Sejarah Tahlilan: Asal Usul, Perkembangan, dan Peran Wali Songo

Sejarah Tahlilan: Asal Usul, Perkembangan, dan Peran Wali Songo

Al MuanawiyahTradisi tahlilan merupakan salah satu praktik keagamaan yang sangat dikenal dalam komunitas Muslim Nusantara. Pembahasan tentang sejarah tahlilan tidak dapat dilepaskan dari proses masuknya Islam ke Jawa dan metode dakwah Wali Songo yang menyesuaikan ajaran Islam dengan budaya lokal. Sejumlah penelitian akademik menegaskan bahwa tahlilan berkembang melalui proses akulturasi antara nilai Islam dan tradisi selamatan masyarakat pra-Islam di Jawa.

Asal Usul dan Fakta Historis

Dalam studi ilmiah berjudul The Local Wisdom and Purpose of Tahlilan Tradition, para peneliti menyimpulkan bahwa tahlilan merupakan adaptasi dari tradisi selamatan Jawa yang kemudian diisi dengan dzikir, doa, serta bacaan Al-Qur’an. Data tersebut menunjukkan bahwa amalan ini bukan muncul tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan dialog budaya.

Penelitian lain dari beberapa jurnal pendidikan Islam mencatat bahwa masyarakat Jawa pada masa pra-Islam memiliki kebiasaan berkumpul setelah seseorang meninggal. Ketika Islam berkembang, Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga, mengubah tradisi tersebut menjadi majelis doa untuk almarhum. Dengan pendekatan ini, masyarakat tetap menjalankan kebiasaan sosial mereka, namun isi acaranya diarahkan pada ajaran tauhid dan doa-doa islami.

Peran Wali Songo dalam Membentuk Tradisi Tahlilan

Sunan Kalijaga dikenal sebagai ulama yang menggunakan strategi dakwah berbasis budaya. Dalam berbagai literatur sejarah, ia disebut mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam kesenian, wayang, hingga selamatan. Perubahan isi tradisi kematian menjadi tahlilan adalah bagian dari strategi tersebut.

Pendekatan kultural ini terbukti efektif. Karena tidak menolak tradisi secara frontal, masyarakat lebih mudah menerima Islam. Pada akhirnya, tahlilan menjadi salah satu ciri khas praktik keagamaan yang berkembang di pesantren dan desa-desa Jawa. Fakta ini juga ditegaskan dalam beberapa kajian antropologi Islam di Nusantara yang menyoroti peran Wali Songo dalam membentuk pola keberagamaan masyarakat.

gambar para pria duduk berkumpul untuk melakukan tahlilan
Potret tradisi tahlilan (sumber: news.detik.com)

Praktik Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat

Dalam praktiknya, tahlilan umumnya dilakukan ketika ada orang meninggal, terutama pada hari ke-3, ke-7, ke-40, hingga haul tahunan. Rangkaian acaranya meliputi:

  • Pembacaan surat-surat pendek atau Yasin

  • Dzikir dan tahlil berjamaah

  • Pembacaan sholawat

  • Doa untuk almarhum

Beberapa penelitian sosial menyebut bahwa fungsi tahlilan tidak hanya religius. Ia juga memperkuat solidaritas sosial, mempererat hubungan keluarga, serta menjadi medium penyampaian nilai-nilai moral kepada generasi muda.

Di sisi lain, terdapat kelompok yang memiliki pandangan berbeda terhadap tahlilan. Namun sejumlah ulama tradisional dan akademisi menekankan bahwa tradisi ini memiliki landasan kuat sebagai sarana doa, sedekah, dan kebersamaan—unsur yang dihargai dalam banyak ajaran Islam.

Jika ditinjau dari sejarah tahlilan, dapat dipahami bahwa praktik ini lahir dari proses akulturasi budaya dan strategi dakwah Wali Songo yang bijaksana. Tradisi tahlilan kemudian berkembang sebagai majelis doa untuk almarhum, sekaligus sarana memperkuat hubungan sosial dalam masyarakat. Dengan dukungan data sejarah dan kajian ilmiah, tahlilan menjadi bagian penting dari wajah Islam Nusantara yang damai dan penuh kearifan.

Siapa KH Bisri Syamsuri dan Apa Perannya dalam Berdirinya NU?

Siapa KH Bisri Syamsuri dan Apa Perannya dalam Berdirinya NU?

Dalam sejarah panjang Islam di Indonesia, nama KH Bisri Syamsuri menempati posisi penting. Sebagai salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan perintis kebangkitan pesantren di Nusantara. Membahasnya berarti menelusuri jejak seorang ulama yang berjuang tak hanya dengan ilmu, tetapi juga dengan keteladanan dan pengabdian untuk umat.

Asal-usul dan Pendidikan KH Bisri Syamsuri

KH Bisri Syamsuri lahir di Tayu, Pati, Jawa Tengah pada tahun 1886. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam mempelajari ilmu agama. Setelah menimba ilmu di pesantren daerahnya, beliau melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah bimbingan langsung KH Hasyim Asy’ari.
Dari sinilah hubungan guru dan murid itu tumbuh menjadi ikatan spiritual dan intelektual yang kuat. Beliau dikenal sebagai murid yang tekun dan cepat memahami persoalan fiqih serta ilmu alat.

foto KH Bisri Syamsuri pendiri Nahdlatul Ulama
Foto KH Bisri Syamsuri (Sumber: Laduni)

Perjuangan Sebelum Berdirinya NU

Sebelum NU resmi berdiri, beliau telah aktif berdakwah dan mendirikan majelis ilmu di berbagai daerah. Beliau memadukan metode tradisional pesantren dengan semangat pembaruan dalam dakwah.
Dalam masa-masa sulit penjajahan, beliau turut memperkuat kesadaran umat untuk mempertahankan akidah dan martabat bangsa melalui pendidikan Islam. Semangat keulamaan ini kelak menjadi fondasi kuat bagi berdirinya organisasi ulama terbesar di Indonesia.

Peran KH Bisri Syamsuri dalam Berdirinya NU

Ketika Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, beliau menjadi salah satu tokoh yang berperan dalam penyusunan dasar-dasar organisasi. Bersama KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan ulama lainnya, perannya tidak hanya administratif, tetapi juga ideologis. Beliau turut menanamkan nilai tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan) sebagai dasar sikap keagamaan NU. KH Bisri juga dikenal sebagai ulama yang sangat hati-hati dalam berfatwa, menjaga agar setiap keputusan berlandaskan pada Al-Qur’an, hadis, dan ijtihad ulama salaf.

Kiprah Pasca Berdirinya NU

Setelah berdirinya NU, beliau mendirikan Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang. Pesantren ini menjadi wadah pendidikan bagi generasi muda Islam yang ingin memperdalam ilmu agama sekaligus mengamalkan nilai-nilai ke-NU-an.
Beliau juga aktif mendampingi KH Hasyim Asy’ari dalam berbagai keputusan penting organisasi dan dakwah kebangsaan, termasuk dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Warisan dan Teladan KH Bisri Syamsuri

Warisan terbesar beliau adalah keteguhan menjaga kemurnian ajaran Islam dengan tetap berpijak pada akhlak. Dalam sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama, terlihat bagaimana beliau menyeimbangkan ilmu dan amal, kepemimpinan dan keteladanan.
Nilai-nilai inilah yang terus menjadi inspirasi pesantren-pesantren modern saat ini, termasuk PPTQ Al Muanawiyah Jombang, yang berupaya mencetak generasi santri berilmu, berakhlak, dan siap berdakwah di berbagai bidang.

Bagi para orang tua dan calon santri yang ingin meneladani semangat keilmuan dan keikhlasan KH Bisri Syamsuri, PPTQ Al Muanawiyah membuka kesempatan pendaftaran santri baru. Mari bersama melanjutkan perjuangan para ulama dengan menjadi bagian dari generasi penghafal Al-Qur’an dan penerus dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin.

Makna Islam Ahlussunnah wal Jamaah dalam Semangat Persatuan

Makna Islam Ahlussunnah wal Jamaah dalam Semangat Persatuan

Ahlussunnah wal jamaah adalah istilah yang telah mengakar kuat dalam sejarah peradaban Islam. Secara etimologis, “Ahlussunnah” berarti para pengikut sunnah Nabi Muhammad ﷺ, sedangkan “wal Jamaah” berarti golongan yang berpegang pada kesatuan umat. Dengan demikian, Istilah ini merujuk pada ajaran Islam yang mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, serta menjaga prinsip persatuan dan keseimbangan dalam kehidupan beragama.

Baca juga: Kurikulum Pondok Pesantren di Era Digital, Masihkah Relevan?

Sejarah Istilah Ahlussunnah wal Jamaah

Istilah ini mulai dikenal luas pada abad ke-2 Hijriah, ketika muncul berbagai aliran pemikiran dan tafsir dalam Islam. Para ulama pada masa itu berusaha meluruskan pemahaman umat agar tidak terpecah akibat perbedaan pandangan politik dan teologis. Salah satu tokoh penting dalam penguatan istilah ini adalah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, yang menegaskan pentingnya berpegang pada ajaran Rasul dan ijma’ ulama sebagai jalan tengah antara ekstrem rasionalisme dan literalisme.

Sebutan ini kemudian menjadi identitas utama mayoritas umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Nusantara. Para ulama seperti Walisongo dan tokoh-tokoh pesantren di Indonesia membawa ajaran ini sebagai dasar dalam menyebarkan Islam yang ramah, santun, dan berimbang antara akal dan dalil.

gambar walisongo
Gambar walisongo (sumber: gramedia)

Makna dan Nilai Ahlussunnah wal Jamaah

Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), dan tawasuth (jalan tengah). Dalam praktiknya, ajaran ini menghindari sikap fanatik berlebihan serta menolak kekerasan atas nama agama. Umat diajak untuk menjaga akidah yang lurus tanpa meninggalkan akhlak mulia dan kasih sayang terhadap sesama.

Di Indonesia, nilai-nilai ini menjadi ruh dari berbagai lembaga keagamaan, termasuk pondok pesantren. Di sanalah, santri belajar bukan hanya ilmu agama, tetapi juga makna kebersamaan dan tanggung jawab sosial.

Semangat Persatuan Umat Islam

Pada era modern, tantangan umat Islam semakin kompleks. Perbedaan pandangan kerap dijadikan alasan untuk saling menjatuhkan. Padahal, prinsip ini justru mengajarkan untuk menguatkan ukhuwah (persaudaraan) di tengah keberagaman. Dengan semangat jamaah, umat diharapkan bisa saling menghargai dan bekerja sama membangun peradaban Islam yang maju dan damai.

Sebagaimana pesan para ulama terdahulu, menjaga kesatuan lebih utama daripada memperdebatkan perbedaan kecil. Persatuan inilah yang menjadi kekuatan umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman.

Mari bersama memperdalam nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah melalui pendidikan dan dakwah yang menyejukkan. Kunjungi PPTQ Al Muanawiyah Jombang dan temukan bagaimana semangat ini terus hidup dalam jiwa para santri yang berjuang untuk ilmu dan persatuan umat.

Biografi KH Abdul Wahab Hasbullah Ulama yang Visioner

Biografi KH Abdul Wahab Hasbullah Ulama yang Visioner

Biografi KH Abdul Wahab Hasbullah mencerminkan sosok ulama yang cerdas, berani, dan berpandangan maju. Ia lahir di Tambakberas, Jombang, pada 31 Maret 1888. Sejak muda, semangat belajar dan kepekaannya terhadap masalah umat telah terlihat jelas. KH Wahab Hasbullah tumbuh dalam lingkungan pesantren yang sarat nilai perjuangan dan kecintaan pada ilmu.

Perjalanan pendidikannya dimulai di berbagai pesantren ternama di Jawa, hingga kemudian ia menimba ilmu di Makkah. Di tanah suci, beliau berinteraksi dengan banyak ulama besar yang memperluas wawasan keislaman dan kebangsaannya. Setelah kembali ke Indonesia, ia aktif mengajar, berdakwah, dan memperjuangkan kemerdekaan lewat jalur intelektual.

Baca juga: Siapa KH Bisri Syamsuri dan Apa Perannya dalam Berdirinya NU?

Perjuangan dalam Dunia Organisasi dan Kebangsaan

Selain dikenal sebagai ulama, KH Abdul Wahab Hasbullah juga merupakan tokoh penting dalam pendirian Nahdlatul Ulama (NU). Sebelum NU berdiri, beliau sudah membentuk organisasi Taswirul Afkar pada 1914 di Surabaya. Gerakan ini menjadi wadah diskusi bagi kaum muda Islam untuk membicarakan isu-isu sosial dan keagamaan. Inisiatif tersebut menunjukkan betapa jauhnya pandangan beliau tentang pentingnya pendidikan dan keterbukaan berpikir.

Pada 1926, bersama KH Hasyim Asy’ari dan para ulama lainnya, beliau mendirikan Nahdlatul Ulama. Peran KH Abdul Wahab Hasbullah begitu besar dalam membangun jaringan keulamaan dan memperkuat fondasi sosial keagamaan masyarakat. Ia juga dikenal sebagai penggagas Shalawat Nahdliyah dan penulis lirik “Yaa Lal Wathan”, sebuah lagu yang menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan santri.

foto tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Hasyim Asy'ari
Foto tiga tokoh pendiri Nahlatul Ulama, KH Bisri Syamsuri, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah (sumber: pngtree)

Teladan bagi Santri di Era Modern

Kini, nilai perjuangan dalam biografi KH Abdul Wahab Hasbullah masih sangat relevan. Di tengah kemajuan teknologi, santri dituntut meneladani semangat beliau yang menggabungkan ilmu agama dan wawasan kebangsaan. Beliau menunjukkan bahwa menjadi santri bukan berarti terkungkung di pesantren, tetapi justru harus aktif berkontribusi untuk masyarakat dan negara.

Melalui keteladanan dan pemikiran beliau, santri masa kini dapat belajar pentingnya berpikir kritis, terbuka, dan berakhlak mulia. Maka dari itu, mengenal biografi KH Abdul Wahab Hasbullah bukan sekadar memahami masa lalu, melainkan menumbuhkan semangat untuk berjuang dengan ilmu dan akhlak di masa depan.

Bagi yang ingin menapaki jejak perjuangan ulama dan menumbuhkan semangat belajar seperti para santri terdahulu, mari mulai langkahnya di PPTQ Al Muanawiyah Jombang. Kunjungi laman pendaftarannya dan jadilah bagian dari generasi Qurani yang tangguh serta berilmu.

Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama dan Perjuangan Santri

Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama dan Perjuangan Santri

Al MuanawiyahSejarah Nahdlatul Ulama menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Organisasi ini lahir dari semangat keagamaan dan kebangsaan para ulama di masa penjajahan. Saat itu, muncul kekhawatiran terhadap ancaman kolonial dan derasnya pengaruh modernisasi yang dapat melemahkan nilai-nilai Islam di Nusantara. Dari sinilah lahir gerakan besar yang kelak dikenal dengan Nahdlatul Ulama.

Awal Mula Berdirinya Nahdlatul Ulama

Pada awal abad ke-20, dunia Islam tengah menghadapi perubahan besar. Di satu sisi, muncul pembaruan pemikiran keagamaan yang cenderung rasional dan berorientasi ke Barat. Terjadinya penjajahan di berbagai wilayah Muslim, termasuk Indonesia, masih kuat menekan kehidupan sosial dan spiritual umat.

Atas dasar alasan itulah, para ulama pesantren di Jawa Timur merasa perlu membentuk wadah yang dapat menjaga ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Sekaligus memperjuangkan kemerdekaan umat. Salah satu tokoh sentralnya adalah KH Hasyim Asy’ari, ulama karismatik pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

Beliau bersama para kiai seperti KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syamsuri, dan sejumlah ulama pesantren lainnya menggagas lahirnya NU. Organisasi yang tidak hanya mengurus masalah agama, tetapi juga sosial, ekonomi, dan politik umat.

foto tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Hasyim Asy'ari
Foto tiga tokoh pendiri Nahlatul Ulama, KH Bisri Syamsuri, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah (sumber: pngtree)

Sejarah Terbentuknya NU

Sebelum berdirinya NU, para ulama telah membentuk berbagai organisasi pendahulu. Contohnya Nahdlatul Wathan (1916) yang bergerak di bidang pendidikan dan Taswirul Afkar (1918) yang menjadi wadah diskusi pemikiran Islam. Kedua organisasi ini menjadi fondasi penting bagi lahirnya gerakan yang lebih besar.

Setelah melalui berbagai musyawarah dan dukungan kuat dari jaringan pesantren, akhirnya organisasi Nahdlatul Ulama secara resmi didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M (16 Rajab 1344 H) di Surabaya, Jawa Timur.

Tujuan utama pendirian NU adalah untuk menjaga kemurnian ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Selain itu, tujuannya untuk memperjuangkan kemaslahatan umat di tengah perubahan zaman. Dalam perkembangannya, NU menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berperan besar dalam dunia pendidikan, sosial, dan perjuangan kemerdekaan.

Baca juga: Sejarah Hari Santri Nasional dari Resolusi Jihad

Peran dan Perjuangan Santri

Sejak awal berdirinya, Nahdlatul Ulama tidak hanya berfokus pada bidang keagamaan, tetapi juga menanamkan semangat kebangsaan. Para kiai dan santri NU ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu tonggak sejarahnya adalah fatwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Sebuah seruan untuk mempertahankan kemerdekaan yang akhirnya menjadi dasar penetapan Hari Santri Nasional.

Hingga kini, semangat perjuangan itu terus hidup dalam diri para santri dan kader NU di seluruh Indonesia. Mereka tidak hanya menuntut ilmu di pesantren, tetapi juga aktif dalam pembangunan bangsa melalui berbagai bidang — pendidikan, sosial, teknologi, dan dakwah.

Sejarah Nahdlatul Ulama lahir dari rahim perjuangan para ulama dan santri yang mencintai tanah air. Kini, tugas generasi muda adalah meneruskan perjuangan tersebut. Menjaga tradisi Islam yang rahmatan lil ‘alamin, memperkuat ilmu dan akhlak, serta membawa nilai-nilai pesantren ke tengah masyarakat modern.

Karena perjuangan para kiai dan santri tidak berhenti di masa lalu — ia terus berlanjut dalam setiap langkah santri yang menebar ilmu dan kebaikan di era sekarang.

Sejarah Hari Santri Nasional dari Resolusi Jihad

Sejarah Hari Santri Nasional dari Resolusi Jihad

Hari Santri Nasional lahir dari penghormatan terhadap perjuangan para santri dan ulama dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejarahnya berawal dari Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), pada 22 Oktober 1945 di Surabaya.
Resolusi ini menyerukan kewajiban jihad bagi setiap Muslim untuk mempertahankan tanah air dari penjajahan. Seruan itu menjadi pemicu semangat perlawanan rakyat Indonesia, terutama dalam Pertempuran 10 November 1945.

Resolusi Jihad dalam Sejarah Hari Santri Nasional

Isi resolusi yang disampaikan KH. Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa berjuang melawan penjajah adalah fardhu ‘ain, kewajiban bagi setiap Muslim yang berada di sekitar daerah konflik. Seruan tersebut dibacakan di hadapan para kiai dan santri se-Jawa dan Madura, lalu disebarkan ke seluruh pesantren.
Para santri pun turun ke medan laga. Mereka tidak hanya membawa senjata bambu runcing, tapi juga semangat jihad dan cinta tanah air. Dari sinilah muncul istilah “santri pejuang”, yang menggabungkan kekuatan iman dan nasionalisme.

Baca juga: 5 Pahlawan Santri dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

gambar ilustrasi pejuang santri
Ilustrasi sejarah hari santri nasional (sumber: ChatGPT)

Pengakuan sebagai Hari Nasional

Meski peristiwa Resolusi Jihad sangat bersejarah, pengakuan resmi terhadap Hari Santri baru terjadi puluhan tahun kemudian.
Pada 2015, Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 yang menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Penetapan ini bukan sekadar bentuk penghargaan, melainkan juga pengingat bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya hasil perjuangan militer dan diplomasi, tetapi juga kekuatan spiritual dari pesantren.

Keputusan tersebut disambut hangat oleh berbagai kalangan pesantren dan organisasi Islam di Indonesia. Sejak itu, setiap tanggal 22 Oktober diperingati secara nasional dengan upacara, kirab santri, dan kegiatan keagamaan.
Hari Santri menjadi simbol persatuan dan bukti bahwa nilai-nilai keislaman mampu berperan besar dalam membentuk semangat kebangsaan Indonesia.

Sejarah Hari Santri Nasional bukan sekadar catatan perjuangan masa lalu, melainkan cermin semangat yang perlu terus dihidupkan. Semangat jihad dan pengabdian para santri harus menjadi inspirasi untuk berkontribusi di masa kini. Gelar “santri” hendaknya tidak hanya melekat pada identitas, tetapi juga tumbuh sebagai arah dan semangat gerak perubahan. Dengan meneladani perjuangan KH. Hasyim Asy’ari dan para santri terdahulu, generasi hari ini diharapkan mampu menghadirkan nilai-nilai keikhlasan, keberanian, dan pengabdian di tengah masyarakat.

Sejarah KH Hasyim Asy’ari dan Jejak Perjuangannya di Jombang

Sejarah KH Hasyim Asy’ari dan Jejak Perjuangannya di Jombang

Latar Belakang dan Pendidikan Awal KH Hasyim Asy’ari

Sejarah KH Hasyim Asy’ari dimulai pada 14 Februari 1871 di Desa Gedang, Jombang “Kota Santri”. Beliau lahir dari keluarga ulama, KH Asy’ari dan Nyai Halimah, yang sudah terbiasa dengan tradisi pesantren. Sejak kecil, beliau belajar di berbagai pesantren di Jawa Timur, termasuk Pesantren Wonokoyo, Pesantren Langitan, dan Pesantren Siwalan Panji.

Pada usia muda, KH Hasyim Asy’ari berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu. Selama tujuh tahun di tanah suci, beliau berguru kepada ulama terkemuka, salah satunya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Dari pengalaman itu, beliau memiliki dasar keilmuan yang kuat dalam bidang fikih, hadits, tafsir, dan tasawuf.

Mendirikan Pesantren Tebuireng

Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1899, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng. Pesantren ini kemudian berkembang pesat, menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Jawa Timur. Selain mempelajari kitab kuning, para santri juga dilatih kemandirian, disiplin, dan kepedulian sosial.

Melalui Pesantren Tebuireng, jaringan dakwah Islam di Jawa Timur semakin luas. Banyak alumni yang kemudian mendirikan pesantren baru di daerahnya masing-masing. Dengan demikian, peran KH Hasyim Asy’ari tidak hanya mencetak ulama, tetapi juga membangun jaringan pendidikan yang berpengaruh hingga ke seluruh Nusantara.

Foto sejarah KH Hasyim Asy'ari, ulama pendiri Nahdlatul Ulama, tokoh perjuangan Islam dan kemerdekaan Indonesia.
KH Hasyim Asy’ari, sosok pendiri Nahdlatul Ulama dan Pondok Tebuireng Jombang

Perjuangan Organisasi dan Kemerdekaan

Pada 1926, KH Hasyim Asy’ari memimpin berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini berfungsi sebagai wadah perjuangan ulama pesantren untuk menjaga ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sekaligus merespons perubahan zaman.

Dalam bidang keilmuan, beliau menekankan pentingnya keteladanan. Salah satu nasihatnya yang tercantum dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim adalah:

“Hendaknya seorang penuntut ilmu mensucikan hatinya dari akhlak tercela agar ia layak menerima ilmu.”

Tidak hanya di bidang pendidikan, pahlawan santri pendiri salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia ini juga ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan. Pada Oktober 1945, beliau mengeluarkan fatwa jihad yang melahirkan Resolusi Jihad. Fatwa ini mendorong kaum santri untuk ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang kemudian berpengaruh pada pertempuran 10 November di Surabaya.

Baca juga: Pentingnya Mempelajari Kitab Kuning di Pondok Pesantren

Karya-Karya Penting KH Hasyim Asy’ari

Selain melalui pesantren dan organisasi, beliau juga meninggalkan karya tulis yang hingga kini masih dipelajari di pesantren. Beberapa di antaranya adalah:

  • Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim (etika guru dan murid dalam mencari ilmu).

  • Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (prinsip akidah Ahlussunnah).

  • Mukaddimah al-Qanun al-Asasi (prinsip dasar organisasi NU).

  • al-Tanbihat al-Wajibat (nasihat kewajiban seorang muslim).

  • al-Dzakhirah al-Mursalah (tentang tauhid dan akidah Islam).

Karya-karya ini menunjukkan bahwa pemikiran beliau bukan hanya untuk zamannya, melainkan juga relevan bagi generasi setelahnya.

Warisan yang Tetap Hidup

KH Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947 di Jombang dan dimakamkan di Pesantren Tebuireng. Hingga kini, warisan beliau tetap hidup melalui pesantren, organisasi NU, karya tulis, serta jaringan ulama dan santri yang terus melanjutkan perjuangan beliau.

Sejarah KH Hasyim Asy’ari memperlihatkan bahwa peran seorang ulama tidak hanya terbatas pada pendidikan agama, tetapi juga meliputi dakwah, perjuangan politik, dan pembangunan masyarakat. Beliau menjadi teladan bagaimana ilmu, amal, dan perjuangan bisa menyatu demi kemaslahatan umat dan bangsa.