Batasan Ibadah Ketika Haid: Apa yang Boleh dan Tidak Boleh?

Batasan Ibadah Ketika Haid: Apa yang Boleh dan Tidak Boleh?

Al-Muanawiyah – Haid adalah kondisi alami yang pasti dialami setiap perempuan. Namun, sering muncul pertanyaan: bagaimana dengan ibadah ketika haid? Apa saja yang boleh dilakukan, dan mana yang sebaiknya ditinggalkan? Islam telah memberikan tuntunan jelas agar muslimah tetap bisa mendekatkan diri kepada Allah meski dalam keadaan ini.

Baca juga: Perbedaan Haid dan Istihadzah: Durasi dan Kewajiban Ibadah

Ibadah yang Tidak Boleh Dilakukan Saat Haid

  1. Shalat dan Puasa
    Perempuan yang sedang haid tidak boleh melaksanakan shalat dan puasa. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
    “Kami dahulu mengalami haid pada zaman Nabi ﷺ, lalu kami suci. Beliau memerintahkan kami untuk mengqadha puasa, tetapi tidak memerintahkan mengqadha shalat.” (HR. Muslim, no. 335).

  2. Membaca dan Menyentuh Mushaf Al-Qur’an
    Allah berfirman: “Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 79). Para ulama menafsirkan ayat ini sebagai larangan menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats besar, termasuk haid.

  3. Masuk Masjid
    Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid untuk orang haid dan orang junub.” (HR. Abu Daud, no. 232; dinilai hasan oleh Al-Albani).

  4. Thawaf di Ka’bah
    Saat haji, Nabi ﷺ bersabda kepada Aisyah yang sedang haid: “Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali jangan thawaf di Ka’bah sampai engkau suci.” (HR. Bukhari, no. 305; Muslim, no. 1211).

gambar wanita berhijab sedang memegang tasbih ilustrasi Batasan Ibadah Ketika Haid Apa yang Boleh dan Tidak Boleh
Ilustrasi batasan ibadah wanita ketika haid (foto: freepik)

 

Ibadah yang Tetap Boleh Saat Haid

Meski ada beberapa larangan, bukan berarti perempuan kehilangan kesempatan beribadah. Beberapa amalan berikut tetap bisa dilakukan:

  1. Dzikir dan Doa
    Nabi ﷺ bersabda: “Orang-orang yang banyak berdzikir telah mendahului (mendapatkan pahala besar).” (HR. Muslim, no. 2676). Dzikir dan doa bisa dilakukan kapan saja, tanpa terikat syarat suci.

  2. Sedekah dan Amal Sosial
    Allah berfirman: “Apa saja kebaikan yang kalian kerjakan untuk diri kalian, niscaya kalian mendapat balasannya di sisi Allah.” (QS. Al-Baqarah: 110). Artinya, peluang sedekah, membantu sesama, atau berbuat baik tetap terbuka lebar.

  3. Mendengarkan dan Mempelajari Al-Qur’an
    Meski tidak boleh menyentuh mushaf, muslimah tetap bisa mendengarkan bacaan Al-Qur’an, mengkaji tafsir, atau mengikuti kajian ilmu agama.

Haid bukanlah penghalang bagi seorang muslimah untuk tetap dekat dengan Allah. Meski ada batasan tertentu dalam ibadah ketika haid, banyak amalan lain yang tetap bisa dikerjakan. Dengan memahami aturan ini, seorang perempuan bisa tetap menjaga semangat ibadahnya tanpa rasa waswas, serta menata hati untuk selalu dalam keadaan taat kepada Allah.

Keutamaan Shalat Berjamaah daripada Shalat Sendirian

Keutamaan Shalat Berjamaah daripada Shalat Sendirian

Shalat merupakan kewajiban utama seorang Muslim dan tiang agama yang harus ditegakkan. Namun, Islam tidak hanya mendorong shalat secara individu, tetapi juga mengajarkan kebersamaan dalam bentuk shalat berjamaah. Ada banyak dalil yang menegaskan keutamaan shalat berjamaah dibandingkan sendiri.

Dalam Islam, shalat berjamaah memiliki hukum yang sangat ditekankan bagi kaum laki-laki. Rasulullah ﷺ bahkan bersabda:

“Sungguh aku berniat memerintahkan shalat didirikan, lalu aku perintahkan seseorang untuk mengimami manusia, kemudian aku pergi bersama beberapa orang membawa kayu bakar menuju orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah, lalu aku bakar rumah-rumah mereka.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Baca juga: Bahaya Banyak Bicara Bagi Hati dan Kekhusyukan Ibadah

Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya shalat berjamaah bagi laki-laki, khususnya di masjid. Selain memperoleh pahala yang berlipat ganda, kehadiran laki-laki di masjid juga menjadi tanda kekokohan iman dan simbol persatuan umat Islam. Kehadiran mereka di saf terdepan menumbuhkan kekuatan dan memperlihatkan syiar Islam di tengah masyarakat. Ada keutamaan lain yang akan diperoleh darinya, di antaranya:

1. Pahala Dilipatgandakan

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjadi dasar utama bahwa shalat berjamaah menghadirkan pahala berlipat ganda. Artinya, satu rakaat berjamaah nilainya jauh lebih besar daripada shalat sendirian. Begitu banyak keutamaan shalat berjamaah dibandingkan shalat sendiri, hingga Rasulullah menyuruh sahabatnya yang buta, Abdullah bin Ummi Maktum, untuk tetap shalat berjamaah. Ketika ia meminta keringanan untuk shalat di rumah, Rasulullah ﷺ bertanya:

“Apakah engkau mendengar panggilan adzan?”
Ia menjawab, “Iya.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kalau begitu, penuhilah panggilan itu.”
(HR. Muslim)

Ini menunjukkan betapa tingginya keutamaan shalat berjamaah, hingga seorang sahabat dengan keterbatasan pun tetap dianjurkan menghadirinya.

2. Menumbuhkan Persaudaraan dan Disiplin

Shalat berjamaah menyatukan hati umat Islam tanpa memandang pangkat, kedudukan, atau harta. Semua berdiri sejajar dalam satu saf, menghadap Allah SWT. Selain itu, shalat berjamaah melatih kita untuk disiplin waktu, hadir bersama jamaah, dan menumbuhkan rasa kebersamaan.

gambar para laki-laki Muslim sedang shalat berjmaah menggambarkan ilustrasi keutamaan shalat berjamaah dibanding shalat sendirian
Ilustrasi keutamaan shalat berjamaah bagi laki-laki (foto: freepik)

3. Memperbanyak tempat yang akan menjadi saksi

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidaklah seseorang berjalan menuju shalat berjamaah kecuali Allah menulis untuknya satu pahala pada setiap langkahnya, dan menghapus satu dosa darinya.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Selain itu, tempat kita bersujud juga akan menjadi saksi di akhirat, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Zalzalah: 4:

“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.”

Keutamaan shalat berjamaah bukan hanya pahala yang berlipat ganda, tetapi juga persaudaraan, disiplin, hingga saksi amal di akhirat kelak. Maka, mari kita jaga shalat berjamaah sebagai amalan utama dalam keseharian, agar kita tidak menyesal di kemudian hari ketika pahala dan kebaikan ini telah kita lewatkan.

Kisah Ali bin Abi Thalib dalam Perjalanannya Bersama Al-Qur’an

Kisah Ali bin Abi Thalib dalam Perjalanannya Bersama Al-Qur’an

Al MuanawiyahAli bin Abi Thalib adalah sahabat sekaligus menantu Rasulullah SAW yang memiliki kedudukan istimewa dalam sejarah Islam. Sejak usia muda, ia telah tumbuh dalam bimbingan Nabi dan hidup sangat dekat dengan Al-Qur’an. Melalui kisah Ali bin Abi Thalib, kita bisa menemukan teladan bagaimana seorang Muslim seharusnya berinteraksi dengan kitab suci, bukan hanya sebagai bacaan, tetapi juga sebagai pedoman hidup.

Kedekatan Ali dengan Al-Qur’an Sejak Muda

Ali bin Abi Thalib adalah anak pertama yang masuk Islam di usia belia. Ia langsung menyaksikan turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Setiap ayat yang dibacakan Nabi Muhammad SAW dihafalnya dengan penuh perhatian. Bukan hanya itu, Ali juga kerap meminta penjelasan langsung dari Rasulullah tentang makna ayat yang baru turun. Oleh karena itu, sejak awal, ia bukan hanya penghafal Al-Qur’an, tetapi juga pengamal yang memahami tafsirnya.

Ali dijuluki sebagai “Babul Ilmi” atau Pintu Ilmu. Julukan ini lahir karena keluasan pemahamannya tentang Al-Qur’an. Dalam banyak kesempatan, ia menjelaskan tafsir dengan sangat mendalam, seakan cahaya petunjuk keluar dari lisannya. Menurut Ali, Al-Qur’an adalah cahaya yang tidak akan padam, tali Allah yang paling kokoh, dan penuntun yang tidak akan menyesatkan. Pesan ini masih relevan hingga kini, mengingat umat Islam memerlukan pedoman yang menuntun dalam menghadapi fitnah zaman.

Baca juga:  Cerita Inspirasi Shalat dari Ali bin Abi Thalib

Al-Qur’an dalam Kepemimpinan Ali

Ketika Ali menjadi khalifah, ia menghadapi masa penuh ujian. Fitnah politik, peperangan, dan perpecahan umat menjadi tantangan besar. Namun, Al-Qur’an tetap ia jadikan pedoman dalam mengambil keputusan. Salah satu peristiwa penting adalah Perang Shiffin, ketika musuh mengangkat mushaf di ujung tombak. Ali menunjukkan sikap bijak bahwa Al-Qur’an tidak boleh dijadikan alat politik, melainkan benar-benar harus dijadikan pedoman kebenaran.

ilustrasi Perang Shiffin awal mula terbentuknya sunni syiah masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Perang Shiffin yang terjadi di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (foto: wikipedia)

Hikmah Kisah Ali bi Abi Thalib Bersama Al-Qur’an

Dari kisah Ali bin Abi Thalib, kita dapat belajar bahwa mencintai Al-Qur’an tidak cukup hanya dengan membaca. Ali mengajarkan agar Al-Qur’an dipahami, diamalkan, dan dijadikan cahaya kehidupan. Ia wafat sebagai syahid, namun warisannya tentang kecintaan pada kitab suci akan terus hidup. Hingga kini, Ali tetap menjadi teladan generasi Muslim dalam menjaga ikatan kuat dengan Al-Qur’an. Baca juga cerita inspiratif Al-Qur’an sahabat lainnya seperti Zain bin Tsabit.

Tafsir Al Zalzalah: Setiap Amal Pasti Dipertanggungjawabkan

Tafsir Al Zalzalah: Setiap Amal Pasti Dipertanggungjawabkan

Surat Az-Zalzalah (الزلزلة) adalah surat ke-99 dalam Al-Qur’an yang terdiri dari delapan ayat. Surat ini turun di Madinah dengan pokok pembahasan hari kiamat, hisab amal, dan keadilan Allah SWT yang sempurna. Tafsir Al Zalzalah memberikan kita semangat beribadah dan beramal. Allah akan menghitung amal mereka, baik besar maupun kecil.

Tafsir Al Zalzalah Ayat 1–6: Bumi Bergoncang dan Menjadi Saksi

Bumi Bergoncang

Allah berfirman:

إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat).” (QS. Az Zalzalah: 1)

Ibnu Abbas menjelaskan bahwa maksudnya bumi bergoncang dari bawahnya. Inilah keguncangan besar yang tidak dapat ditolak siapa pun. Hal ini senada dengan firman Allah dalam QS. Al Hajj: 1 yang menyebut bahwa kegoncangan kiamat adalah kejadian yang amat dahsyat.

Bumi Mengeluarkan Isinya

Ayat berikutnya menyebut:

وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
“Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandungnya).” (QS. Az Zalzalah: 2)

Para mufassir menafsirkan bahwa maksudnya bumi mengeluarkan jasad-jasad manusia yang ada di dalamnya, sebagaimana ditegaskan pula dalam QS. Al Insyiqaq: 3–4.

Baca juga: Asbabun Nuzul Al Zalzalah: Setiap Amal Kecil Pasti Dibalas

Manusia Bertanya-Tanya

وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا
“Dan manusia berkata: ‘Ada apa dengan bumi ini?’” (QS. Az Zalzalah: 3)

Ibnu Katsir menuturkan, sebelumnya bumi tenang, tetapi pada hari itu ia bergejolak hebat. Manusia pun terkejut dan bertanya-tanya, karena keluarnya mayat-mayat dan peristiwa besar itu tak pernah mereka saksikan sebelumnya.

Bumi Menjadi Saksi

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5)
“Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan kepadanya.” (QS. Az Zalzalah: 4–5)

Menurut Syaikh As-Sa’di, bumi akan bersaksi atas semua amal yang pernah dilakukan manusia di atasnya. Segala kebaikan dan keburukan yang pernah tercatat di tanah, rumah, jalan, hingga ladang, semuanya akan “berbicara” dengan izin Allah. Ibnul Qayyim menambahkan, orang yang banyak berdzikir di berbagai tempat akan mendapati tempat-tempat itu menjadi saksi baginya di akhirat.

Manusia Dikeluarkan untuk Diadili

يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ
“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan beraneka ragam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.” (QS. Az Zalzalah: 6)

Inilah saat di mana manusia digiring dari kubur, lalu ditampakkan amal mereka satu per satu, tanpa ada yang tersembunyi. (1)

Baca juga: Abdullah bin Ummi Maktum, Teladan Semangat dan Ketaatan

Tafsir Kata “Dzarrah”

Ayat penutup surat ini menegaskan:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Mitsqal berarti ukuran berat, sehingga mitsqal dzarrah berarti seberat dzarrah. Para ulama menafsirkan dzarrah sebagai sesuatu yang sangat kecil: ada yang menafsirkannya semut merah, butiran tanah, biji mustard, bahkan debu kecil di udara. Ibnul Jauzi menyimpulkan bahwa penyebutan dzarrah hanyalah perumpamaan agar manusia paham bahwa Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya, baik pada amal kecil maupun besar. (2)

tafsir al zalzalah, asbabun nuzul al zalah. Biji mustard atau mustard seed yang menggambarkan berat dzarrah zarah zarrah dalam surat Al Zalzalah. Setiap amal akan dibalas dipertanggungjawabkan
Biji mustard, yang disetarakan dengan “zarrah” dalam tafsir Al Zalzalah (foto: media.gettyimages.com)

 

Hikmah Singkat Al Zalzalah

Dari tafsir ini, jelaslah bahwa tidak ada satu pun amal yang sia-sia. Amal kecil seperti senyum, menyingkirkan duri di jalan, atau doa lirih di malam hari, semuanya tercatat. Begitu pula dosa sekecil apa pun akan mendapat balasan. Keyakinan ini menguatkan optimisme seorang mukmin, bahwa keadilan Allah pasti ditegakkan, meski di dunia manusia sering tidak menemukan keadilan.

Referensi 

(1) Tafsir Surat Al Zalzalah: Kebaikan dan Kejelekan Walau Sebesar Dzarrah akan Dibalas – Rumaysho.Com

(2) Makna Dzarrah dalam al-Quran – KonsultasiSyariah.com

Sejarah Buya Hamka: Sastrawan dan Tokoh Dakwah Inspiratif

Sejarah Buya Hamka: Sastrawan dan Tokoh Dakwah Inspiratif

Sejarah Buya Hamka adalah perjalanan penuh semangat dan pengabdian seorang ulama besar, sastrawan, dan pemimpin dakwah di Indonesia. Lahir pada 17 Februari 1908 di Agam, Sumatera Barat, Abdul Malik Karim Amrullah—yang lebih dikenal sebagai Buya Hamka—menorehkan jejak dakwah yang panjang dan mendalam, hingga diakui sebagai Pahlawan Nasional.

Masa Kecil Buya Hamka yang Pemberontak dan Penuh Rasa Ingin Tahu

Sejak kecil, Hamka tumbuh dalam lingkungan religius. Ayahnya, Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul, adalah ulama pembaru di Minangkabau. Namun, kecilnya Hamka dikenal memiliki sifat pemberontak, enggan mengikuti jalur pendidikan formal yang kaku. Ia lebih suka belajar secara otodidak, membaca buku, dan berdiskusi di surau.

Pada usia belasan tahun, Hamka sudah berani merantau ke berbagai kota di Sumatera, bahkan sampai ke Jawa. Keinginannya untuk mencari ilmu dan pengalaman membuatnya banyak berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan. Di tanah rantau, Hamka tidak hanya belajar agama, tetapi juga menyerap gagasan kebangsaan, modernitas, dan kebudayaan. Pengalaman merantau inilah yang membentuk wawasannya luas, kritis, dan berani mengambil posisi sebagai tokoh masyarakat.

Perjalanan masa mudanya yang penuh petualangan dan keberanian menjadi cikal bakal kepemimpinannya di kemudian hari. Hamka tumbuh bukan hanya sebagai ulama, tetapi juga sebagai penulis produktif, pemimpin organisasi, dan pemikir bangsa yang dihormati.

Buya Hamka tokoh nasioanal Indonesia yang memiliki karya fenomenal Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Buya Hamka dan karya-karyanya

Perantauan dan Karier Dakwah

Setelah kembali dari rantau, Hamka aktif sebagai guru, wartawan, dan penulis. Ia memimpin majalah Pedoman Masyarakat di Medan dan menulis karya sastra yang berpengaruh—seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Lewat karya-karyanya, ia menyampaikan pesan moral, nilai Islam, dan kritik sosial yang halus.

Hamka juga menjadi motor penggerak Muhammadiyah di Sumatera Barat, menguatkan basis dakwah modernis yang berpadu dengan budaya lokal. Saat perjuangan kemerdekaan, ia turut memimpin Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK), menunjukkan bahwa dakwahnya tidak hanya di mimbar, tetapi juga di medan perjuangan bangsa.

Baca juga:  Mohammad Natsir, Teladan Pejabat Pemerintahan yang Sederhana

Karya Monumental dan Kiprah Organisasi

Salah satu kontribusi terbesar Buya Hamka adalah Tafsir Al-Azhar, karya tafsir Al-Qur’an yang ditulisnya saat dipenjara oleh rezim Orde Lama. Tafsir ini hingga kini menjadi rujukan utama umat Islam di Asia Tenggara.

Selain itu, Hamka juga dipercaya memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada 1975. Meskipun sempat bersinggungan dengan penguasa, ia tetap konsisten menyuarakan kebenaran. Keteguhan sikapnya menunjukkan bahwa peran ulama bukan sekadar memberi nasihat, tetapi juga menjaga moral bangsa.

Warisan Abadi Buya Hamka

Buya Hamka mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas al-Azhar Kairo dan Universitas Nasional Malaysia. Untuk mengenangnya, Universitas Muhammadiyah Hamka (UHAMKA) di Jakarta pun dinamai atas jasanya.

Warisan terbesar Buya Hamka bukan hanya ribuan halaman buku yang ditinggalkan, tetapi juga keteladanan akhlaknya. Dari masa kecilnya yang keras kepala, remajanya yang gemar merantau, hingga dewasa menjadi tokoh bangsa, perjalanan Hamka adalah bukti bahwa keberanian mencari ilmu dan kesungguhan dalam dakwah dapat melahirkan perubahan besar.

Sejarah Buya Hamka memberi pelajaran berharga bahwa kegigihan sejak muda dapat menumbuhkan sosok berpengaruh di kemudian hari. Sifatnya yang pemberontak bukan berarti kelemahan, melainkan energi positif untuk mencari jalan kebenaran. Hingga kini, Buya Hamka tetap menjadi inspirasi: seorang ulama, sastrawan, dan pahlawan yang meninggalkan warisan ilmu dan akhlak bagi umat dan bangsa.

Shalat Ghaib: Hukum, Keutamaan, dan Panduan Praktis

Shalat Ghaib: Hukum, Keutamaan, dan Panduan Praktis

Al-MuanawiyahBaru-baru ini, umat Islam di berbagai penjuru Indonesia dan mancanegara melaksanakan shalat ghaib untuk almarhum Affan Kurniawan, salah satu korban dalam aksi demonstrasi 28 Agustus 2025. Dari Jombang hingga Tarim, ribuan jamaah menunaikan shalat ini sebagai bentuk doa dan penghormatan terakhir. Fenomena tersebut kemudian memunculkan pertanyaan di kalangan masyarakat: sebenarnya apa itu shalat ghaib? Bagaimana hukum, keutamaan, dan tata cara pelaksanaannya menurut tuntunan Islam?

gambar shalat ghaib di Polres Jombang untuk Affan Kurniawan korban demo 28 Agustus 2025
Shalat ghaib untuk Alm. Affan Kurniawan di Polres Jombang (foto: detik.com)

Pengertian Salat Ghaib

Salat ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan ketika seorang muslim meninggal dunia tetapi jenazahnya tidak ada di tempat orang yang menyalatkannya. Dalil yang mendasarinya adalah kisah Rasulullah ﷺ yang melakukan shalat ghoib untuk Raja Najasyi, penguasa Habasyah yang wafat dalam keadaan beriman.

Dalil Shalat Ghaib

Diriwayatkan dalam hadis sahih:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: نَعَى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ النَّجَاشِيَّ صَاحِبَ الْحَبَشَةِ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَخَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا
(HR. Bukhari no. 1188, Muslim no. 951)

Artinya: “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ memberitahukan kepada kami tentang kematian Raja Najasyi pada hari wafatnya. Lalu beliau keluar ke tempat shalat, mengimami jamaah, dan bertakbir empat kali atas jenazah itu.”

Hadis ini menjadi dasar utama salat gaib dalam Islam.

Baca juga: Keutamaan Shalat Berjamaah daripada Shalat Sendirian

Hukum Shalat Ghaib

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum salat ghoib:

  1. Sunnah (dianjurkan)

    • Jumhur (mayoritas) ulama seperti Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat hukumnya sunnah, dengan dalil praktik Nabi ﷺ yang menyalatkan Raja Najasyi (HR. Bukhari & Muslim).

    • Mereka menilai, jika ada muslim yang wafat di tempat lain dan tidak ada yang menyalatkannya, maka dianjurkan umat Islam menyalatkannya secara ghaib.

  2. Tidak disyariatkan kecuali kasus khusus

    • Ulama dari Mazhab Malikiyah berpendapat tidak disyariatkan, kecuali dalam kasus tertentu seperti jenazah yang tidak ada orang menyalatkannya (contoh Raja Najasyi).

  3. Boleh tapi bukan kebiasaan umum

    • Sebagian ulama Hanafiyah memandang boleh, tetapi bukan untuk dijadikan amalan rutin setiap kali mendengar ada muslim wafat di tempat jauh.

Keutamaan Salat Ghaib

Beberapa keutamaan melaksanakan salat ghaib antara lain:

  • Menjalankan sunnah Rasulullah ﷺ.

  • Mendapat pahala besar sebagaimana pahala shalat jenazah.

  • Menguatkan ukhuwah islamiyah karena mendoakan saudara seiman meski tak pernah bertemu.

  • Bentuk kasih sayang sesama muslim, tanpa batas jarak dan waktu.

Niat Shalat Ghoib

Lafadz niat salat ghoib sama dengan niat shalat jenazah biasa, hanya ditambahkan kata ghaib. Berikut niatnya:

نَوَيْتُ أَنْ أُصَلِّيَ عَلَى هَذَا الْمَيِّتِ الْغَائِبِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ لِلَّهِ تَعَالَى

Artinya: “Aku niat shalat atas mayit ghaib ini empat kali takbir, fardhu kifayah karena Allah Ta’ala.”

Tata Cara Shalat Ghaib

Dilakukan dengan empat kali takbir, tanpa rukuk dan sujud. Urutannya:

  1. Takbir pertama: Membaca surat Al-Fatihah.

  2. Takbir kedua: Membaca shalawat atas Nabi ﷺ.

  3. Takbir ketiga: Mendoakan mayit, misalnya doa Allahummaghfirlahu warhamhu….

  4. Takbir keempat: Doa singkat lalu salam.

Shalat ini bisa dilakukan sendiri maupun berjamaah, kapan saja setelah mendengar kabar wafatnya seorang muslim.

Salat ghoib adalah wujud kasih sayang dan doa seorang muslim kepada saudaranya yang telah meninggal dunia meskipun terhalang jarak. Melaksanakannya tidak hanya mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ, tetapi juga menjadi sarana memperkuat rasa persaudaraan dan keadilan sosial antar umat Islam.

Hasbunallah Wa Ni’mal Wakiil: Asal-Usul dan Maknanya

Hasbunallah Wa Ni’mal Wakiil: Asal-Usul dan Maknanya

Di tengah kehidupan modern yang penuh tekanan, kalimat “hasbunallah wa ni’mal wakiil” terasa semakin relevan. Banyak orang hari ini menghadapi ujian berat, mulai dari himpitan ekonomi, masalah sosial, tekanan pekerjaan, hingga beban mental yang seolah tiada akhir. Padahal, ujian bukanlah hal baru; manusia di setiap zaman telah menghadapinya. Sejak masa Nabi Ibrahim hingga para sahabat Rasulullah ﷺ, doa ini telah menjadi salah satu doa yang dibaca ketika menghadapi ketakutan dan ancaman yang datang. Maka meskipun doa ini lahir dalam konteks sejarah Islam yang lampau, ia tetap menjadi sumber kekuatan spiritual yang bisa diaplikasikan di era modern saat ini.

 

Asal Ayat Hasbunallah Wa Ni’mal Wakiil

Kalimat ini berasal dari QS Ali ‘Imran ayat 173

اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ اِيْمَانًاۖ وَّقَالُوْا حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

 yang menceritakan kondisi para sahabat Nabi ﷺ setelah Perang Uhud. Mereka menerima ancaman dari musuh bahwa pasukan Quraisy akan kembali menyerang. Namun, alih-alih takut, para sahabat justru berkata:

“Hasbunallāhu wa ni‘mal wakīl.”
Artinya: Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dialah sebaik-baik pelindung.

Ungkapan itu kemudian menjadi simbol keyakinan penuh kepada Allah, bahkan ketika keadaan tampak menakutkan dan tidak berpihak pada kaum muslimin.

hasbunallah wa nikmal wakil, hasbunallah wa ni'mal wakiil, hasbunalloh wa nikmal wakil
Doa untuk ketenangan hati

Makna Doa dalam Kehidupan Sehari-Hari

Dalam praktik sehari-hari, kalimat “hasbunallah wa ni’mal wakiil” menjadi doa yang bisa dibaca ketika kita merasa khawatir, takut, atau terhimpit oleh masalah. Misalnya:

  • Saat menghadapi kesulitan ekonomi dan tekanan pekerjaan.

  • Ketika merasa terancam atau mendapat perlakuan tidak adil.

  • Dalam kondisi sakit atau musibah yang membuat hati goyah.

Maknanya adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berusaha maksimal. Doa ini mengajarkan kita untuk tetap berjuang, namun tidak kehilangan sandaran utama, yaitu tawakal kepada Allah. Dengan mengulang-ulang doa ini, hati menjadi lebih tenang, pikiran lebih jernih, dan langkah hidup terasa lebih ringan.

Baca juga: Doa Sapu Jagat: Lafadz, Makna, dan Keutamaannya

Doa “hasbunallah wa ni’mal wakiil” adalah ungkapan keimanan yang diajarkan Al-Qur’an sejak zaman Rasulullah ﷺ. Dari kisah para sahabat hingga kehidupan modern hari ini, doa tersebut tetap relevan sebagai penguat hati. Ia bukan sekadar kalimat, melainkan pengingat bahwa ada Allah yang selalu siap menolong dan melindungi.

Membiasakan diri membaca doa ini adalah wujud nyata dari keimanan dan tawakal. Selain itu, kita juga perlu perhatikan ibadah keseharian kita, seperti shalat tepat waktu. Karena melalui perantara itulah, kita dapat berkomunikasi kepada Sang Pemilik Hati, Maha Pelindung yang memberikan ketenangan ke dalam hati. Semoga dengan adanya sikap tawakal atas apa yang terjadi dalam kehidupan, derajat kita diangkat oleh Allah dan dikumpulkan bersama orang-orang shalih hingga di surga nanti.

Mohammad Natsir, Teladan Pejabat Pemerintahan yang Sederhana

Mohammad Natsir, Teladan Pejabat Pemerintahan yang Sederhana

Al-MuanawiyahDi tengah maraknya sorotan publik terhadap gaya hidup mewah sebagian pejabat hari ini, sejarah Indonesia pernah mencatat seorang pemimpin pemerintahan yang justru hidup dengan penuh kesederhanaan. Saat banyak pejabat modern menikmati fasilitas negara dengan kemewahan, sosok Mohammad Natsir tampil berbeda. Ia memimpin dengan hati, menolak kenyamanan berlebih, dan menunjukkan bahwa amanah kekuasaan bukanlah jalan untuk menumpuk harta. Sikap inilah yang membuat jejak perjuangannya tetap relevan untuk direnungkan hingga kini.

Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993), lahir di Solok, Sumatera Barat. Beliau sosok ulama, politisi, dan pejuang bangsa yang sangat dihormati. Ia merupakan salah satu inisiator dan pemimpin Partai Masyumi, tokoh Islam terkenal yang sempat menjabat sebagai Perdana Menteri kelima Indonesia. Mosi politiknya monumental, dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, yang menyatukan Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gambar Mohammad Natsir, Perdana Menteri Masa Presiden Soekarno yang tergabung dalam PRRI, Masyumi, dan pencetus Mosi Integral 1950
Mohammad Natsir, teladan kesederhanaan pejabat pemerintahan (foto: antaranews.com)

Dalam kariernya, Natsir juga pernah menjadi Menteri Penerangan. Pada 3 April 1950, gagasannya, disampaikan dalam sidang parlemen dan mendapat dukungan dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Berkat gagasan itu, beliau diangkat menjadi perdana menteri hingga 26 April 1951. Beliau mengundurkan diri akibat perbedaan pandangan dengan Presiden Soekarno, khususnya soal hubungan antara Islam dan negara serta kritik terhadap sekularisasi ala Ataturk.

Baca juga: Sejarah Buya Hamka: Sastrawan dan Tokoh Dakwah Inspiratif

Konsistensi, PRRI, dan Penjara

Setelah era kekuasaannya, Natsir lebih vokal dalam menyuarakan peran penting Islam di kehidupan berbangsa. Ia terlibat dalam PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)—suatu gerakan yang mendorong otonomi lebih besar daerah. Tetapi inisiasi tersebut dianggap pemberontakan oleh pemerintah. Karena itu, pada masa Demokrasi Terpimpin, Natsir dipenjara di Malang dari 1962 hingga 1964, sebelum akhirnya dibebaskan pada awal Orde Baru (1966).

Kesederhanaan Hidup

Sosok Natsir juga diingat sebagai figur yang sangat sederhana. Ia menolak menerima fasilitas mewah: mobil baru dan dana taktis sebagai Perdana Menteri. Dana yang tersisa bahkan disalurkan ke koperasi karyawan, sementara mobil mewah ditolaknya digantikan dengan mobil tua De Soto yang dibeli sendiri untuk keperluan keluarga. Gaya hidup seperti ini mencerminkan prinsip hidupnya sebagai pemimpin — amanah dan tak berubah karena jabatan.

Selain itu, Mohammad Natsir juga dikenal luas karena kesederhanaannya saat menjabat sebagai pejabat tinggi negara. Beliau kerap mengenakan jas bertambal dan sederhana, hingga membuat stafnya mengumpulkan uang untuk membelikannya pakaian baru. Saat mengundurkan diri dari jabatan PM, ia mengembalikan mobil dinas dan pulang bersama sopir dengan berboncengan sepeda, bukan mobil mewah.

Baca juga: KH Ahmad Dahlan: Perintis Pendidikan Modern di Indonesia

Kedekatan dengan Douwes Dekker & Intelektual Muslim

Natsir dikenal memiliki keakraban dengan tokoh pergerakan nasional Ernest Douwes Dekker. Keduanya kerap berdiskusi sambil bermain musik klasik. Dari persahabatan inilah, Dekker tertarik masuk Masyumi—saling bertukar gagasan tentang demokrasi dan keadilan yang sehaluan.

Setelah masa penahanan, Natsir kembali berkiprah di organisasi Islam internasional seperti Liga Muslim Dunia dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Pada tahun 1980, ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang menandatangani Petisi 50, yang mengkritik penyalahgunaan Pancasila oleh rezim Orde Baru, sehingga dilarang bepergian ke luar negeri.

Warisan dan Penghormatan

Natsir menulis sekitar 45 buku dan ratusan artikel sepanjang hidupnya, membahas topik Islam, budaya, politik, dan relasi antaragama. Ia memperoleh banyak penghargaan internasional, termasuk Faisal Award (1980), beberapa gelar doktor honoris causa, dan akhirnya diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 10 November 2008.

Mohammad Natsir wafat pada 6 Februari 1993 di Jakarta, namun semangat perjuangannya tetap abadi—menjadi teladan bagi pemimpin yang menggabungkan kecerdasan politik, integritas, dan akhlak mulia.

Hikmah Agung dalam Sirah Nabawi Kelahiran Rasulullah

Hikmah Agung dalam Sirah Nabawi Kelahiran Rasulullah

Bulan Rabiul Awal selalu menjadi bulan yang penuh cahaya bagi umat Islam. Di bulan inilah, Nabi Muhammad SAW terlahir ke dunia. Momen ini bukan hanya sejarah, tetapi titik awal hadirnya cahaya petunjuk Allah untuk seluruh umat manusia. Karena itu, membaca sirah nabawi kelahiran Rasulullah adalah cara untuk memperkuat iman dan cinta kepada beliau.

Peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW menjadi perhatian ulama sejak masa awal. Salah satu dalil yang sering dijadikan rujukan adalah firman Allah dalam QS. Al-Anbiya ayat 107:

“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.”

Ayat ini menegaskan bahwa kehadiran Nabi adalah rahmat terbesar bagi manusia. Selain itu, hadis riwayat Muslim menyebutkan bahwa Nabi adalah penutup para nabi, yang kedatangannya sudah dinanti oleh para rasul sebelumnya. Dalil-dalil ini memperkuat keyakinan bahwa momen kelahiran Rasulullah adalah anugerah besar bagi umat Islam.

gambar tulisan Muhammad sibol kelahiran Nabi Muhammad
Sirah kelahiran Rasulullah Nabi Muhammad SAW

Suasana Ketika Rasulullah SAW Dilahirkan

Rasulullah SAW lahir pada 12 Rabiul Awal, tahun yang dikenal dengan Tahun Gajah. Peristiwa ini bertepatan dengan gagalnya serangan pasukan Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah. Allah SWT menjaga rumah suci itu dengan mengirim burung ababil. Tahun itu menjadi pertanda bahwa kelahiran Nabi membawa kemuliaan dan perlindungan bagi Ka’bah serta umat manusia.

Kelahiran Nabi disertai berbagai tanda luar biasa. Api Majusi yang menyala berabad-abad di Persia padam seketika. Istana Kisra di Persia runtuh sebagian, menandakan akhir kekuasaan tirani. Di Mekkah, banyak berhala jatuh dari tempatnya, seakan tunduk pada cahaya kebenaran. Bahkan, ibunda Aminah menyaksikan cahaya terang keluar dari dirinya, menerangi negeri Syam, Persia, hingga Yaman. Semua peristiwa ini menunjukkan kelahiran yang penuh keberkahan.

Baca juga: Sejarah Masjid Al Aqsa sebagai Kiblat Pertama Umat Islam

Hikmah Sirah Nabawi Kelahiran Rasulullah SAW

Kedatangan Rasulullah SAW menjadi titik balik bagi dunia yang diliputi kegelapan. Beliau lahir ketika masyarakat Arab terjebak dalam jahiliyah. Kehadiran beliau membawa risalah tauhid, menegakkan keadilan, dan menyebarkan rahmat. Membaca sirah nabawi kelahiran Rasulullah bukan sekadar mengenang peristiwa, tetapi juga menghidupkan kembali makna besar kehadiran Nabi bagi kehidupan kita.

Bulan Rabiul Awal seharusnya menjadi momentum memperkuat kecintaan kita kepada Rasulullah. Kelahiran beliau adalah anugerah terbesar bagi umat. Maka mari kita jadikan momen ini untuk memperbanyak shalawat, membaca sirah, dan meneladani akhlak beliau. Dengan begitu, cahaya kelahiran Nabi tidak hanya dikenang, tetapi juga dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.

Keutamaan Shalat Tepat Waktu dan Dampaknya pada Kehidupan

Keutamaan Shalat Tepat Waktu dan Dampaknya pada Kehidupan

Shalat adalah ibadah utama yang diperintahkan Allah Swt. untuk dilaksanakan lima kali sehari. Selain sebagai wujud ketaatan, keutamaan shalat tepat waktu juga menyimpan banyak hikmah yang berhubungan langsung dengan kesehatan fisik dan mental. Rasulullah Saw. bersabda bahwa amalan yang paling dicintai Allah adalah shalat pada waktunya (HR. Bukhari-Muslim). Ini menunjukkan betapa besar keutamaan menjaga waktu shalat.

Baca juga: Sejarah Shalat: Perjalanan Agung yang Penuh Hikmah

Keutamaan Shalat Tepat Waktu

Shalat tepat waktu merupakan tanda kedisiplinan dan rasa syukur seorang hamba. Allah Swt. memberikan pahala besar bagi orang yang menjaganya, di antaranya:

  • Mendapat ridha Allah dan dicatat sebagai amal terbaik.

  • Menjadi cahaya dan penolong di dunia serta akhirat, seperti yang sering diulang dalam doa sapu jagat.

  • Menjaga hati dari kelalaian dan mendekatkan diri kepada Allah.

Ketika seseorang konsisten menunaikan shalat sesuai waktunya, berarti ia tidak hanya beribadah, tetapi juga sedang melatih diri untuk menghargai waktu.

keutamaan shalat tepat waktu, burnout, stres kerja, exhausted, stressed worker, kelelahan, mental health
Keutamaan shalat tepat waktu dan manfaatnya bagi tubuh

Dampak pada Kehidupan Sehari-hari

Menariknya, waktu-waktu shalat bertepatan dengan momen alami tubuh manusia yang membutuhkan jeda. Misalnya, shalat Zuhur datang saat tubuh mulai lelah setelah aktivitas pagi. Dengan berhenti sejenak untuk berwudhu dan shalat, tubuh mendapat relaksasi sekaligus penyegaran pikiran.

Shalat Ashar pun hadir di saat energi mulai menurun menjelang sore. Dengan melaksanakan shalat tepat waktu, seseorang memperoleh semangat baru untuk menyelesaikan pekerjaannya tanpa rasa jenuh. Adapun shalat Maghrib dan Isya menjadi penutup aktivitas siang menuju malam, memberikan ketenangan batin dan menurunkan tingkat stres. Bahkan, shalat Subuh yang dilakukan saat fajar justru memicu hormon positif yang membuat tubuh lebih segar di awal hari.

Dari sisi psikologis, jeda shalat ini bermanfaat seperti “micro-break” dalam dunia kerja modern. Berhenti sejenak untuk ibadah membuat pikiran lebih fokus, mengurangi kelelahan mental, serta meningkatkan efektivitas dalam menyelesaikan tugas. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-‘Ankabut ayat 45,

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”

Pentingnya Menjaga Shalat

Menjaga keutamaan shalat tepat waktu bukan hanya soal ibadah, tetapi juga menyangkut kesehatan dan produktivitas hidup. Dengan menjadikan shalat sebagai jeda alami, tubuh terhindar dari kelelahan, pikiran lebih jernih, dan hati selalu tenang. Mari kita menjaga shalat tepat waktu, karena amalan shalat adalah yang pertama kali dihisab. Pastikan kita memberikan yang terbaik untuk shalat, menerapkan cara shalat khusyuk. Sehingga dapat memperoleh hidup lebih berkah di dunia dan bahagia di akhirat.