Ketaatan Prajurit Ali bin Abi Thalib di Perang Khaibar

Ketaatan Prajurit Ali bin Abi Thalib di Perang Khaibar

Latar Belakang Sejarah Perang Khaibar

Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang menceritakan ketaatan prajurit. Perang ini terjadi pada tahun 7 Hijriah, setelah Perjanjian Hudaibiyah. Khaibar merupakan sebuah daerah subur di utara Madinah yang dipenuhi dengan benteng-benteng kokoh milik kaum Yahudi. Kaum Muslimin memandang pentingnya menaklukkan Khaibar karena wilayah tersebut menjadi basis kekuatan musuh yang sering melakukan provokasi dan ancaman terhadap umat Islam di Madinah.

Pada saat itu, pasukan Muslim yang dipimpin langsung oleh Rasulullah ﷺ berjumlah sekitar 1.400 orang. Mereka menghadapi musuh dengan persenjataan lengkap serta pertahanan yang sangat kuat. Di sinilah muncul sebuah kisah yang menggambarkan bukan hanya keberanian, tetapi juga ketaatan prajurit sejati dalam menjalankan perintah Rasulullah ﷺ.

Seorang prajurit berjenggot mengenakan baju perang hitam, tersenyum dengan penuh semangat, menggambarkan ketaatan prajurit muslim dalam sejarah pertempuran.
Ilustrasi ketaatan prajurit yang menunjukkan senyum semangat (foto: freepik)

Perang Khaibar dan Penunjukan Ali bin Abi Thalib

Dalam perjalanan perang, Rasulullah ﷺ menyampaikan sabdanya: “Sungguh, besok aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah serta Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Keesokan harinya, panji itu diberikan kepada Ali bin Abi Thalib. Pada waktu itu, beliau sedang sakit mata. Rasulullah ﷺ kemudian meludahi mata Ali dan dengan izin Allah, sakitnya langsung sembuh. Dengan semangat dan iman yang kokoh, Ali menerima tugas besar tersebut untuk memimpin pasukan menghadapi benteng Khaibar.

Keberanian dan Ketangguhan Ali

Ali bin Abi Thalib tidak hanya menunjukkan keteguhan hati, tetapi juga kekuatan fisik yang luar biasa. Beliau mampu merobohkan pintu benteng Khaibar yang beratnya tidak mampu diangkat oleh banyak orang sekalipun. Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa keberanian dan keimanan dapat melahirkan kekuatan yang tidak terbayangkan.

Baca juga: Abdullah bin Ummi Maktum, Teladan Semangat dan Ketaatan

Nilai Ketaatan Prajurit dalam Islam

Kisah Ali bin Abi Thalib di Perang Khaibar adalah contoh yang sangat jelas tentang ketaatan prajurit. Ia tidak meragukan perintah Rasulullah ﷺ, meski kondisi dirinya tidak prima. Ketaatan ini membawanya pada kemenangan besar, sekaligus menjadi teladan sepanjang masa.

Pelajaran Bagi Generasi Kini

Nilai-nilai ketaatan dan disiplin dari kisah ini relevan sepanjang zaman. Dalam kehidupan modern, kita bisa meneladani sikap Ali dengan menaati aturan, menghormati pemimpin, serta tetap sabar dan teguh dalam menghadapi cobaan. Dengan demikian, setiap Muslim dapat menjadi “prajurit” dalam perjuangan hidupnya masing-masing.

Baca juga: Mengapa Tradisi Keilmuan Salaf Tetap Relevan di Era Digital

Dalil Tentang Ketaatan

Allah ﷻ berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 59:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kamu…”

Ayat ini menjadi dasar penting bahwa ketaatan seorang Muslim, termasuk prajurit di medan perang, adalah bagian dari ibadah yang mendatangkan ridha Allah.

Peristiwa Perang Khaibar menunjukkan bahwa kemenangan bukan hanya ditentukan oleh strategi dan kekuatan fisik, tetapi juga oleh iman dan ketaatan. Kisah Ali bin Abi Thalib menjadi teladan agung bahwa prajurit sejati adalah mereka yang tunduk penuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Semoga semangat ini dapat menginspirasi kita untuk lebih disiplin, taat, dan teguh dalam menghadapi perjuangan hidup sehari-hari.

Sedekah Abu Bakar dan Umar di Perang Tabuk

Sedekah Abu Bakar dan Umar di Perang Tabuk

Dalam sejarah Islam, banyak kisah inspiratif tentang keikhlasan sahabat Nabi ﷺ dalam berinfak di jalan Allah. Salah satunya adalah peristiwa yang terjadi menjelang Perang Tabuk, ketika Rasulullah ﷺ menyeru kaum muslimin untuk bersedekah demi mendukung perjuangan. Pada saat itulah tercatat kisah mulia tentang sedekah Abu Bakar dan Umar.

sedekah harta rampasan perang, harta karun. kisah sedekah Umar bin Khattab dan Abu Bakar di Perang Tabuk
Ilustrasi sedekah harta perang Sayyidina Umar dan Abu Bakar (gambar hanya ilustrasi. foto: freepik)

 

Kisah Sedekah Abu Bakar dan Umar

Ketika Rasulullah ﷺ mengajak para sahabat untuk memberikan harta mereka, Umar bin Khattab r.a. datang dengan membawa setengah dari hartanya. Rasulullah ﷺ kemudian bertanya, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Umar?” Umar menjawab, “Aku tinggalkan sebanyak yang kubawa.”

Tak lama kemudian, Abu Bakar r.a. pun datang dengan membawa seluruh hartanya. Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar?” Ia menjawab, “Aku tinggalkan Allah dan Rasul-Nya.”

Kedua sahabat mulia ini memperlihatkan bagaimana kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya mampu mendorong mereka untuk bersedekah dengan penuh keikhlasan.

Pondok Quran Almuanawiyah Jombang

Sedekah Melipatgandakan Kebaikan

Allah berfirman:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 261).

Allah ﷻ dalam surah Al-Baqarah ayat 261 menjelaskan bahwa sedekah ibarat menanam sebutir biji yang tumbuh menjadi tujuh bulir, dan setiap bulir berisi seratus biji. Artinya, satu amal kebaikan bisa dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih sesuai kehendak Allah.

Ayat ini memberi isyarat bahwa harta yang kita keluarkan tidak akan hilang, melainkan justru berkembang menjadi pahala yang berlipat ganda. Sama seperti benih yang ditanam di tanah subur, ia akan tumbuh dan memberi hasil yang berlimpah. Maka, sedekah tidak mengurangi harta, tetapi menambah keberkahan hidup di dunia dan akhirat.

Baca juga: Cerita Teladan Sedekah dari Ummu Umarah

Kisah sedekah Abu Bakar dan Umar dalam Perang Tabuk menjadi teladan bagi umat Islam untuk senantiasa berinfak di jalan Allah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Semangat mereka adalah cermin bahwa harta yang kita miliki sesungguhnya hanyalah titipan, dan pengorbanan di jalan Allah akan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda.

Mari kita lanjutkan semangat kedermawanan para sahabat dengan mendukung pendidikan Islam. Melalui program Wakaf Pendidikan Al Muanawiyah, setiap rupiah yang kita sisihkan akan menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir. Bergabunglah bersama para pewakaf, insyaAllah menjadi bekal terbaik menuju akhirat.

Sa’ad bin Ubadah yang Terkenal Karena Kedermawanannya

jamuan makan tamu, buka bersama, iftar together, makan bersama keluarga
Ilustrasi kedermawanan Sa’ad bi Ubadah saat menjamu tamu (foto: freepik)

Sa’ad bin Ubadah atau Abu Tsabit adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang dikenal luas karena kedermawanannya. Beliau berasal dari kaum Anshar, tepatnya dari Bani Khazraj, dan menjadi pemimpin yang disegani di Madinah. Nama lengkapnya adalah Sa’ad bin Ubadah bin Dulaim bin Haritsah Al-Khazraji. Sejak masuk Islam, Sa’ad selalu menggunakan harta, tenaga, dan ilmunya untuk mendukung perjuangan Rasulullah ﷺ.

Sa’ad bin Ubadah dan Kedermawanannya

Setiap hari, Sa’ad membawa semangkuk besar tsarid (roti yang diremukkan lalu dicampur dengan kuah daging) kepada Rasulullah ﷺ. Hidangan itu kemudian dibagikan bersama Nabi kepada para istri beliau. Kebiasaan ini menunjukkan betapa besar kepedulian Sa’ad kepada Rasulullah dan keluarganya.

Kedermawanannya begitu terkenal hingga rumah Sa’ad selalu menjadi tempat persinggahan kaum Muhajirin. Jika rumah seorang Anshar biasanya hanya menampung beberapa tamu, maka rumah Sa’ad bisa menampung hingga 80 orang Muhajirin sekaligus, dan semuanya mendapatkan jamuan terbaik. Hal ini membuktikan bahwa Sa’ad tidak sekadar membantu dengan harta, tetapi juga dengan hati yang ikhlas.

Rasulullah ﷺ bahkan mendoakan khusus untuk keluarga Sa’ad dengan doa:

اللَّهُمَّ اجعَلْ صلَواتِكَ ورَحمتَكَ على آلِ سعد بنِ عُبادَةَ
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan rahmat-Mu kepada keluarga Sa’ad bin Ubadah.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Baca juga cerita teladan kedermawanan putri Sayyidina Abu Bakar di sini

Kepribadian

Selain dermawan, Sa’ad juga dikenal sebagai pribadi yang ghayyur (pencemburu dalam kebaikan). Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ سَعْدًا غَيُورٌ ، وَأَنَا غَيُورٌ ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي
“Sa’ad itu pencemburu, aku lebih pencemburu darinya, dan Allah lebih pencemburu dariku.” (HR Muslim).

Ia juga seorang yang cerdas, pandai menulis, mahir berenang, dan jago memanah. Karena keunggulannya ini, ia diberi gelar al-kamil (yang sempurna). Dalam peperangan, Rasulullah ﷺ selalu memberi baiat bahwa Sa’ad akan berjuang sampai titik darah penghabisan.

Warisan Teladan

Kedermawanannya bukan hanya tentang berbagi makanan, tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya mendukung perjuangan Islam dengan segala yang dimiliki. Beliau memberikan teladan bahwa harta menjadi mulia ketika digunakan untuk menolong agama Allah dan menyejahterakan sesama.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa kedermawanan adalah amalan yang abadi, tidak hanya menolong sesama di dunia tetapi juga menjadi tabungan di akhirat. Semangat beliau dalam memberi dan mendukung perjuangan Rasulullah ﷺ bisa kita teladani dengan cara berbagi sesuai kemampuan kita.

Salah satu bentuk nyata adalah mendukung wakaf pendidikan di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah Jombang. Dengan berpartisipasi, kita ikut mencetak generasi Qur’ani yang cerdas, berakhlak, dan siap menjadi pejuang Islam di masa depan. Mari meneladani kedermawanan Sa’ad bin Ubadah dengan menyalurkan harta di jalan Allah.

Referensi Amalan Saad bin Ubadah yang Memicu Doa Rasulullah SAW | Republika Online

Cerita Teladan Sedekah dari Ummu Umarah

Cerita Teladan Sedekah dari Ummu Umarah

Dalam sejarah Islam, banyak sekali kisah para sahabat yang bisa menjadi inspirasi. Salah satunya adalah cerita teladan sedekah dari seorang wanita mulia bernama Ummu Umarah, atau dikenal juga dengan Nusaibah binti Ka’ab. Beliau adalah sosok sahabiyah yang tidak hanya dikenal karena keberaniannya di medan perang, tetapi juga karena keikhlasannya dalam beribadah, beramal, dan bersedekah.

Siapa Ummu Umarah?

Nusaibah binti Ka’ab (Arab: نسيبة بنت كعب), yang lebih dikenal dengan nama Ummu Umarah, merupakan salah satu perempuan awal yang masuk Islam dan tercatat memiliki peran besar dalam perjuangan Islam. Ia turut serta dalam berbagai pertempuran, salah satunya Perang Uhud, di mana beliau dengan penuh keberanian melindungi Rasulullah SAW hingga mengalami 12 luka. Selain itu, Ummu Umarah juga hadir dalam sejumlah peristiwa penting seperti Baiat Aqabah kedua, Perjanjian Hudaibiyah, Perang Hunain, serta Perang Yamamah (wikipedia).  Namun, selain keberaniannya, ada sisi lembut yang patut diteladani, yaitu kedermawanannya dalam bersedekah.

cerita teladan sedekah ummu umarah nusaibah binti ka'ab. Muslimah yang mengenakan hijab tertutup dan pakaian perang, ilustrasi Ummum Umarah dalam Perang Uhud
Ilustrasi Ummu Umarah cerita teladan sedekah dalam Perang Uhud (foto: republika.co.id)

Teladan Sedekah Ummu Umarah

Dalam sebuah riwayat, Ummu Umarah pernah memberikan sebagian besar harta miliknya untuk perjuangan Islam. Beliau tidak pernah ragu untuk menginfakkan apa yang dimiliki, meskipun dirinya sendiri tidak bergelimang harta. Hal ini menunjukkan bahwa sedekah bukan hanya milik orang kaya, tetapi juga bisa dilakukan oleh siapa saja yang hatinya ikhlas.

Cerita teladan sedekah dari Ummu Umarah mengajarkan bahwa berbagi itu tidak menunggu kaya. Dengan niat tulus, sedikit yang diberikan akan bernilai besar di sisi Allah SWT. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pernah menyanjung keikhlasan para sahabat perempuan yang ikut mendukung dakwah dengan sedekah mereka.

Hikmah dan Pelajaran

Ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari kisah ini:

  1. Sedekah sebagai bukti cinta kepada Allah dan Rasul. Ummu Umarah rela berkorban harta bahkan nyawa demi mempertahankan agama Islam.

  2. Sedekah tidak mengurangi harta. Justru, keberkahan datang dari harta yang dikeluarkan di jalan Allah.

  3. Ikhlas lebih utama daripada jumlah. Sedikit sedekah dengan hati yang ikhlas akan lebih bernilai dibandingkan sedekah besar tanpa keikhlasan.

  4. Wanita juga berperan dalam perjuangan Islam. Kisah Ummu Umarah menunjukkan bahwa kontribusi perempuan tidak hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam dakwah dan amal sosial.

Melalui cerita teladan sedekah dari Ummu Umarah, kita belajar bahwa sedekah adalah jalan menuju keberkahan hidup. Sedekah harta yang kita keluarkan di jalan Allah tidak akan sia-sia, bahkan menjadi tabungan abadi di akhirat. Sudah seharusnya kita meneladani semangat beliau untuk senantiasa berbagi, meskipun dalam keadaan terbatas.

Mari kita mulai dari hal kecil, bersedekah sesuai kemampuan, dan istiqamah dalam berbagi. Dengan begitu, kita tidak hanya membantu sesama, tetapi juga menapaki jalan menuju ridha Allah SWT. Salurkan sedekah terbaik Anda agar dapat mengalirkan manfaat yang lebih luas untuk para penghafal Al-Qur’an di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah Jombang.

Abdullah bin Ummi Maktum, Teladan Semangat dan Ketaatan

Abdullah bin Ummi Maktum, Teladan Semangat dan Ketaatan

Al-Muanawiyah – Nama Abdullah bin Ummi Maktum tercatat indah dalam sejarah Islam. Ia adalah sahabat Rasulullah ﷺ yang buta sejak lahir, namun semangatnya dalam menuntut ilmu dan menjaga shalat berjamaah tetap bersinar. Bahkan, kisah perjumpaannya dengan Nabi ﷺ diabadikan dalam Al-Qur’an, yaitu dalam surat ‘Abasa.

Semangat Belajar di Tengah Keterbatasan

Abdullah bin Ummi Maktum dikenal sebagai pribadi yang haus akan ilmu. Ia sering mendatangi Rasulullah ﷺ untuk mendengarkan wahyu dan mempelajari ajaran Islam. Suatu ketika, ia datang saat Rasulullah ﷺ sedang berdakwah kepada para pemuka Quraisy. Nabi sempat bermuka masam, namun Allah ﷻ menegur beliau dengan turunnya surat ‘Abasa. Hal ini menjadi bukti betapa mulianya kedudukannya di sisi Allah.

Baca juga: Tanda Ilmu yang Bermanfaat Bagi Kehidupan Sehari-Hari

Menjaga Shalat Berjamaah

Kisah lain yang tak kalah menginspirasi adalah tentang shalat berjamaah. Abdullah pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ apakah ia boleh shalat di rumah karena buta dan sulit berjalan ke masjid. Namun, Nabi bertanya, “Apakah engkau mendengar adzan?” Abdullah menjawab, “Ya.” Rasulullah ﷺ pun bersabda:

“Penuhilah panggilan itu (untuk shalat berjamaah).”
(HR. Muslim)

Sejak itu, beliau tetap berusaha datang ke masjid meskipun dengan keterbatasan. Semangatnya memberi teladan bahwa shalat berjamaah adalah kewajiban yang sebaiknya tidak ditinggalkan, khususnya bagi kaum laki-laki.

Muadzin Rasulullah ﷺ

Selain dikenal sebagai penuntut ilmu, beliau juga dipercaya Rasulullah ﷺ sebagai muadzin, bergantian dengan Bilal bin Rabah. Kehadiran beliau sebagai pengumandang adzan menandakan keistimewaannya dalam masyarakat Muslim awal, meski fisiknya terbatas. Suara adzannya mengajak kaum Muslimin untuk datang menegakkan shalat bersama.

abdullah bin ummi maktum yang menjadi asbabun nuzul surat Abasa, hadits tentang keutamaan shalat berjamaah
Ilustrasi muadzin Abdullah bin Ummi Maktum. Bukan gambaran aslinya (foto: dakwah.id)

 

Penjaga Madinah Saat Perang

Beliau juga mendapat amanah besar ketika Rasulullah ﷺ keluar untuk berperang. Beliau beberapa kali ditunjuk sebagai pemimpin sementara di Madinah, memimpin kaum Muslimin dalam urusan ibadah. Ini membuktikan kepercayaan yang tinggi dari Rasulullah ﷺ kepada dirinya.

Kisah Abdullah bin Ummi Maktum adalah cermin kesungguhan seorang Muslim sejati. Meski memiliki keterbatasan fisik, beliau tidak pernah menyerah untuk belajar, berdakwah, dan menjaga shalat tepat waktu dan berjamaah. Semangat beliau mengajarkan kepada kita bahwa kekurangan bukan alasan untuk lalai, justru menjadi jalan untuk meraih kedudukan mulia di sisi Allah ﷻ.

Kisah Ali bin Abi Thalib dalam Perjalanannya Bersama Al-Qur’an

ali bin abi thalib dan Al-Qur'an dalam perang shiffin, sunni syiah, golongan Muawiyah, terbunuhnya Utsman bin Affan
Perang Shiffin yang terjadi di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (foto: wikipedia)

Ali bin Abi Thalib adalah sahabat sekaligus menantu Rasulullah SAW yang memiliki kedudukan istimewa dalam sejarah Islam. Sejak usia muda, ia telah tumbuh dalam bimbingan Nabi dan hidup sangat dekat dengan Al-Qur’an. Melalui kisah Ali bin Abi Thalib, kita bisa menemukan teladan bagaimana seorang Muslim seharusnya berinteraksi dengan kitab suci, bukan hanya sebagai bacaan, tetapi juga sebagai pedoman hidup.

Kedekatan Ali dengan Al-Qur’an Sejak Muda

Ali bin Abi Thalib adalah anak pertama yang masuk Islam di usia belia. Ia langsung menyaksikan turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Setiap ayat yang dibacakan Nabi Muhammad SAW dihafalnya dengan penuh perhatian. Bukan hanya itu, Ali juga kerap meminta penjelasan langsung dari Rasulullah tentang makna ayat yang baru turun. Oleh karena itu, sejak awal, ia bukan hanya penghafal Al-Qur’an, tetapi juga pengamal yang memahami tafsirnya.

Ali dijuluki sebagai “Babul Ilmi” atau Pintu Ilmu. Julukan ini lahir karena keluasan pemahamannya tentang Al-Qur’an. Dalam banyak kesempatan, ia menjelaskan tafsir dengan sangat mendalam, seakan cahaya petunjuk keluar dari lisannya. Menurut Ali, Al-Qur’an adalah cahaya yang tidak akan padam, tali Allah yang paling kokoh, dan penuntun yang tidak akan menyesatkan. Pesan ini masih relevan hingga kini, mengingat umat Islam memerlukan pedoman yang menuntun dalam menghadapi fitnah zaman.

Baca juga Cerita Inspiratif Shalat Ali bin Abi Thalib di sini

Al-Qur’an dalam Kepemimpinan Ali

Ketika Ali menjadi khalifah, ia menghadapi masa penuh ujian. Fitnah politik, peperangan, dan perpecahan umat menjadi tantangan besar. Namun, Al-Qur’an tetap ia jadikan pedoman dalam mengambil keputusan. Salah satu peristiwa penting adalah Perang Shiffin, ketika musuh mengangkat mushaf di ujung tombak. Ali menunjukkan sikap bijak bahwa Al-Qur’an tidak boleh dijadikan alat politik, melainkan benar-benar harus dijadikan pedoman kebenaran.

Hikmah Kisah Ali bi Abi Thalib Bersama Al-Qur’an

Dari kisah Ali bin Abi Thalib, kita dapat belajar bahwa mencintai Al-Qur’an tidak cukup hanya dengan membaca. Ali mengajarkan agar Al-Qur’an dipahami, diamalkan, dan dijadikan cahaya kehidupan. Ia wafat sebagai syahid, namun warisannya tentang kecintaan pada kitab suci akan terus hidup. Hingga kini, Ali tetap menjadi teladan generasi Muslim dalam menjaga ikatan kuat dengan Al-Qur’an. Baca juga cerita inspiratif Al-Qur’an sahabat lainnya seperti Zain bin Tsabit di sini.

almuanawiyah.com

Kisah Abu Bakar Menangis Saat Shalat dan Hikmahnya

Kisah Abu Bakar Menangis Saat Shalat dan Hikmahnya

Al- Muanawiyah – Dalam sejarah Islam, banyak sahabat Nabi ﷺ yang menjadi teladan dalam ibadah dan ketakwaan. Salah satu di antaranya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Beliau dikenal sebagai sahabat yang lembut hatinya dan sering tersentuh ketika membaca atau mendengar ayat-ayat Al-Qur’an. Tidak heran jika banyak riwayat menyebut Abu Bakar menangis saat shalat, bahkan ketika beliau diangkat menjadi imam.

Kisah Abu Bakar Menangis Saat Shalat

Ketika Rasulullah ﷺ sakit menjelang wafat, beliau memerintahkan Abu Bakar untuk maju menjadi imam shalat. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sempat meminta agar ayahnya tidak ditunjuk, karena ia tahu Abu Bakar mudah sekali menangis saat membaca Al-Qur’an. Namun Rasulullah ﷺ tetap bersabda:

“Perintahkan Abu Bakar untuk mengimami manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Benar saja, ketika menjadi imam, Abu Bakar sering kali suaranya terputus-putus karena tangisannya. Air mata itu bukan tanda kelemahan, melainkan bukti ketulusan hatinya ketika bermunajat kepada Allah.

gambar siluet seorang pria sedang terduduk sedih di sajadah masjid, menggambarkan kisah Abu Bakar menangis saat shalat
Ilustrasi kisah Abu Bakar yang menangis saat shalat (foto: ChatGPT)

Sikap Abu Bakar dalam Shalat Malam

Riwayat lain juga menyebutkan, Rasulullah ﷺ pernah menyinggung perbedaan shalat malam sahabat-sahabatnya. Abu Bakar dikenal membaca dengan suara lirih, berbeda dengan Umar bin Khattab yang membacanya dengan suara lantang. Ketika ditanya alasannya, Abu Bakar menjawab:

“Aku bermunajat kepada Rabb-ku, dan Dia sudah mendengar.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).

Jawaban ini menunjukkan kerendahan hati dan rasa kedekatannya dengan Allah, sehingga tangis dalam shalat menjadi sesuatu yang alami bagi beliau.

Baca juga: 5 Cara Sederhana Agar Shalat Khusyuk dan Tenang

Hikmah dari Kisah

Kisah ini menjadi cermin bahwa ibadah bukan sekadar rutinitas gerakan, melainkan perjumpaan hati dengan Allah. Air mata beliau lahir dari rasa takut sekaligus cinta yang mendalam kepada Sang Pencipta. Menangis dalam ibadah adalah tanda kekhusyukan dan kelembutan hati. Al-Qur’an bahkan menyebutkan bahwa orang-orang beriman menangis ketika mendengar ayat Allah dibacakan (QS. Al-Isra: 109).

Dari sini kita diajak untuk merenung, sudahkah shalat kita menghadirkan kekhusyukan yang sama? Tidak harus selalu dengan tangisan, namun setiap shalat seharusnya membuat hati semakin lembut, jauh dari kesombongan, dan dekat dengan Allah. Mari jadikan shalat bukan hanya kewajiban, tetapi juga sarana untuk memperbaiki diri dan menumbuhkan cinta yang tulus kepada-Nya.

Hikmah Perang Uhud dan Relevansinya Bagi Kehidupan Sekarang

Hikmah Perang Uhud dan Relevansinya Bagi Kehidupan Sekarang

bagi umat. Salah satunya adalah Perang Uhud, pertempuran yang terjadi pada tahun ketiga Hijriah antara kaum Muslimin Madinah melawan kaum Quraisy Makkah. Meskipun umat Islam sempat mengalami kekalahan, perang ini meninggalkan hikmah yang sangat berharga untuk generasi setelahnya.

Latar Belakang Perang Uhud

Perang Uhud terjadi setelah kemenangan besar kaum Muslimin dalam Perang Badar. Kemenangan tersebut membuat Quraisy merasa terhina dan ingin membalas dendam. Dengan pasukan yang lebih besar, mereka datang menyerang Madinah. Rasulullah ﷺ bersama sekitar 700 sahabat berusaha bertahan di kaki Gunung Uhud.

Namun, karena sebagian pasukan pemanah tidak mematuhi perintah Rasulullah ﷺ untuk tetap di pos mereka, pasukan Quraisy berhasil melakukan serangan balik. Akibatnya, banyak sahabat gugur, bahkan Rasulullah ﷺ sendiri terluka.

gambar pasukan arab memegang panah di gurun pasir sebagai gambaran Perang Uhud
Ilustrasi pasukan pemanah Perang Uhud (foto: ChatGPT)

Baca juga: Sedekah Abu Bakar dan Umar di Perang Tabuk

Hikmah Perang Uhud

Dari kejadian ini, ada sejumlah hikmah penting yang bisa dipetik:

  1. Ketaatan adalah kunci kemenangan. Kekalahan di Uhud terjadi karena sebagian pasukan tergoda harta rampasan perang dan meninggalkan posnya. Ini menjadi pelajaran bahwa disiplin terhadap perintah pemimpin sangat penting.
  2. Ujian adalah bagian dari tarbiyah Allah. Kekalahan Uhud bukan tanda kelemahan Islam, melainkan cara Allah mendidik kaum Muslimin agar lebih sabar, kuat, dan tidak lengah setelah kemenangan.
  3. Kekalahan bukan akhir segalanya. Meskipun secara militer kaum Muslimin kalah, semangat iman mereka justru semakin kuat. Mereka belajar bahwa kemenangan sejati ada pada keteguhan hati, bukan hanya pada strategi dan jumlah pasukan.
  4. Musibah menjadi pengingat. Perang Uhud menegaskan bahwa dunia tidak boleh membuat manusia lalai. Kekalahan itu menjadi titik muhasabah bagi sahabat yang sebelumnya terlena oleh semangat mengejar harta rampasan.

Baca juga: Ikhlas vs Pasrah: Polemik Kesejahteraan Guru di Indonesia

Relevansi untuk Kehidupan Sekarang

Hikmah Perang Uhud tetap relevan hingga kini. Dalam kehidupan modern, kita pun sering menghadapi “pertempuran” berupa krisis ekonomi, persaingan karier, atau ujian sosial. Dari Uhud, kita belajar bahwa kesuksesan hanya datang dengan disiplin, kesabaran, dan keteguhan iman. Bahkan jika mengalami kegagalan, itu bisa menjadi jalan untuk memperbaiki diri dan meraih kemenangan yang lebih besar di masa depan.

Zaid bin Tsabit dan Keteladanannya Bersama Al-Qur’an

Zaid bin Tsabit dan Keteladanannya Bersama Al-Qur’an

Al-Muanawiyah – Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw. yang memiliki peran besar dalam sejarah Al-Qur’an. Ia dikenal sebagai penulis Al-Qur’an dan sosok yang dipercaya dalam menjaga keaslian Kitabullah. Perjalanan Qurani dari Zaid bin Tsabit memberikan teladan luar biasa tentang kesungguhan, kecerdasan, dan pengabdian seorang pemuda dalam membela agama Allah.

 

Awal Ketekunan Zaid bin Tsabit

Sejak usia 11 tahun, Zaid telah menunjukkan semangat besar untuk mendalami Al-Qur’an. Dalam waktu singkat, ia mampu menghafal 17 surah dengan bacaan yang fasih. Kecerdasannya membuat Rasulullah Saw. memberikan perhatian khusus. Tidak hanya itu, Zaid juga diminta untuk mempelajari bahasa Ibrani agar mampu menuliskan surat-surat yang datang dari kaum Yahudi.

Penulis Wahyu Rasulullah

Zaid kemudian dipercaya sebagai salah satu penulis wahyu. Setiap kali Rasulullah Saw. menerima wahyu dari Allah, beliau memanggil Zaid untuk menuliskannya. Tugas mulia ini menjadikan Zaid bukan hanya penghafal, tetapi juga saksi langsung turunnya Al-Qur’an. Perannya sangat penting agar ayat-ayat Allah tidak hanya terjaga dalam hafalan, tetapi juga tertulis dengan rapi.

Baca juga: Ubay bin Ka’ab, Penghafal Al Qur’an yang Namanya Disebut Allah

Peran Besar dalam Pengumpulan Al-Qur’an

Setelah wafatnya Rasulullah Saw., Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab menghadapi kekhawatiran banyaknya penghafal Qur’an yang gugur dalam perang Yamamah. Atas musyawarah para sahabat, beliau ditunjuk untuk memimpin pengumpulan mushaf Al-Qur’an. Meski tugas itu sangat berat, Zaid menerimanya dengan penuh tanggung jawab. Ia mengumpulkan ayat dari para penghafal dan lembaran-lembaran catatan yang ada, kemudian menyusunnya secara teliti sesuai urutan yang diajarkan Rasulullah.

ilustrasi zaid bin tsabit penulis pengumpul Al Qur'an, orang arab menulis
Ilustrasi Zaid bin Tsabit dalam penulisan Al-Qur’an (foto: ChatGPT, ilustrasi fiktif)

Di masa kekhalifahan Utsman bin Affan, Zaid kembali dipercaya untuk menyalin mushaf standar yang kemudian dikirim ke berbagai wilayah Islam. Dari usaha inilah, mushaf Utsmani yang kita kenal hingga hari ini dapat terjaga dengan baik dan tanpa perubahan.

Teladan dari Perjalanan Qurani Zaid bin Tsabit

Perjalanan hidup beliau menunjukkan bahwa menjaga Al-Qur’an adalah amanah yang sangat mulia. Ia mengajarkan kita arti kesungguhan dalam belajar sejak muda, pentingnya keikhlasan dalam mengabdi, serta keberanian memikul tanggung jawab besar demi tegaknya agama.

Hingga kini, nama Zaid bin Tsabit tetap harum sebagai simbol penjaga Al-Qur’an yang setia. Perjuangannya adalah bukti nyata bahwa Allah menjaga kitab suci-Nya melalui hamba-hamba pilihan.

Teladan Sedekah dari Kedermawanan Asma’ binti Abu Bakar

Teladan Sedekah dari Kedermawanan Asma’ binti Abu Bakar

Asma’ binti Abu Bakar adalah salah satu sahabiyah Nabi ﷺ yang namanya tercatat indah dalam sejarah Islam. Ia bukan hanya dikenal sebagai sosok pemberani yang mendukung dakwah Rasulullah, tetapi juga sebagai teladan sedekah yang luar biasa. Kisah hidupnya menunjukkan bahwa harta sekecil apa pun bisa menjadi jalan keberkahan jika diberikan dengan ikhlas.

Asma’ binti Abu Bakar adalah putri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq sekaligus kakak dari Aisyah radhiyallahu ‘anhuma. Ia termasuk sahabiyah mulia yang hidup di masa awal Islam dan dikenal dengan julukan Dzatun Nithaqain (wanita yang memiliki dua ikat pinggang), karena keberaniannya saat membantu Rasulullah ﷺ dan ayahnya dalam peristiwa hijrah. Selain dikenal pemberani, Asma’ juga merupakan teladan dalam keteguhan iman, kesabaran, serta kedermawanan yang menjadikannya contoh abadi bagi umat Islam, khususnya dalam hal sedekah dan kepedulian sosial.

Kisah Teladan Sedekah Asma’ binti Abu Bakar

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah ﷺ menasihati Asma’:

“Janganlah engkau hitung-hitung (sedekahmu), nanti Allah pun akan menghitung (pahala untukmu).”

Pesan ini menjadi pedoman hidup Asma’. Ia senantiasa membagikan apa yang dimilikinya, meski dalam keadaan terbatas. Baginya, memberi tidak pernah mengurangi harta, melainkan justru melipatgandakan keberkahan. Dari sinilah kita belajar bahwa teladan sedekah harta terletak pada keikhlasan, bukan pada jumlahnya.

gambar wanita mengenakan hijab dan cadar hitam dengan mata diblur sebagai ilustrasi Asma' binti Abu Bakar
Teladan sedekah dari Asma’ binti Abu Bakar (gambar hanya ilustrasi)

 

Ayat Al-Qur’an tentang Sedekah

Allah ﷻ berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 261:

“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir; pada setiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Ayat ini mempertegas keyakinan yang dipegang Asma’ binti Abu Bakar, bahwa sedekah adalah jalan untuk melipatgandakan kebaikan di dunia dan akhirat.

Kedermawanan Asma’ binti Abu Bakar adalah teladan sedekah yang abadi. Ia mengajarkan bahwa berbagi tidak membutuhkan kekayaan berlimpah, melainkan keyakinan pada janji Allah. Dengan menyisihkan sebagian rezeki melalui sedekah, infak, maupun wakaf, kita pun bisa mengikuti jejak kebaikan para sahabat Nabi.

Semangat kedermawanan yang dicontohkan Asma’ binti Abu Bakar bisa menjadi teladan sedekah bagi kita hari ini. Salah satu bentuk nyata adalah mendukung perjuangan para penghafal Al-Qur’an. PPTQ Al Muanawiyah saat ini tengah membangun gedung untuk para santri tahfidz. Dengan ikut berdonasi, kita tidak hanya beramal jariyah, tetapi juga turut menjaga generasi Qur’ani yang akan menjadi cahaya umat di masa depan. Mari salurkan sedekah terbaik kita untuk wakaf pondok tahfidz ini, agar pahala mengalir tiada henti.