Hangatnya Perayaan Hari Guru Nasional 2025 di Al Muanawiyah

Hangatnya Perayaan Hari Guru Nasional 2025 di Al Muanawiyah

Peringatan Hari Guru Nasional 2025 di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah pada Selasa, 25 November 2025 lalu berlangsung dengan penuh khidmat dan kehangatan. Seluruh rangkaian acara dirancang untuk menegaskan kembali peran strategis para guru dalam membentuk karakter, kecerdasan, dan akhlak para santri. Nuansa penghormatan terlihat sejak pagi, saat seluruh civitas pesantren berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara resmi.

Upacara tersebut memiliki keunikan tersendiri, karena sebagian besar petugasnya adalah para guru. Hal ini menjadi simbol dedikasi dan kekompakan para pendidik dalam menuntun para santri menuju masa depan yang lebih baik. Setelah pengibaran bendera dan penyampaian amanat, acara dilanjutkan dengan persembahan dari para murid sebagai bentuk penghargaan dan rasa terima kasih kepada guru-guru tercinta.

gambar upacara prngibaran bendera hari guru nasional 2025
Upacara Hari Guru Nasional 2025 PPTQ Al Muanawiyah

Persembahan Santri untuk Guru: Puisi, Musik, dan Tari

Rangkaian persembahan dimulai dengan pembacaan puisi oleh Ananda Zahro, yang tampil penuh penghayatan. Puisi tersebut diiringi lantunan piano yang dimainkan oleh Ananda Syafaah dan Ananda Imah, menciptakan suasana teduh yang menyentuh hati para hadirin. Pesan-pesan tentang perjuangan guru, keteguhan hati, serta keikhlasan mereka dalam mengajar terasa kuat dalam setiap bait.

Persembahan berikutnya menampilkan lagu “Bertaut”, dibawakan oleh Ananda Nana sebagai vokalis dan diiringi petikan gitar lembut dari Ananda Lintang. Kolaborasi ini menghadirkan momen haru yang memadukan apresiasi dan kedekatan emosional antara santri dan guru. Banyak hadirin yang terlihat tersenyum bangga, sekaligus terharu dengan bakat dan ketulusan para santri.

Baca juga: Santri Melek Teknologi Bukti Adaptasi Pesantren di Era Modern

Sebagai penutup, para murid menampilkan sebuah tari persembahan. Gerakan yang anggun dan teratur mencerminkan rasa hormat sekaligus kegembiraan dalam merayakan Hari Guru Nasional 2025. Tarian ini menjadi simbol bahwa ilmu, adab, dan seni adalah bagian dari satu kesatuan pendidikan di Al Muanawiyah.

beberapa santri putri menari tradisional dalam perayaan hari guru nasional 2025
Persembahan tari dari santri PPTQ Al Muanawiyah

Makna dan Pesan Semangat di Hari Guru Nasional 2025

Perayaan tahun ini bukan sekadar rangkaian acara, tetapi juga momen refleksi bagi seluruh warga pesantren. Para guru menerima penghargaan ini dengan rendah hati, sembari mengingat kembali bahwa tugas mendidik adalah amanah yang tidak pernah berhenti.

Baca juga: Puncak HSN 2025 Al Muanawiyah, Persembahan Semangat Santri

Peringatan Hari Guru Nasional 2025 di Al Muanawiyah menggambarkan sinergi antara guru dan santri dalam lingkungan pendidikan yang penuh nilai. Melalui seni, musik, dan rasa hormat, para santri belajar untuk menghargai perjuangan guru. Sementara itu, para guru pun mendapatkan energi baru untuk terus berkarya, mendidik, dan membimbing.

Acara ini menjadi bukti bahwa penghormatan bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga tentang kesadaran kolektif untuk terus menjaga hubungan yang saling menguatkan antara pendidik dan peserta didik.

Sejarah Pondok Tahfidz di Indonesia

Sejarah Pondok Tahfidz di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dan tradisi menghafal Al-Qur’an telah mengakar kuat sejak masa para ulama terdahulu. Berdasarkan penelitian Puslitbang Lektur Keagamaan (2003–2005), ditemukan sekitar 250 naskah Al-Qur’an tulisan tangan di berbagai daerah di Nusantara. Naskah-naskah tersebut merupakan karya para ulama Indonesia yang diyakini juga hafal Al-Qur’an 30 juz. Tradisi ini menunjukkan betapa mulianya peran hafidz di masa itu—mereka bukan hanya penghafal, tapi juga penjaga orisinalitas mushaf suci.

Pada masa awal, kegiatan Hifzul Qur’an biasanya dilakukan secara pribadi melalui bimbingan seorang guru. Jika pun berlangsung di lembaga, biasanya itu di pesantren umum yang kebetulan memiliki kiai hafidz. Namun, seiring waktu, beberapa ulama mulai merintis lembaga khusus tahfidzul Qur’an, yang kelak dikenal sebagai pondok tahfidz.

Perintis Pondok Tahfidz di Indonesia

Salah satu tokoh penting dalam sejarah pondok tahfidz di Indonesia adalah KH. Muhammad Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Beliau belajar di Makkah dan Madinah selama enam belas tahun, mendalami ilmu qira’at sab’ah serta tafsir. Setelah kembali ke tanah air, pada tahun 1909 M KH. Munawwir merintis pesantren yang khusus mengajarkan hafalan Al-Qur’an, dan pada 1910 M mulai membuka pengajaran tahfidz untuk para santri.

Metode pengajaran yang beliau terapkan memiliki ciri khas tersendiri:

  1. Tahapan pembelajaran bertingkat — dimulai dari bin-nazar (membaca fasih), bil-ghaib (menghafal), hingga Qira’ah Sab’ah (variasi bacaan Al-Qur’an).

  2. Penekanan pada fasahah dan murattal — setiap santri dilatih membaca secara tartil dan benar makhraj hurufnya sebelum menghafal secara penuh.

Model pembelajaran ini kemudian menjadi acuan hampir seluruh pesantren Al-Qur’an di Jawa, dan bahkan hingga kini masih digunakan di berbagai pondok tahfidz di Indonesia.

foto KH Ahmad Munawwir pendiri Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta
Foto KH. M. Munawwir (sumber: www.mahadalyjakarta.com)

Perkembangan Pondok Tahfidz di Era Modern

Perkembangan pondok tahfidz semakin pesat setelah tahun 1981, ketika cabang tahfidzul Qur’an resmi dimasukkan ke dalam ajang Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) nasional. Sejak saat itu, banyak pesantren yang menambah kurikulum tahfidz, baik di pesantren salafiyah maupun lembaga takhasus yang berdiri mandiri. Selain menghafal, para santri kini juga mempelajari ulumul Qur’an dan tafsir sebagai bekal memahami makna ayat-ayat suci.

Di berbagai daerah, termasuk Jombang, semangat ini terus hidup. Banyak lembaga pendidikan Islam yang mendirikan pondok tahfidz modern, menggabungkan metode tradisional khas pesantren dengan sistem pendidikan formal.

Baca juga: Santri Al Muanawiyah Bersinar di Lomba Keagamaan Islam 2025

Dakwah dan Tahfidz di Jombang

Kabupaten Jombang dikenal sebagai “kota santri”, tempat lahir dan tumbuhnya banyak pondok pesantren besar. Salah satu lembaga yang turut melanjutkan tradisi tersebut adalah PPTQ Al Muanawiyah, yang berfokus pada pendidikan tahfidz sekaligus pengembangan karakter dan ilmu agama. Melalui program terarah, para santri tidak hanya menjadi penghafal, tetapi juga siap berdakwah dengan akhlak dan ilmu yang mendalam.

Sejarah pondok tahfidz di Indonesia merupakan bukti nyata betapa bangsa ini telah lama berperan dalam menjaga kemurnian Al-Qur’an. Dari ulama perintis seperti KH. Munawwir hingga pondok-pondok modern di Jombang, semangat mencetak generasi hafidz Qur’an terus diwariskan dari masa ke masa.

Ingin anak Anda tumbuh menjadi penghafal Al-Qur’an yang berilmu dan berakhlak?
Mari bergabung bersama PPTQ Al Muanawiyah Jombang, pondok tahfidz yang memadukan tradisi, ilmu, dan akhlak Islami.

Refleksi Semangat Santri dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober

Refleksi Semangat Santri dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober

Sejarah Singkat Sumpah Pemuda

Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Sumpah Pemuda, peristiwa penting yang menjadi tonggak persatuan nasional. Pada Kongres Pemuda II tahun 1928 di Jakarta, para pemuda dari berbagai daerah berikrar satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa — Indonesia. Ikrar itu menegaskan tekad generasi muda untuk bersatu melawan penjajahan dan membangun identitas bangsa yang merdeka.

Semangat yang lahir adalah semangat kebersamaan, perjuangan, dan tanggung jawab untuk menjaga keutuhan bangsa. Nilai-nilai itu tetap relevan hingga hari ini, terutama bagi kalangan santri yang juga memiliki semangat juang dalam menegakkan ilmu dan akhlak.

teks sumpah pemuda
Teks sumpah pemuda (sumber: rri.co.id/canva)

Santri dan Semangat Persatuan

Santri adalah bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa. Di masa sebelum kemerdekaan, banyak santri yang ikut memperjuangkan kemerdekaan melalui jalan dakwah, pendidikan, dan perlawanan terhadap penjajah. Mereka berjuang tidak hanya dengan senjata, tetapi juga dengan ilmu dan doa.

Kini, semangat Sumpah Pemuda menjadi pengingat bahwa santri pun harus menjaga persatuan dan terus berkontribusi bagi Indonesia. Persatuan tidak hanya berarti satu bahasa atau satu bangsa, tetapi juga kesatuan visi dalam menebar manfaat. Santri di pondok pesantren seperti PPTQ Al Muanawiyah diajarkan untuk menjadi generasi Qur’ani yang cinta tanah air, berakhlak, dan siap berkhidmah kepada umat.

Baca juga: Teladan Hari Pahlawan: Perjuangan Islam di Masa Walisongo

Refleksi Semangat Sumpah Pemuda bagi Santri

Makna Sumpah Pemuda bagi santri adalah panggilan untuk bersatu dalam kebaikan dan ilmu. Di tengah tantangan zaman digital, santri dituntut tetap menjaga adab dan nilai-nilai Qur’ani. Menghafal Al-Qur’an, berdakwah dengan hikmah, serta berinovasi dalam karya adalah bentuk nyata perjuangan santri masa kini.

Seperti para pemuda 1928 yang berani bermimpi besar, santri juga perlu memiliki tekad yang sama — membangun Indonesia dengan cahaya Al-Qur’an. Melalui hafalan, pendidikan, dan semangat kewirausahaan Islami, santri modern menjadi pahlawan dalam menebar keberkahan dan menjaga moral bangsa.

Di momentum Sumpah Pemuda, mari seluruh santri memperbaharui tekad: bersatu dalam iman, berkarya dengan ilmu, dan berjuang demi kemaslahatan umat. Sebab, sejatinya semangat pemuda yang sejati adalah semangat yang berakar pada keimanan dan keteguhan hati.

Sunan Gresik: Pelopor Dakwah Islam di Tanah Jawa

Sunan Gresik: Pelopor Dakwah Islam di Tanah Jawa

Al MuanawiyahDalam catatan sejarah Islam dan Walisongo, nama Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim selalu disebut pertama sebagai pelopor dakwah Islam di tanah Jawa. Beliau dikenal sebagai tokoh penyebar Islam yang datang dengan damai, penuh kasih, dan sarat kebijaksanaan. Melalui pendekatan sosial dan pendidikan, beliau meletakkan fondasi kuat bagi berkembangnya Islam di Nusantara.

Biografi Singkat Sunan Gresik

Sunan Gresik diyakini berasal dari Samarkand, Asia Tengah. Ia datang ke Nusantara sekitar akhir abad ke-14 M, saat masyarakat Jawa masih banyak menganut kepercayaan Hindu-Buddha. Setelah singgah di Champa (Vietnam), beliau melanjutkan perjalanan dakwah ke Gresik, Jawa Timur. Di kota inilah beliau menetap, menikah dengan seorang wanita lokal, dan mulai berdakwah kepada masyarakat dengan pendekatan yang lembut.

Beliau tidak hanya dikenal sebagai ulama, tetapi juga seorang ahli pengobatan dan pertanian. Dengan kemampuan itu, beliau membantu masyarakat memperbaiki sistem hidup mereka. Pendekatan sosial tersebut membuat ajaran Islam diterima tanpa konflik. Sunan Gresik wafat pada tahun 1419 M dan dimakamkan di Gresik. Makamnya hingga kini menjadi tempat ziarah umat Islam dari berbagai daerah.

gambar Sunan Gresik Walisongo
Gambar Sunan Gresik (Sumber: Jakarta Islamic Centre)

Jejak Perjuangan Dakwah

Perjuangan beliau dimulai dari hal-hal sederhana. Ia mengajarkan kebersihan, kejujuran dalam berdagang, serta semangat gotong royong. Melalui keteladanan, ia mengubah pola pikir masyarakat Jawa yang kala itu masih kental dengan kepercayaan lama. Dakwahnya tidak memaksa, tetapi menuntun dengan akhlak mulia.

Selain berdakwah, Sunan Gresik juga membangun pesantren sederhana sebagai pusat pendidikan Islam pertama di Jawa. Dari pesantren inilah ajaran Islam mulai menyebar ke berbagai wilayah, melahirkan generasi penerus seperti Sunan Ampel dan para wali lainnya yang kemudian dikenal sebagai Walisongo.

Baca juga: Teladan KH Hasyim Asy’ari Inspirasi Santri di Era Modern

Teladan dari Sunan Gresik

Teladan terbesar dari beliau adalah kesabarannya dalam berdakwah dan kepeduliannya terhadap kesejahteraan masyarakat. Beliau menunjukkan bahwa dakwah tidak hanya melalui kata-kata, tetapi juga dengan perbuatan nyata. Ketulusan dan kearifannya menjadi pelajaran penting bagi umat Islam masa kini: menyebarkan kebaikan tanpa memandang suku, budaya, atau latar belakang.

Semangat dakwah beliau mengajarkan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil yang dilakukan dengan ikhlas. Dalam kehidupan modern, teladan ini relevan untuk menumbuhkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan empati dalam bermasyarakat.

Mari kenali lebih dalam Sejarah Islam dan Walisongo sebagai warisan besar yang menginspirasi generasi Muslim Indonesia untuk terus menebarkan cahaya ilmu dan kebaikan.

Makna Islam Ahlussunnah wal Jamaah dalam Semangat Persatuan

Makna Islam Ahlussunnah wal Jamaah dalam Semangat Persatuan

Ahlussunnah wal jamaah adalah istilah yang telah mengakar kuat dalam sejarah peradaban Islam. Secara etimologis, “Ahlussunnah” berarti para pengikut sunnah Nabi Muhammad ﷺ, sedangkan “wal Jamaah” berarti golongan yang berpegang pada kesatuan umat. Dengan demikian, Istilah ini merujuk pada ajaran Islam yang mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, serta menjaga prinsip persatuan dan keseimbangan dalam kehidupan beragama.

Baca juga: Kurikulum Pondok Pesantren di Era Digital, Masihkah Relevan?

Sejarah Istilah Ahlussunnah wal Jamaah

Istilah ini mulai dikenal luas pada abad ke-2 Hijriah, ketika muncul berbagai aliran pemikiran dan tafsir dalam Islam. Para ulama pada masa itu berusaha meluruskan pemahaman umat agar tidak terpecah akibat perbedaan pandangan politik dan teologis. Salah satu tokoh penting dalam penguatan istilah ini adalah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, yang menegaskan pentingnya berpegang pada ajaran Rasul dan ijma’ ulama sebagai jalan tengah antara ekstrem rasionalisme dan literalisme.

Sebutan ini kemudian menjadi identitas utama mayoritas umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Nusantara. Para ulama seperti Walisongo dan tokoh-tokoh pesantren di Indonesia membawa ajaran ini sebagai dasar dalam menyebarkan Islam yang ramah, santun, dan berimbang antara akal dan dalil.

gambar walisongo
Gambar walisongo (sumber: gramedia)

Makna dan Nilai Ahlussunnah wal Jamaah

Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), dan tawasuth (jalan tengah). Dalam praktiknya, ajaran ini menghindari sikap fanatik berlebihan serta menolak kekerasan atas nama agama. Umat diajak untuk menjaga akidah yang lurus tanpa meninggalkan akhlak mulia dan kasih sayang terhadap sesama.

Di Indonesia, nilai-nilai ini menjadi ruh dari berbagai lembaga keagamaan, termasuk pondok pesantren. Di sanalah, santri belajar bukan hanya ilmu agama, tetapi juga makna kebersamaan dan tanggung jawab sosial.

Semangat Persatuan Umat Islam

Pada era modern, tantangan umat Islam semakin kompleks. Perbedaan pandangan kerap dijadikan alasan untuk saling menjatuhkan. Padahal, prinsip ini justru mengajarkan untuk menguatkan ukhuwah (persaudaraan) di tengah keberagaman. Dengan semangat jamaah, umat diharapkan bisa saling menghargai dan bekerja sama membangun peradaban Islam yang maju dan damai.

Sebagaimana pesan para ulama terdahulu, menjaga kesatuan lebih utama daripada memperdebatkan perbedaan kecil. Persatuan inilah yang menjadi kekuatan umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman.

Mari bersama memperdalam nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah melalui pendidikan dan dakwah yang menyejukkan. Kunjungi PPTQ Al Muanawiyah Jombang dan temukan bagaimana semangat ini terus hidup dalam jiwa para santri yang berjuang untuk ilmu dan persatuan umat.

Pendidikan Pesantren Al Muanawiyah Siapkan Pemimpin Muslim

Pendidikan Pesantren Al Muanawiyah Siapkan Pemimpin Muslim

Al MuanawiyahHari Santri Nasional 2025 menjadi momentum untuk kembali meneguhkan arah pendidikan pesantren. Di tengah derasnya arus informasi dan konten digital, santri diharapkan mampu menjaga aqidah dan jati diri Islam. Tantangan di era baru ini bukan hanya tentang kemampuan berpikir kritis, tetapi juga keteguhan hati dalam menghadapi pengaruh pemikiran yang menyesatkan.

Menjaga Aqidah di Tengah Arus Konten Digital

Di masa kini, konten media sosial berlari begitu cepat. Semua ingin menjadi viral, memburu FYP, namun sering kali kehilangan makna dan konteks. Di sinilah pentingnya peran santri sebagai penjaga keseimbangan. Santri bukan hanya diajarkan untuk membaca dan menghafal, tapi juga memahami nilai-nilai kebenaran agar tidak terbawa arus informasi yang menyesatkan.

gamabr para santri sedang berdoa ilustrasi pendidikan pesantren
Pendidikan pesantren Al Muanawiyah yang mengedepankan adab dan keilmuan

Pendidikan pesantren Al Muanawiyah menanamkan prinsip bahwa ilmu harus dibarengi dengan adab dan aqidah yang lurus. Dengan bekal ini, santri dapat memilah mana pemikiran yang membawa manfaat dan mana yang justru menjauhkan dari kebenaran.

Baca juga: Refleksi Makna Hari Santri Nasional 2025 di Era Digital

Santri Aktif, Zaman Pun Tak Takut Dihadapi

Menjadi santri berarti siap untuk ikut aktif dalam perubahan zaman. Di era kebaruan ini, santri dituntut untuk mampu berpikir luas tanpa meninggalkan akar keislamannya. Di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Muanawiyah, setiap kegiatan dirancang agar santri belajar bertanggung jawab, disiplin, dan mandiri — mulai dari ibadah harian hingga pembelajaran formal. Manfaat mondok bukan hanya untuk mendapatkan ijazah, tetapi juga membiasakan amalan yang baik dalam keseharian santri.

Semangat kebersamaan, kesabaran, dan keikhlasan menjadi bahan bakar utama perjuangan mereka. Di sinilah nilai pendidikan pesantren bersinar: membentuk pribadi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga tangguh secara spiritual dan emosional.

Melangkah Bersama Cahaya Ilmu

Berdirinya Al Muanawiyah bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan gerakan mencetak generasi yang siap memperbaiki kebaharuan. Santri diajak untuk selalu memperbarui diri tanpa kehilangan arah. Mereka belajar bahwa menjaga aqidah bukan berarti menutup diri, tetapi menghadirkan nilai-nilai Islam di tengah kemajuan zaman.

Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan dan kemampuan kepada para santri untuk terus melangkah di jalan ilmu dan perjuangan ini. Karena dari pesantrenlah lahir generasi yang bukan hanya pintar berbicara, tetapi juga berani menjaga kebenaran.

Refleksi Makna Hari Santri Nasional 2025 di Era Digital

Refleksi Makna Hari Santri Nasional 2025 di Era Digital

Al MuanawiyahHari Santri Nasional 2025 bukan sekadar peringatan tahunan, melainkan momentum untuk meneguhkan kembali semangat perjuangan santri di tengah arus globalisasi. Setiap tanggal 22 Oktober, gema shalawat dan pekik takbir mengingatkan bangsa ini pada satu hal: bahwa kemerdekaan Indonesia tak lepas dari kontribusi besar para santri dan ulama.

Nilai perjuangan itu tidak hanya terpatri di masa lalu. Kini, ia menuntut untuk dihidupkan kembali melalui peran santri dalam menghadapi tantangan zaman digital.

Sejarah Hari Santri Nasional

Penetapan Hari Santri Nasional bermula dari peristiwa bersejarah Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang dipelopori oleh KH Hasyim Asy’ari. Seruan jihad tersebut membakar semangat rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan.

Melalui perjuangan itulah, santri dikenal bukan hanya sebagai penuntut ilmu agama, tetapi juga sebagai pejuang yang menggabungkan iman, ilmu, dan cinta tanah air. Maka, Hari Santri menjadi simbol sinergi antara keislaman dan keindonesiaan yang tidak terpisahkan.

foto para santri dan guru PPTQ Al Muanawiyah upacara agustus
Ilustrasi semangat juang di hari santri nasional 2025

Santri dan Tantangan Zaman Digital

Di era digital, medan perjuangan santri telah bergeser. Dulu mereka mengangkat bambu runcing, kini mereka mengangkat pena dan gawai. Dunia maya menjadi ruang dakwah baru bagi generasi santri milenial untuk menyebarkan nilai Islam yang damai, jujur, dan berakhlak. Namun, tantangan juga semakin besar. Informasi yang begitu cepat menuntut kecerdasan dalam memilah dan menyaring kebenaran. Santri harus menjadi pelita di tengah gelapnya arus informasi yang menyesatkan.

Baca juga: Mengapa Tradisi Keilmuan Salaf Tetap Relevan di Era Digital

Jihad santri masa kini bukan lagi di medan perang, melainkan di medan ilmu dan teknologi. Mereka dituntut berinovasi, berprestasi, serta berkontribusi nyata bagi masyarakat. Semangat jihad itu diwujudkan dalam ketekunan belajar, etika bermedia, dan keikhlasan dalam setiap langkah pengabdian. Pesantren sebagai rumah ilmu memiliki peran penting untuk menyiapkan generasi santri yang cakap digital sekaligus berakhlakul karimah.

Makna Hari Santri Nasional 2025 adalah ajakan bagi seluruh santri Indonesia untuk terus meneladani semangat perjuangan para ulama terdahulu. Dari pesantren hingga ruang digital, santri harus hadir membawa nilai-nilai kejujuran, kemandirian, dan cinta tanah air. Karena di tangan para santrilah masa depan bangsa akan tetap terjaga dengan cahaya ilmu dan akhlak yang mulia.

Syarat Puasa Qadha dan Fidyah Puasa Ramadhan

Syarat Puasa Qadha dan Fidyah Puasa Ramadhan

Al MuanawiyahPuasa Ramadhan merupakan ibadah wajib bagi setiap Muslim yang telah baligh, berakal, dan mampu. Namun, dalam kondisi tertentu, seseorang diperbolehkan tidak berpuasa dan wajib menggantinya di hari lain.  Dalam Islam, hal ini dikenal dengan istilah puasa qadha. Apalagi Ramadan tahun 2026 (1447 H) tinggal menghitung hari, diperkirakan mulai pada 18 Februari 2026.  Agar pelaksanaannya sah dan berpahala, penting memahami syarat puasa qadha beserta ketentuannya.

Siapa Saja yang Wajib Qadha Puasa?

Beberapa golongan diperbolehkan meninggalkan puasa Ramadhan, namun tetap diwajibkan menggantinya di luar bulan tersebut, antara lain:

  1. Perempuan yang haid atau nifas – tidak boleh berpuasa selama masa haid, dan wajib menggantinya setelah suci.

  2. Orang sakit sementara – boleh tidak berpuasa jika khawatir memperburuk kondisi kesehatannya, namun wajib qadha setelah sembuh.

  3. Musafir (orang yang bepergian jauh) – diperbolehkan berbuka, tetapi wajib mengganti di hari lain.

  4. Orang yang tua – yang tidak berkemampuan untuk puasa.

  5. Orang yang membatalkan puasa karena atau bukan karena sebab syar’i – misal hamil, menyusui, atau seseorang yang dilanda rasa lapar atau haus yang ekstrem.

Syarat dan Aturan Melaksanakan Puasa Qadha

Syarat sah puasa qadha hampir sama dengan puasa Ramadhan. Di antaranya:

  • Beragama Islam, berakal, dan suci dari haid atau nifas.

  • Membaca niat di malam hari sebelum fajar.

  • Tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, atau berhubungan suami istri di siang hari.

Puasa qadha dapat dilakukan kapan saja, kecuali pada hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan hari tasyrik.

gambar tangan menggenggam kantung beras
Ilustrasi fidyah puasa (sumber: freepik.com)

Kapan Wajib Qadha dan Fidyah Sekaligus?

Dalam beberapa kondisi, seseorang tidak hanya wajib qadha, tetapi juga membayar fidyah. Fidyah adalah denda berupa memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkan. Besar fidyah puasa adalah satu mud makanan pokok per hari yang ditinggalkan, setara dengan sekitar 675 gram atau 6,75 ons.

Kewajiban qadha disertai fidyah berlaku jika:

  • Seseorang membatalkan puasa Ramadhan dengan sengaja.

  • Seseorang menunda qadha puasa hingga datang Ramadhan berikutnya tanpa uzur yang dibenarkan.

  • Perempuan hamil atau menyusui yang tidak berpuasa karena khawatir terhadap kondisi bayinya saja wajib mengganti dengan fidyah. Namun, bila kekhawatiran itu menyangkut dirinya sendiri atau dirinya dan bayinya sekaligus, maka cukup mengganti puasanya di hari lain sebanyak hari yang ditinggalkan. (kepri.nu.or.id)

Namun, bagi yang tidak memungkinkan melakukan puasa qadha, seperti orang yang sakit berkepanjangan, boleh membayar fidyah saja.

Baca juga: Syarat Wajib dan Syarat Sah Puasa yang Harus Diketahui

Melunasi hutang puasa bukan sekadar mengganti hari yang terlewat, tetapi juga bukti ketaatan kepada Allah. Secara spiritual, puasa qadha membersihkan hati dari kelalaian dan memperkuat komitmen ibadah. Secara ilmiah, ritme puasa yang teratur membantu menyeimbangkan metabolisme dan mengatur pola makan lebih sehat.

Puasa adalah amalan yang melatih kesabaran, menumbuhkan empati, dan memperkuat keimanan. Jangan tunda qadha hingga Ramadhan berikutnya. Mulailah dari hari ini, niatkan karena Allah, dan rasakan ketenangan setelah melunasi kewajiban.

Keutamaan Puasa: Pahalanya Langsung dari Allah

Keutamaan Puasa: Pahalanya Langsung dari Allah

Al MuanawiyahDalam banyak ibadah yang diperintahkan Allah, keutamaan puasa yaitu memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki amalan lain. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Setiap amal anak Adam untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Hadis ini menunjukkan keistimewaannya yang begitu tinggi. Tak ada makhluk yang tahu ukuran pahalanya, karena hanya Allah yang menilainya langsung. Maka, setiap Muslim hendaknya memandang ibadah ini bukan sekadar menahan lapar, tetapi juga sarana mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Mengapa Pahala Puasa Langsung dari Allah

Puasa adalah ibadah yang tersembunyi. Tidak ada yang bisa menilai apakah seseorang benar-benar berpuasa atau tidak kecuali Allah. Seseorang bisa saja tampak menahan diri, tetapi hanya Allah yang tahu keikhlasannya. Atau seseorang bisa saja terlihat tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, tetapi hanya Allah yang tahu kebenarannya. Karena sifatnya yang tersembunyi inilah, Allah memuliakan puasa dengan pahala langsung dari-Nya.


Selain itu, puasa melatih kesabaran, pengendalian hawa nafsu, dan kejujuran hati. Saat seseorang berpuasa, ia menahan diri dari sesuatu yang halal demi ketaatan kepada Allah. Inilah bentuk ketundukan yang paling murni, yang menjadikan puasa sebagai ibadah paling pribadi antara hamba dan Tuhannya.

gambar siluet pria sedang berdoa ilustrasi keutamaan puasa
Ilustrasi keutamaan puasa (sumber: freepik.com)

Manfaat Puasa bagi Manusia

Keutamaan puasa tidak hanya berdampak pada sisi spiritual, tetapi juga fisik dan mental. Secara jasmani, puasa membantu tubuh beristirahat dan membersihkan diri dari racun. Secara rohani, puasa menumbuhkan empati kepada sesama yang kekurangan, mengajarkan keikhlasan, serta memperkuat kesadaran diri untuk selalu bersyukur.


Melalui puasa, hati menjadi lebih lembut, pikiran lebih jernih, dan jiwa terasa ringan. Ibadah ini seolah menata ulang keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat.

Puasa bukan hanya kewajiban di bulan Ramadhan, tetapi juga sarana untuk terus menjaga hubungan dengan Allah di luar Ramadhan. Rasulullah ﷺ menganjurkan banyak puasa sunnah seperti Senin-Kamis dan Ayyamul Bidh. Dengan memperbanyak puasa, seseorang melatih diri untuk ikhlas dan sabar menghadapi cobaan hidup.

Maka, marilah kita memperbanyak puasa sunnah, juga tidak lupa melaksanakan puasa wajib. Bukan hanya untuk pahala, tetapi sebagai upaya memperbaiki diri. Jadikan puasa sebagai cara untuk menata hati dan mendekatkan diri kepada Allah dengan keikhlasan yang tulus.

Adab Puasa Menjaga Lisan dan Hati

Adab Puasa Menjaga Lisan dan Hati

Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mendidik umat Islam untuk berakhlak mulia. Adab puasa mencakup cara menjaga diri dari perbuatan dan ucapan yang merusak nilai ibadah. Seseorang yang berpuasa dengan adab yang benar akan merasakan hikmah spiritual yang dalam—jiwanya menjadi tenang, hatinya bersih, dan lisannya terjaga dari dosa.

Menjaga Lisan dari Ucapan yang Tidak Bermanfaat

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Hadis ini menunjukkan bahwa salah satu bentuk adab puasa adalah menjaga lisan. Berkata yang sia-sia (lagwu) dan kotor (rofats) dapat mengganggu kemurnian ibadah puasa. Berbicara tanpa manfaat juga dapat memicu kesalahpahaman dan permusuhan, sekaligus mengurangi kepercayaan orang lain. Selain itu, ucapan kotor atau kasar menjauhkan ketenangan batin yang seharusnya diperoleh dari puasa.

Cara terbaik menjaga lisan ialah berbicara seperlunya, dengan kata-kata yang membawa kebaikan. Dalam Islam, hal ini berkaitan erat dengan adab berbicara —berbicara dengan jujur, lembut, dan penuh hikmah. Berpuasa adalah kesempatan untuk melatih adab ini.
gambar wanita sedang gosip ghibah ilustrasi adab menjaga lisan saat puasa
Ilustrasi berkata yang sia-sia (sumber: freepik.com)

Menjaga Hati agar Tetap Bersih

Selain lisan, hati juga perlu dijaga dari iri, dengki, amarah, dan sombong. Adab puasa yang baik menuntun seseorang agar hatinya bersih dan pikirannya jernih. Dengan hati yang tenang, ia mampu menahan emosi dan lebih sabar menghadapi ujian.

Menjaga hati juga berarti berprasangka baik kepada sesama dan mudah memaafkan. Dalam suasana puasa, menenangkan diri dan menghindari konflik merupakan bagian penting dari pembersihan jiwa.

Baca juga: Bahaya Banyak Bicara Bagi Hati dan Kekhusyukan Ibadah

Buah dari Menjaga Lisan dan Hati Saat Berpuasa

Menjalankan adab puasa secara utuh menjadikan ibadah ini lebih dari sekadar rutinitas tahunan. Orang yang menjaga lisannya dan membersihkan hatinya akan merasakan kedamaian serta peningkatan takwa. Hal ini termasuk bagian dari keutamaan puasa sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat dan hadis, bahwa puasa melatih kesabaran dan kedekatan kepada Allah.

Dengan menjaga adab, puasa tidak hanya menahan lapar, tetapi juga menumbuhkan empati, kepekaan, dan cinta kepada sesama. Itulah makna sejati dari ibadah yang melatih jiwa dan menyucikan hati.