, emas, perak, hasil pertanian, hingga usaha perdagangan.

  3. Tujuan Utama

    • Zakat fitrah berfungsi menyucikan jiwa dan menutup kekurangan selama ibadah puasa.

    • Zakat mal berfungsi membersihkan harta dan menjaga keseimbangan ekonomi di masyarakat.

  4. Besaran Zakat

    • Zakat fitrah jumlahnya sama untuk setiap Muslim, yakni sekitar 2,5–3 kg makanan pokok.

    • Zakat mal ditentukan berdasarkan 2,5% atau sesuai nisab harta tertentu.

Hikmah Menunaikan Zakat

Baik zakat fitrah maupun zakat mal, keduanya merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan sarana menumbuhkan solidaritas sosial. Zakat menjadikan umat Islam lebih peduli terhadap sesama dan menjaga agar tidak ada jurang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin.

Dengan memahami perbedaan keduanya, diharapkan setiap Muslim bisa lebih tepat dalam menunaikan kewajiban ini. Pada akhirnya, zakat bukan hanya membersihkan harta dan jiwa, tetapi juga menjadi jalan untuk meraih keberkahan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat.

Jenis Sedekah Harta dalam Islam dan Perbedaannya Lengkap

Jenis Sedekah Harta dalam Islam dan Perbedaannya Lengkap

Dalam Islam, jenis sedekah harta memiliki banyak pilihan, dari yang bersifat wajib sampai dengan sunnah. Sedekah bukan hanya sekadar memberi, melainkan juga bentuk ibadah yang membersihkan harta dan jiwa dari sifat tamak. Allah ﷻ berfirman dalam QS. At-Taubah: 103,

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”

Dari ayat ini jelas bahwa harta yang kita miliki bukan sepenuhnya milik pribadi, melainkan ada hak orang lain di dalamnya. Berikut jenis sedekah harta berdasarkan pembagian hukumnya.

jenis sedekah harta dalam Islam, zakat mal, zakat fitrah, nadzar, kafarat, sedekah harian, wakaf, infaq, hibah, hadiah
Jenis sedekah harta dalam Islam dan perbedaannya

Sedekah Wajib

Sedekah wajib adalah pemberian harta yang tidak boleh ditinggalkan. Jika seorang Muslim mampu tetapi enggan menunaikannya, maka ia berdosa. Beberapa bentuknya meliputi:

  1. Zakat Mal
    Zakat mal adalah zakat atas harta yang sudah mencapai nisab (batas minimal) dan haul (satu tahun kepemilikan). Contohnya emas, perak, uang simpanan, hasil pertanian, atau hewan ternak. Tujuannya adalah membantu fakir miskin dan menegakkan keadilan sosial, sehingga harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya.

  2. Zakat Fitrah
    Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh setiap Muslim menjelang Idul Fitri. Besarnya setara dengan satu sha’ (sekitar 2,5–3 kg) bahan makanan pokok. Hikmahnya adalah membersihkan kekurangan dalam ibadah puasa dan menjamin kebahagiaan bagi orang miskin saat hari raya. Baca juga: Perbedaan Zakat Fitrah dan Zakat Mal yang Perlu Diketahui

  3. Nazar
    Jika seseorang berniat atau bernazar akan bersedekah ketika suatu keinginannya terkabul, maka ia wajib menunaikannya. Misalnya bernazar untuk memberikan sejumlah uang kepada anak yatim jika berhasil lulus ujian. Melanggar nazar termasuk dosa.
  4. Kafarat
    Kafarat adalah tebusan harta untuk menebus pelanggaran, seperti melanggar sumpah, membatalkan puasa dengan sengaja, atau melakukan kesalahan lain yang diatur syariat. Bentuknya bisa berupa memberi makan fakir miskin atau membebaskan budak (pada masa lalu).

gambar donasi bahan makanan seperti gula, apel, dan beras untuk gamabran sedekah harta yang sunnah
Contoh sedekah harta sunnah berupa bahan makanan (foto: freepik)

Sedekah Sunnah

Sedekah sunnah tidak diwajibkan, tetapi sangat dianjurkan karena pahalanya besar dan manfaatnya luas. Muslim yang melakukannya akan mendapat keberkahan hidup, meski tidak berdosa jika ditinggalkan. Beberapa bentuknya adalah:

  1. Infaq
    Infaq adalah mengeluarkan sebagian harta tanpa syarat nisab dan haul. Bentuknya fleksibel, bisa berupa uang, makanan, atau pakaian. Infaq bisa dilakukan kapan saja sesuai kemampuan, baik untuk keluarga, masjid, maupun kegiatan sosial.

  2. Wakaf
    Wakaf adalah menyerahkan harta untuk kepentingan umum atau ibadah secara berkelanjutan, seperti tanah untuk masjid, sekolah, pesantren, atau sumur. Keistimewaannya, pahala wakaf terus mengalir meskipun pemberinya sudah meninggal, sebagaimana sabda Nabi ﷺ bahwa amal jariyah termasuk pahala yang tidak terputus.

  3. Hibah dan Hadiah
    Hibah adalah pemberian sukarela tanpa imbalan, biasanya kepada keluarga atau kerabat. Sedangkan hadiah diberikan sebagai bentuk penghargaan atau kasih sayang. Nabi ﷺ sangat menganjurkan saling memberi hadiah karena dapat menumbuhkan cinta di antara sesama Muslim.

  4. Sedekah Harian
    Ini adalah bentuk sedekah kecil tetapi berdampak besar, seperti memberi makan anak yatim, membantu tetangga, atau menyumbang untuk pembangunan pesantren. Meskipun sederhana, amalan ini termasuk dalam sedekah yang sangat dicintai Allah, karena Rasulullah ﷺ bersabda bahwa sedekah yang paling utama adalah sedekah yang dilakukan ketika seseorang sehat dan membutuhkan.

Pada akhirnya, setiap jenis sedekah harta baik yang wajib maupun sunnah adalah cara membersihkan rezeki, mendekatkan diri kepada Allah ﷻ, dan menolong sesama. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa sedekah dapat memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api. Karena itu, jadikanlah sedekah sebagai bagian dari keseharian kita, agar harta lebih berkah, hati lebih tenang, dan pahala terus mengalir hingga akhirat.

Teladan Sedekah dari Kedermawanan Asma’ binti Abu Bakar

Teladan Sedekah dari Kedermawanan Asma’ binti Abu Bakar

Asma’ binti Abu Bakar adalah salah satu sahabiyah Nabi ﷺ yang namanya tercatat indah dalam sejarah Islam. Ia bukan hanya dikenal sebagai sosok pemberani yang mendukung dakwah Rasulullah, tetapi juga sebagai teladan sedekah yang luar biasa. Kisah hidupnya menunjukkan bahwa harta sekecil apa pun bisa menjadi jalan keberkahan jika diberikan dengan ikhlas.

Asma’ binti Abu Bakar adalah putri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq sekaligus kakak dari Aisyah radhiyallahu ‘anhuma. Ia termasuk sahabiyah mulia yang hidup di masa awal Islam dan dikenal dengan julukan Dzatun Nithaqain (wanita yang memiliki dua ikat pinggang), karena keberaniannya saat membantu Rasulullah ﷺ dan ayahnya dalam peristiwa hijrah. Selain dikenal pemberani, Asma’ juga merupakan teladan dalam keteguhan iman, kesabaran, serta kedermawanan yang menjadikannya contoh abadi bagi umat Islam, khususnya dalam hal sedekah dan kepedulian sosial.

Kisah Teladan Sedekah Asma’ binti Abu Bakar

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah ﷺ menasihati Asma’:

“Janganlah engkau hitung-hitung (sedekahmu), nanti Allah pun akan menghitung (pahala untukmu).”

Pesan ini menjadi pedoman hidup Asma’. Ia senantiasa membagikan apa yang dimilikinya, meski dalam keadaan terbatas. Baginya, memberi tidak pernah mengurangi harta, melainkan justru melipatgandakan keberkahan. Dari sinilah kita belajar bahwa teladan sedekah harta terletak pada keikhlasan, bukan pada jumlahnya.

gambar wanita mengenakan hijab dan cadar hitam dengan mata diblur sebagai ilustrasi Asma' binti Abu Bakar
Teladan sedekah dari Asma’ binti Abu Bakar (gambar hanya ilustrasi)

 

Ayat Al-Qur’an tentang Sedekah

Allah ﷻ berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 261:

“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir; pada setiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Ayat ini mempertegas keyakinan yang dipegang Asma’ binti Abu Bakar, bahwa sedekah adalah jalan untuk melipatgandakan kebaikan di dunia dan akhirat.

Kedermawanan Asma’ binti Abu Bakar adalah teladan sedekah yang abadi. Ia mengajarkan bahwa berbagi tidak membutuhkan kekayaan berlimpah, melainkan keyakinan pada janji Allah. Dengan menyisihkan sebagian rezeki melalui sedekah, infak, maupun wakaf, kita pun bisa mengikuti jejak kebaikan para sahabat Nabi.

Semangat kedermawanan yang dicontohkan Asma’ binti Abu Bakar bisa menjadi teladan sedekah bagi kita hari ini. Salah satu bentuk nyata adalah mendukung perjuangan para penghafal Al-Qur’an. PPTQ Al Muanawiyah saat ini tengah membangun gedung untuk para santri tahfidz. Dengan ikut berdonasi, kita tidak hanya beramal jariyah, tetapi juga turut menjaga generasi Qur’ani yang akan menjadi cahaya umat di masa depan. Mari salurkan sedekah terbaik kita untuk wakaf pondok tahfidz ini, agar pahala mengalir tiada henti.

Wakaf Pendidikan Pembangunan Gedung Baru Al-Muanawiyah

Wakaf Pendidikan Pembangunan Gedung Baru Al-Muanawiyah

Sejarah mencatat, wakaf pendidikan telah menjadi bagian penting dalam membangun peradaban Islam sejak masa Rasulullah ﷺ. Pada awalnya, wakaf digunakan untuk menyediakan kebutuhan umat, seperti sumur, kebun, dan tanah yang hasilnya dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. Perkembangan berikutnya, wakaf menjadi pilar utama dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Bangunan, madrasah, perpustakaan, dan pusat ilmu besar di dunia Islam—seperti Al-Azhar di Mesir—berdiri kokoh berkat wakaf kaum Muslimin. Tradisi inilah yang terus dilanjutkan hingga kini, termasuk oleh pesantren-pesantren di Indonesia, yang menjadikan wakaf sebagai sarana membangun gedung, asrama, dan fasilitas belajar demi mencetak generasi Qur’ani yang berilmu dan berakhlak mulia.

foto gedung Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Al Muanawiyah Jombang
Gedung PPTQ Al Muanawiyah Jombang yang sudah digunakan para santri penghafal Al-Qur’an

Wakaf pendidikan adalah salah satu amal jariyah yang pahalanya terus mengalir selama manfaatnya dirasakan. Saat ini, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah sedang membangun gedung baru tiga lantai yang akan difungsikan sebagai asrama santri dan ruang kelas sementara bagi murid SMP Quran Al-Muanawiyah dan SMA Quran Al-Muanawiyah. Pembangunan ini menjadi langkah strategis untuk memenuhi kebutuhan ruang belajar dan tempat tinggal santri yang semakin bertambah setiap tahunnya.

Keterbatasan fasilitas saat ini membuat beberapa ruang belajar digunakan secara bergantian, dan asrama menjadi padat. Dengan adanya gedung baru, diharapkan santri dapat belajar dengan lebih nyaman, memiliki lingkungan yang kondusif, dan mendapatkan fasilitas yang mendukung hafalan Al-Qur’an serta pembelajaran formal.

Manfaat Pembangunan Gedung Baru

  1. Asrama layak untuk menampung lebih banyak santri dari berbagai daerah.

  2. Ruang kelas representatif untuk mendukung kegiatan belajar SMP Quran Al-Muanawiyah dan SMA Quran Al-Muanawiyah..

  3. Lingkungan yang kondusif untuk menghafal Al-Qur’an dan pembinaan akhlak.

  4. Amal jariyah yang terus mengalir pahalanya.

Landasan Syariah Wakaf Pendidikan

Wakaf merupakan amal yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya berkelanjutan. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Wakaf pendidikan termasuk dalam sedekah jariyah yang manfaatnya terus dirasakan selama gedung dan fasilitas digunakan untuk menuntut ilmu.

Mari menjadi bagian dari pembangunan ini melalui wakaf pendidikan. Kontribusi Anda, sekecil apa pun, akan menjadi bekal pahala yang terus mengalir. Untuk informasi lebih lengkap dan tata cara berwakaf, silakan kunjungi website resmi wakaf Pondok Tahfidz Al Muanaiwyah Jombang.

Alasan Di Balik Penyebutan Hari Jumat Sayyidul Ayyam

sayyidul ayyam hari Jumat, keutamaan hari Jumat. Kalender Friday Hari Jumat
Keutamaan hari Jumat sebagai sayyidul ayyam

Hari Jumat sayyidul ayyam adalah sebutan yang diberikan Rasulullah ﷺ untuk menegaskan kemuliaan hari ini di atas hari-hari lainnya. Istilah sayyidul ayyam berarti “penghulu hari-hari”, yaitu hari yang memiliki keistimewaan besar bagi umat Islam. Dalam sebuah hadits yang dihasankan oleh Al-Albani dalam Sahih al-Jami’ no. 2279. Riwayat Ibnu Majah no. 1084 dan An-Nasa’i no. 1374, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ سَيِّدُ الأَيَّامِ، وَأَعْظَمُهَا عِنْدَ اللَّهِ، وَهُوَ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ يَوْمِ الأَضْحَى وَيَوْمِ الْفِطْرِ، فِيهِ خَمْسُ خِلَالٍ: خَلَقَ اللَّهُ فِيهِ آدَمَ، وَأَهْبَطَ اللَّهُ فِيهِ آدَمَ إِلَى الأَرْضِ، وَفِيهِ تَوَفَّى اللَّهُ آدَمَ، وَفِيهِ سَاعَةٌ لاَ يَسْأَلُ اللَّهَ فِيهَا الْعَبْدُ شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ مَا لَمْ يَسْأَلْ حَرَامًا، وَفِيهِ تَقُومُ السَّاعَةُ، وَمَا مِنْ مَلَكٍ مُقَرَّبٍ، وَلاَ سَمَاءٍ وَلاَ أَرْضٍ وَلاَ رِيحٍ وَلاَ جِبَالٍ وَلاَ بَحْرٍ إِلاَّ وَهُنَّ يُشْفِقْنَ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ

Artinya:
“Sesungguhnya hari Jumat adalah pemimpin hari-hari (sayyidul ayyam) dan yang paling agung di sisi Allah, bahkan lebih agung daripada hari Idul Adha dan Idul Fitri. Pada hari itu ada lima peristiwa: Allah menciptakan Adam, menurunkannya ke bumi, mewafatkannya, pada hari itu ada satu waktu yang tidaklah seorang hamba memohon kepada Allah sesuatu melainkan Allah memberinya selama ia tidak meminta yang haram, dan pada hari itu Kiamat akan terjadi. Tidaklah ada malaikat yang dekat (kepada Allah), langit, bumi, angin, gunung, atau laut kecuali mereka khawatir pada hari Jumat.”

Keistimewaan hari Jumat tidak hanya terkait dengan sejarah penciptaan manusia, tetapi juga karena hari ini menjadi waktu khusus untuk beribadah. Allah ﷻ memerintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan segala aktivitas dunia ketika adzan Jumat berkumandang, dan bersegera menuju dzikir kepada-Nya (QS. Al-Jumu’ah: 9). Perintah ini menunjukkan betapa mulianya kedudukan hari Jumat di sisi Allah.

Amalan Utama di Sayyidul Ayyam

Selain shalat Jumat, terdapat banyak amalan sunnah yang dianjurkan, seperti membaca surah Al-Kahfi, memperbanyak shalawat, mandi sunnah sebelum berangkat shalat, dan memperbanyak doa di waktu mustajab antara ashar dan maghrib. Para ulama menegaskan, amalan di hari Jumat akan dilipatgandakan pahalanya.

Tradisi ulama salaf juga menempatkan hari Jumat sebagai momentum utama untuk memperbanyak sedekah. Mereka meyakini bahwa sedekah di hari yang mulia ini membawa keberkahan berlipat, sesuai dengan semangat memuliakan sayyidul ayyam. Di berbagai pesantren di Jombang, para santri terbiasa mengisi hari Jumat dengan khataman Al-Qur’an, kajian kitab kuning, dan doa bersama untuk umat Islam.

Dengan segala keutamaannya, wajar jika hari Jumat disebut sebagai penghulu segala hari. Ini bukan sekadar penamaan simbolis, tetapi sebuah pengakuan atas kedudukan spiritualnya yang istimewa. Mari kita isi hari Jumat dengan amal terbaik, sehingga setiap pekan kita mendapatkan keberkahan yang dijanjikan Allah ﷻ.

Bagi Anda yang ingin menghidupkan sunnah sedekah di hari Jumat sekaligus mendukung pendidikan para santri, Pondok Pesantren Al-Mu’anawiyah Jombang membuka peluang donasi dan wakaf pendidikan. Informasi selengkapnya dapat diakses melalui website resmi  kami.